Keraton Wanguntur terlihat sunyi seperti biasa. Hanya terlihat beberapa paricaraka, abdi dalem, dan Prajurit Bhayangkara berlalu lalang di kediaman Maharaja agung yang menjabat sebagai Raja Majapahit IV menggantikan sang ibunda. Sudah menjadi tugas sehari-hari mereka untuk memastikan kebutuhan pemimpin negeri adidaya itu terpenuhi dengan baik. Saat ini, nampak Hayam Wuruk bersama Dyah Gitarja menikmati sore yang damai dengan menyesap srebad. Mereka adalah seseorang yang memegang peranan penting di Kerajaan Majapahit. Maka dari itu, kebersamaan keduanya jarang sekali terwujud, selain diskusi dan persidangan di aula utama Istana Trowulan.
"Bagaimana kabar dari Sungging Prabangkara? Kerajaan mana saja yang telah ia sambangi, Putraku?" tanya Dyah Gitarja memecah keheningan di antara mereka.
Hayam Wuruk meletakkan cangkir emas pada meja yang ada di depannya. "Sejauh ini baru beberapa kerajaan vasal di Jawadwipa, Ibunda," jawab Maharaja Wilwatikta sesuai keadaan.
"Sekiranya kapan juru gambar itu merampungkan tugasnya? Ingat, kau harus segera memiliki parameswari," sahut Maharani Majapahit terdahulu yang saat ini menjabat sebagai Bhre Kahuripan.
Hayam Wuruk menatap wajah ibundanya yang gundah. Dibalik ketenangan Dyah Gitarja, terdapat kekhawatiran mengenai putranya yang belum juga bertemu gadis idamannya. Usia Hayam Wuruk sudah memasuki tahun pernikahan baginya, apalagi ia adalah seorang pemimpin. Tentu saja mereka membutuhkan pewaris yang sah demi keberlangsungan Wangsa Rajasa.
"Tahun depan Sungging Prabangkara harus sudah menyerahkan semua lukisan padaku, Ibunda. Aku juga tak ingin menunggu terlalu lama. Sebagai seorang raja, aku membutuhkan putra mahkota," tenang Hayam Wuruk. Saat sedang berdua saja, Dyah Gitarja meminta kepada putranya untuk berbicara sesantai mungkin.
Dyah Gitarja memandang putranya dengan lekat. Kemudian ia menyipitkan kedua matanya. "Apakah kau yakin belum menemukan gadis yang kau impikan? Cobalah untuk mengingatnya, apakah kau pernah bertemu dengan perempuan-perempuan bangsawan yang menarik hati?" tanya Dyah Gitarja memastikan.
Hayam Wuruk menggeleng pelan. "Tidak ada di antara mereka yang aku sukai, Ibunda. Mereka layaknya perempuan bangsawan pada umumnya," sanggahnya tegas.
"Sebagai seorang ibu, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan, Putraku. Janganlah membohongi perasaanmu sendiri. Akuilah jika memang kau tertarik kepadanya," tembak Dyah Gitarja yang langsung mengenai ulu hati Hayam Wuruk.
Pria itu langsung menuatkan alis, menatap tidak suka dengan perkataan ibunya. "Apa maksud Ibunda dengan berkata seperti itu?"
Dyah Gitarja menghela napas dalam. "Tidak mungkin bagi Sri Maharaja agung sepertimu bersedia meluangkan waktu hanya demi seorang gadis," tukasnya memberi kejelasan kepada sang penguasa Wilwatikta.
Hayam Wuruk mengalihkan pandangannya menjadi lurus ke depan. "Aku tidak menyukainya sebagai seorang pria, Ibu. Gadis itu adalah saudariku juga, seperti halnya Nimas Nertaja," kilahnya menolak penjelasan sang Ibunda.
"Gadis itu memiliki nama, Nak." Dyah Gitarja terkekeh, lalu menyunggingkan senyum ke samping.
Hayam Wuruk berdecak kesal. "Putri Wengker, gadis itu bernama Sudewi, Ibunda," kalah sang Prabu kepada Ibu Suri Wilwatikta.
"Seorang Maharaja memiliki emosi yang stabil, kecuali ia ... " Dyah Gitarja menelan ludahnya sebelum melanjutkan ucapannya.
Hayam Wuruk akhirnya mengalihkan tatapannya pada Dyah Gitarja karena ibunya tersebut tak kunjung melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Kecuali apa, Ibu?" tuntutnya.
Dyah Gitarja mengulas senyuman indahnya. Di usia yang sudah tak muda lagi, aura kecantikan masih terpancar di wajahnya. " ... ia sedang memiliki rasa, Nak," sambungnya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...