14 | Dewi Purnamawulan

1.4K 164 4
                                    

1276 Saka

Setelah duka, terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti Keraton Wengker. Putri sulung mereka, Indudewi, mendapat pinangan dari Raden Larang yang bergelar Rajasawardhana Bhre Matahun. Pangeran tersebut terkenal dengan ketampanannya dan kecakapan sebagai Dhang Puhawang. Ia bertugas di Pelabuhan Kaeringan dan Pelabuhan Regol di wilayah Lasem.

Kudamerta dan Dyah Wiyat menyambut baik pinangan dari penguasa Matahun itu. Mereka mempersiapkan dengan baik segala kebutuhan terkait prosesi Pawiwahan Hangeng putri mereka. Upacara Tukon akan dilaksanakan hari ini, sedangkan pernikahan digelar dua minggu kemudian.

Indudewi melipat surat yang dikirim oleh pihak Matahun. Surat tersebut ditulis langsung oleh Rajasawardhana, calon suaminya. Tak disangka, waktu berlalu begitu cepat. Dirinya telah memasuki usia seorang gadis menerima pinangan dari pria atas restu orang tua mereka. Indudewi merupakan garis keturunan langsung dari Dyah Wijaya dan Dyah Gayatri Rajapatni. Maka, ia adalah keturunan Wangsa Rajasa. Sebagai seorang bangsawan Kesatria, Indudewi tak bisa bergerak bebas dalam menentukan pujaan hatinya.

Hari di mana Indudewi diputuskan untuk menjadi pengantin Bhre Matahun, dirinya begitu terkejut. Semalaman ia menangisi ketidakberdayaannya. Bukan, bukan karena calon suaminya buruk rupa ataupun kejam tak terkira. Akan tetapi, menikah adalah saat di mana ia harus meninggalkan Wengker dan segala kenangan di dalamnya. Putri sulung Kudamerta itu pasti merindukan canda tawa Sudewi, kepatuhan abdi dalem dan paricaraka Wengker. Serta hal terpenting adalah cinta pertamanya, Kudamerta dan Dyah Wiyat. Indudewi tak rela melepaskan mereka dalam sekejap.

"Aku tak pernah melihat Yunda selemah ini," ungkap Sudewi dengan senyum jahilnya. Ia menepuk ringan pundak sang kakak. Gadis itu memperhatikan kakaknya yang menggunakan Bhusana Gagampang. "Lihatlah dirimu, Yunda. Kau begitu cantik, pantas saja Raden Larang bersikeras untuk memperistrimu," pujinya.

Indudewi menoleh, melihat raut takjub adiknya. Bukannya berterima kasih karena pujian setinggi langit itu, bibir calon pengantin tersebut mencebik. Dirinya kesal karena Sudewi tidak peka. "Kau tahu, waktuku di Wengker hanya dua minggu, Sudewi! Aku akan meninggalkanmu, Romo, Ibunda, dan semuanya," dengus gadis itu. Tak terasa air mata sudah berkumpul di pelupuknya. Tinggal menunggu giliran untuk meluncur deras membasahi pipi Indudewi yang berias pupur menur. Teringat akan riasan yang akan hancur, gadis tersebut mati-matian menahan tangis.

"Sang kala memang kejam, Yunda. Ia mempertemukan sekaligus memisahkan kita. Tidak ada yang mampu menahan kesaktiannya," gumam Sudewi. Ia memeluk kakaknya seperti biasa, sangat erat hingga Indudewi merasakan kehangatan. Ia mengusap-usap punggung kakaknya, memberi ketenangan di sana.

Indudewi memejamkan mata, otomatis air mata keluar tanpa seizinnya. Buru-buru ia melepas pelukan Sudewi dan menghapus air mata itu agar tak semakin merusak riasan indahnya. "Aku tahu, Sudewi. Memang butuh waktu untuk menerima semua ini," sahutnya.

Sudewi tak menampik bahwa ia juga tidak rela berpisah dengan sang kakak. Terlalu banyak kenangan yang mengikat mereka menjadi satu. Terlintas, gadis itu teringat ucapan Indudewi. "Yunda, kau pernah berkata bahwa ada dua putri di Keraton Wengker yang terikat satu sama lain, mereka tidak terpisahkan." Sudewi mengulang perkataan lampau Indudewi.

Indudewi mengangguk, lantas tersenyum tipis. "Akhirnya mereka berpisah juga, Sudewi," timpal putri Dyah Wiyat itu.

Sudewi menggenggam kedua telapak tangan Indudewi, kemudian mengusapnya. "Apalah arti berpisah jika kita bisa bertemu kembali, Yunda. Ingat perpisahan kita adalah titik balik pertemuan selanjutnya. Kita akan bertemu kembali. Jika tidak di keraton ini, maka Sang Hyang Agung telah menentukan tempat indah untuk kita bertemu," ucapnya. Sudewi menghembuskan napas dalam. Ia tidak ingin larut dalam suasana dan menangisi kakaknya. "Seperti cincin Sri Rama yang mengantarkan Hanuman ke Argasoka, taman laksana surga di Negeri Alengka, untuk bertemu Sita. Acintya telah mengatur takdir manis untuk hambanya yang saling merindu," imbuh Sudewi.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang