Saatnya Pararaton yang berbicara...
1279 Saka
Tahun ini, Wilwatikta akan menyambut seorang parameswari, perempuan laksana bumi yang akan melengkapi sang langit. Rajawiwaha, itulah sebutannya. Tak hanya pernikahan agung, tetapi juga pengangkatan seorang ibu kerajaan. Maklum saja, sejak Hayam Wuruk dinobatkan menjadi Maharaja Majapahit, ia masihlah seorang pemuda lajang.
Pilihan sang Maharaja jatuh kepada Putri Sunda Galuh, wanita rupawan nan berbudi luhur. Ia adalah putri dari Prabu Linggabuana. Dyah Pitaloka Citraresmi namanya. Sungguh, hanya mendengar nama sang putri, dapat menggetarkan hati setiap manusia. Tak ada satu pun wanita yang sanggup menandingi keelokan sang Pitaloka.
Di Keraton Wanguntur, Hayam Wuruk tengah mengawasi para paricaraka, abdi dalem, dan orang-orang di istana yang terlibat langsung dalam penyambutan permaisuri mereka. Pitaloka adalah sosok istimewa, maka Hayam Wuruk sendirilah yang turun tangan memilih segala keindahan untuk calon istrinya. Semua orang di sana sibuk dengan tugas masing-masing, tak lain ialah Ra Banyak, sida Maharaja Sri Nata Wilwatikta. Dengan tergesa, ia berjalan cepat menuju Hayam Wuruk yang mengamati perhiasan untuk diserahkan kepada mempelai wanita. Sida tersebut lalu membungkukkan badannya.
"Mohon ampun, Gusti Prabu. Hamba ingin menyampaikan pesan dari Mahapatih Gajah Mada dan Patih Madhu bahwa rombongan dari Kerajaan Sunda Galuh sudah berangkat melalui Laut Jawa dan akan tiba dalam lima hari," jelas Ra Banyak tanpa melihat mata lawan bicaranya.
Hayam Wuruk menghentikan tangannya yang tadinya menyentuh permukaan perhiasan itu. Tanpa berniat membalikkan badan, dirinya memberi respon sidanya dengan deheman. "Pastikan rombongan calon istriku mendapat sambutan yang terhormat," pesannya kepada Ra Banyak.
"Hamba izin menyampaikan kembali, Paduka Raja," pinta Ra Banyak ingin segera menuntaskan pekerjaannya.
Hayam Wuruk yang lagi-lagi tak ada minat menatap sidanya pun menjawab, "katakanlah," ucapnya.
Ra Banyak membasahi bibirnya yang kering, saking sibuknya, ia sampai lupa menegak segelas air. Sida tersebut kemudian menghembuskan napas dalam karena kelelahan. "Semua undangan telah disebar ke seluruh penjuru Sweta Dwipa dan kerajaan lainnya, termasuk Yuan Raya, Baginda," terangnya tanpa menyembunyikan fakta apa pun.
Hal tersebut ternyata mampu menyita perhatian sang Prabu. "Yuan Raya?" ulang Hayam Wuruk memastikan.
Ra Banyak mengangguk kecil. "Benar, Gusti Prabu."
Saat Hayam Wuruk akan berucap kembali, mereka dikejutkan oleh kehadiran Mahapatih Gajah Mada dan Ibu Suri Dyah Gitarja. Ra Banyak yang mengetahui bahwa sebentar lagi ada perbincangan penting pun undur diri. Urung baginya untuk mencampuri urusan para petinggi Majapahit tanpa sebuah perintah dari tuannya.
Gajah Mada membungkukkan badannya untuk menghormati penguasa Wilwatikta tersebut. "Salam, Yang Mulia Prabu, semoga Acintya selalu memberkati," sapanya dengan mengatupkan kedua tangan di dada.
"Apa yang membuat Paman dan Ibunda ke mari?" tembak Hayam Wuruk langsung.
Dyah Gitarja mendekat ke arah perhiasan yang Hayam Wuruk persiapkan untuk calon permaisurinya. "Gemerlap emas tak akan menenggelamkan kesahajaan Putri Sunda Galuh, bukan?" lontarnya sembari menyentuh perhiasan yang bernilai tinggi itu. "Kau tahu, putraku, Rajawiwaha yang sebentar lagi akan dilaksanakan merupakan perwujudan dari pengabdian untuk rakyat."
Hayam Wuruk menyunggingkan bibirnya. "Benar, Ibunda."
Dyah Gitarja membalas senyum putranya yang amat tampan tersebut. "Tunjukanlah bahwa kau memiliki permaisuri yang dapat diandalkan, Nak. Karena ia jugalah yang menjadi sumber kekuatanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Fiksi Sejarah-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...