Di kamarnya, Hayam Wuruk termenung. Ia melirik ke arah lukisan Pitaloka, hanya kepedihan yang tersisa di sana. Seharusnya, saat ini ia tengah menghabiskan waktu berdua dengan istrinya yang jelita itu. Namun, semesta berkata lain, ia memisahkan dua insan yang tengah dimabuk cinta dalam jurang kesalahpahaman. Sementara itu, di luar Keraton Wanguntur, prajurit Bhayangkara tengah menyiapkan pasukan untuk menuju ke Lodaya. Lawatan sang Maharaja tahun ini adalah perjalanan ketiga mengunjungi kerajaan vasal dan wilayah Majapahit di Jawadwipa. Perjalanan pertama penguasa Wilwatikta terjadi pada tahun 1275 saka di Pajang, kerajaan yang akan diserahkan untuk Nertaja ketika ia sudah menikah nanti. Perjalanan kedua Hayam Wuruk yaitu terjadi pada tahun 1276 saka di Lasem, sekaligus mengantarkan Indudewi yang bergelar Rajasaduhita menjadi penguasa di sana.
Lawatan yang dilakukan Hayam Wuruk kali ini sekaligus untuk menenangkan hatinya kala ditinggal sang calon mempelai wanita. Sudah beberapa minggu sejak peristiwa itu terjadi, Hayam Wuruk sering murung di kamarnya dan hanya ditemani oleh lukisan Pitaloka. Ia tak ingin lukisan tersebut dipindahkan begitu saja. Tidak ada yang boleh menyentuh Pitaloka selain dirinya. Pun dengan gaun pernikahan yang akan Putri Sunda Galuh itu kenakan, masih bertengger rapi di kediaman sang Maharaja.
Hayam Wuruk menerima kabar dari Ra Banyak bahwa kereta bergambar buah maja, beratap kain geringsing, dan berlapis emas menyilaukan mata ketika tersengat oleh matahari telah dipersiapkan di depan kediamannya. Warna merah mendominasi selain emas. Panji-panji merah-putih dikibarkan yang menjadi simbol bahwa Surya Majapahit akan keluar dari persinggahannya.
Terkadang, Maharaja Majapahit tak memercayai apa yang dikatakan oleh raja dari kerajaan vasal mengenai kondisi kerajaan mereka begitu saja. Maka dari itu, selain untuk acara keagamaan dan puja bhakti kepada leluhur, Hayam Wuruk memanfaatkan lawatan ini untuk mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi di daerah kekuasaannya.
Rombongan yang dipimpin oleh Hayam Wuruk melaju ke arah selatan. Mereka menyusuri Kali Brantas dan hutan demi bisa mencapai tujuan. Surya berganti candra, satu hari telah berlalu, rombongan Maharaja Majapahit sampai di Candi Palah. Di sana, sang Maharaja beribadah, menghadap Hyang Atjalapati. Setelah melakukan pendharmaan dan petirtaan, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanannya ke Candi Gedog, tempat pendharmaan untuk Raja Majapahit II, Prabu Jayanagara. Pendeta membacakan mantra dan puja, lalu diikuti oleh sang Maharaja. Kemudian candi pendharmaan tersebut dibasahi oleh air suci.
Wilayah ini berada di selatan Kali Brantas. Hayam Wuruk kemudian memilih tempat yang tinggi guna menikmati alam di Pantai Selatan. Sang penguasa Wilwatikta memerintahkan rombongannya untuk beristirahat di bukit itu. Hayam Wuruk turun dari keretanya. Pandangannya menyapu ke segala penjuru arah. Terdapat hamparan lautan yang memanjakan mata. Warna biru dari laut dan langit seakan beradu mesra, memberi batasan laksana lengkung langit yang memisahkan antara bumi dan angkasa.
Hayam Wuruk melirik ke samping, hanya kekosongan yang berwujud angin. Tak ada gadis idamannya di sana, wajah rupawan Pitaloka yang berbalut darah terus menghantui pikiran sang Prabu. Seandainya perang itu bisa dihindari, maka saat ini ia sedang menikmati suasana pantai bersama istrinya. Mungkin sembari membakar ikan dan bermain-main di bibir pantai adalah ide yang bagus. Terlebih, jika pertempuran di Alun-alun Bubat tak pernah terjadi, Hayam Wuruk tak perlu menjadikan mahapatihnya —Gajah Mada— sebagai tahanan istana.
Semuanya hanyalah ilusi semata. Persis seperti cakrawala yang membiaskan garis yang tak nyata. Semua momen indah hanya berujung pada kata 'seandainya'. Kini, segalanya telah sirna, baik mimpi dan harapannya untuk memadu kasih bersama Pitaloka. Hal yang bisa Hayam Wuruk lakukan untuk menghormati putri tersebut dan kerajaannya adalah mengutus satu-satunya patih yang selamat dari Sunda Galuh bernama Patih Pitar untuk memberi kabar peperangan kepada Mahapatih Bunisora. Setidaknya, itulah yang bisa dilakukan oleh seorang kestaria, bukan pengecut.
![](https://img.wattpad.com/cover/353488848-288-k721913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...