26 | Pasunda Bubat

1.1K 141 21
                                    

Melalui seorang mantri yang merangkap sebagai telik sandi, Gajah Mada mengawasi pergerakan Prabu Linggabuana dan pasukannya. Sebelum sang surya menerangi mayapada, Gajah Mada mempersiapkan prajurit Bhayangkara yang tangguh dan tak terhitung jumlahnya. Mereka akan melawan demi kejayaan Majapahit untuk menyatukan Sweta Dwipa di bawah panji merah-putih.

Wijayarajasa Bhre Wengker mengetahui bahwa Gajah Mada akan melancarkan serangan ke Alun-alun Bubat. Penguasa Wengker itu mendekati Gajah Mada yang tengah mengawasi prajuritnya. Ditepuknya pundak sang Mahapatih yang ia sudah anggap sebagai saudaranya sendiri. "Apakah Anda yakin dengan keputusan ini, Mahapatih Mada?" tanya Wijayarajasa memastikan.

Tanpa menoleh, Gajah Mada pun mengangguk mantap. "Sunda Galuh tidak akan mempersembahkan putri mereka begitu saja, Bhre Wengker. Mereka adalah kesatria, oleh karenanya, perang haruslah ditempuh untuk menakhlukkan mereka," sahutnya.

"Sri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka bahkan tidak mengetahui rencana ini," sanggah Kudamerta yang tak paham dengan jalan pikir Gajah Mada, sangat berseberangan dengan sikapnya kala menyetujui pernikahan Hayam Wuruk dan Pitaloka.

Gajah Mada melirik Bhre Wengker itu melalui ekor matanya. "Jika kau tak sanggup, maka mundurlah, Wijayarajasa," tekan Mahapatih Majapahit dengan menaikkan sebelah alisnya. "Jika kau takut, maka jangan sekali-kali berani," tandasnya yang membuat lawan bicaranya tak berkutik.

Kudamerta yang bergelar Bhre Wengker terdiam. Ia memikirkan banyak hal. Terutama gerak-gerik Gajah Mada yang tidak terbaca. Pria itu jugalah yang menjadi tombak serangan Sadeng dan Keta. Patih itulah yang mengantarkan Majapahit membuka gerbang kejayaan. Dan Gajah Mada-lah, orang yang akan menjadi dalang perang besar di Jawadwipa.

Setelah sekian lama bungkam, akhirnya Bhre Wengker memutuskan pilihan. Beberapa tahun sudah berlalu, tetapi permasalahan upeti dan penghinaan Hayam Wuruk kepada putrinya, masilah segar dalam ingatannya. Maka dari itu, sekaligus untuk membuktikan pengabdian paling tinggi kepada Majapahit, Bhre Wengker juga akan membayar rasa sakit putrinya. Wijayarajasa memilih untuk menyerang di bawah komando Gajah Mada.

"Tidak, Gusti Mahapatih. Hamba akan menunaikan kebaktian untuk Surya Majapahit," tuturnya dengan kilatan keberanian untuk mati di medan laga nanti.

Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi Canang Agung Basantaka telah ditabuh, menandakan perang mahadahsyat segera dimulai. Dari arah selatan, Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara yang telah siap dengan peralatan perangnya. Ada dari mereka yang menaiki kuda, terdapat pula yang langsung mengacungkan panah, keris, dan cetbang. Dilihat dari kejauhan, pasukan itu seperti Dewa Yama yang akan menyerang secara membabi buta.

Pasukan Sunda Galuh yang dipimpin oleh Prabu Linggabuana tak gentar. Meski secara jumlah mereka kalah, tetapi daya juang dan harga diri mereka tak ternilai. Panji-panji dikibarkan laksana auman harimau. Mereka tak takut dengan kehebatan Gajah Mada dan pasukannya. Lebih baik mati di medan perang daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Majapahit sebagai kerajaan bawahan.

Tidak hanya itu, putri kebanggaan mereka bernama Dyah Pitaloka, yang tadinya digadang-gadang menjadi Permaisuri Wilwatikta pun membakar semangat para prajurit Sunda Galuh untuk melindungi kehormatan sang Putri. Pantang bagi mereka menyerahkan Pitaloka sebagai upeti Majapahit. Pantang bagi Sunda Galuh untuk memberi ampun kepada orang yang mengingkari janjinya, meskipun orang tersebut merupakan sosok Maharaja yang agung.

Patih Anepaken yang berada di garda terdepan melancarkan serangan bertubi-tubi kepada musuh. Ia kalap dengan keadaan serta janji manis yang diucapkan oleh utusan Wilwatikta. Dirinya tak memberi ampun, menghunus pedangnya, dan memberikan kematian paling mengerikan untuk prajurit Bhayangkara. Patih Anapaken semakin brutal, matanya memancarkan amarah yang membumbung tinggi. Segeralah ia mencari Gajah Mada. Patih tersebut melihat Mahapatih Majapahit tengah bertarung dengan prajurit Sunda Galuh, sudah tak terhitung berapa nyawa yang melayang di tangan Gajah Mada. Patih Anepaken menghampiri sang Mahapatih dengan pedang yang mengacung.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang