15 | Bhre Lasem

1.2K 158 8
                                    

Hayam Wuruk cukup tersentak mendengar penuturan Sudewi. Jarak mereka yang hanya berkisar dua langkah membuat suara gadis itu tertangkap jelas di telinganya. Seiring bertambahnya tahun, putri bungsu Kudamerta semakin menunjukkan taringnya. Hayam Wuruk mengira sifat nekat Sudewi berangsur menurun ketika ia beranjak dewasa.

"Kuakui kau begitu berani, Putri Wengker," ucap penguasa Wilwatikta tersebut terang-terangan. "Namun, berhati-hatilah dengan mulutmu itu," peringatnya.

Sudewi mengulas senyum tipis. "Hamba tidak memulainya, Paduka Prabu. Hamba hanya mengikuti alur pembicaraan yang Baginda buat terlebih dahulu," sahut sang Dewi tanpa tedeng aling-aling.

Hayam Wuruk semakin tertarik dengan keberanian gadis yang ada di hadapannya itu. Ia menilai Sudewi dari raut wajahnya laksana air tenang menghanyutkan. Putri bungsu Wengker tersebut selalu memiliki cara untuk membalas perkataanya, bahkan disertai sindiran yang menohok. Entah dari mana bakat gadis itu, apa mungkin karena didikan ayahandanya? Setahu Hayam Wuruk, Dyah Wiyat tidaklah memiliki watak seperti Sudewi.

"Apa keberanianmu hanya ada saat berada di istanamu sendiri?" tanya Hayam Wuruk dengan menyipitkan matanya.

Sudewi menggeleng, ia menekan egonya yang membumbung tinggi. Jikalau orang yang ada di hadapannya bukanlah seorang raja, maka bogeman mentah siap ia layangkan. "Keberanian tidak hadir menyesuaikan tempat atau waktu, tetapi keadaan," jawabnya.

Hayam Wuruk terpaku. Ia tidak mengeluarkan satu patah kata pun untuk membalas Sudewi. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing. Anehnya, tatapan keduanya saling terkunci satu sama lain. Keheningan menyelimuti mereka karena baik Ra Banyak, prajurit Bhayangkara, dan paricaraka tidak berani menegur sang Maharaja. Situasi di kolam ikan tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di pendopo agung saat ini.

"Mohon ampun, Gusti Prabu. Apakah hamba diperbolehkan meminta sesuatu?" pinta Sudewi ketika tak ada lontaran kalimat yang keluar dari mulut Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk mengangguk. "Silakan."

Setelah mendengar persetujuan dari Maharaja Wilwatikta, Sudewi mengeluarkan unek-unek-nya yang ia simpan hingga saat ini. "Bisakah kita berbicara tanpa adanya perdebatan? Jika tidak, maka anggaplah hamba tidak ada di sekitar Baginda, baik hari ini ataupun nanti," tutur putri dari salah satu kerajaan vasal Majapahit tersebut.

"Kau menginginkan hal lebih, Dewi?"

Sudewi membulatkan matanya. Ternyata Hayam Wuruk menangkap maksud lain dari permintaannya. Gadis itu tidak bermaksud demikian. Ia hanya lelah dengan perdebatan tak penting tiap kali mereka bertemu. Hayam Wuruk adalah seorang pria, sama seperti Sagara dan Arya Maheswara. Namun, pria itu begitu rumit layaknya labirin.

"Pembicaraan bagaimana yang kau harapkan?" tanya Hayam Wuruk lagi.

Sudewi mempersiapkan diri untuk meluruskan perkataannya. Ia berdehem, memastikan suaranya dapat dengan jelas terdengar oleh pria yang menyandang gelar sebagai Sri Rajasanagara. "Kita adalah saudara, Yang Mulia Prabu. Bukankah tidak baik bagi hamba dan Baginda selalu berseteru tiap kali bersua?" papar gadis itu dengan penuh kehati-hatian.

Hayam Wuruk menautkan alisnya, lalu menghembuskan napas dalam. "Benar, Sudewi. Lagipula kau tak mungkin meminta hal lebih dariku, bukan?" Maharaja Majapahit itu terlihat sedang membenahi kirita mahkuta yang sedikit miring ke kanan. Ia merenggangkan otot di leher karena benda tersebut cukup berat disangga, layaknya tanggung jawab. "Aku belum mengangkat seorang wanita terhormat menjadi parameswari. Mana mungkin aku memiliki seorang dukan terlebih dahulu?"

Belati seolah menancap di ulu hati Sudewi. Pria ini benar-benar membakar amarahnya hingga mencapai ubun-ubun, kemudian membumbung tinggi ke akasa. Sudewi mengepalkan tangannya, apabila tidak teringat perkataan Kudamerta mengenai kedigdayaan kerajaan induk bernama Majapahit, gadis itu sudah melampiaskan seluruh emosi yang tertahan.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang