33 | Usaha Pelarian

1.6K 214 10
                                    

"Alangkah baiknya jika Kangmas Cakradhara beristirahat terlebih dahulu. Saya yakin, perjalanan dari Trowulan menuju Wengker tidaklah sebentar." Kali ini, suara ayahanda yang tertangkap telinga Sudewi. Gadis itu mengibas-ibaskan kepala dengan pelan. Ia tak ingin melihat wajah romonya. Dirinya takut keyakinannya tergoyahkan. Maka dari itu, Sudewi tetap menunduk dan mengikuti rombongan paricaraka.

Sampailah mereka di tempat tujuan. Sudewi mencuri pandang, sebelum menyembunyikan wajahnya di antara para dayang. Ia dapat melihat para prajurit dari Istana Trowulan yang memenuhi tempat itu. Kemudian Sudewi mengedarkan pandangan ke arah gapura Keraton Wengker. Beberapa prajurit berjaga di sana. Sang Putri tahu, langkahnya kali ini semakin sulit.

Karena terlalu berfokus pada jalan keluar, tak sengaja nampan yang dibawa Putri Wengker menabrak punggung seorang prajurit. Sudewi merutuki kecerobohannya yang dapat menggagalkan Sagara Bhawa. Prajurit tersebut membalikkan badan, tetapi netranya tak bertemu dengan sang Dewi.

"Lain kali, kau harus berhati-hati, Dayang Wengker," tuturnya yang dibalas oleh anggukan Sudewi. Melihat seorang paricaraka yang tubuhnya bergetar membuat prajurit itu mengernyitkan dahi. "Tidak perlu takut, aku tak akan menghukummu," tenangnya.

Sudewi menyadari bahwa ketakutannya sudah berada di ambang batas. Bukan, bukan karena prajurit Istana Trowulan di hadapannya, tetapi identitasnya yang bisa saja terbongkar. Saat Sudewi ingin menghaturkan salam perpisahan, terdapat langkah kaki yang mendekat.

"Bekel Adiwilaga, Gusti Prabu dan Gusti Mahapatih menunggu Anda," lapor prajurit lain dengan mengarahkan tangannya kepada dua petinggi Majapahit tersebut. Tanpa sadar, pandangan Sudewi pun turut mengikutinya. Terlihat Maharaja Majapahit dan Mahapatih Amangkubhumi berada tak jauh darinya. Kaki sang Putri tiba-tiba membeku. Apalagi ketika netranya menangkap pria yang akan menjadi suaminya tengah berbincang dengan prajurit Istana Trowulan. Tidak, Sudewi mengetahui bahwa mereka bukanlah prajurit biasa. Akan tetapi, prajurit Bhayangkara yang bertugas melindungi sang Prabu dan keluarganya.

Sudewi sudah tidak tahan lagi. Jantungnya berdegup sangat cepat. Ia sudah seperti mata-mata musuh yang terdesak keadaan. Tanpa pikir panjang, Putri Wengker membungkukkan badan. Lantas, dirinya meletakkan nampan di sebuah meja kayu. Ia berniat untuk melarikan diri, memaksakan kakinya untuk berjalan cepat meninggalkan pelataran itu.

Lagi-lagi, Sudewi ingin mengumpat kala sebuah tangan menghentikannya. "Berikanlah gelas-gelas emas ini untuk Paduka Maharaja Sri Wilwatikta dan Paduka Mahapatih Gajah Mada," perintah dayang yang sama ketika Sudewi dan Rarasati berada di pamahanasa sembari meletakkan nampan di kedua tangan sang Dewi. Jelas saja, Putri Wengker tak bisa mengelak demi menutupi identitas aslinya.

Napas Sudewi memburu. Kali ini, ia akan menjemput ajalnya sendiri. Salah sedikit saja, rencana para sahabatnya berantakan. Belum lagi hukuman mengerikan yang menanti. Dengan langkah hati-hati, Sudewi mendekati para petinggi Majapahit itu.

"Bekel Adiwilaga, apakah kau sudah menyampaikan pesanku kepada Tumenggung Nala terkait penyerangan Nan Sarunai?" tanya Hayam Wuruk. Pria itu tak menyadari bahwa paricaraka yang tengah menata gelas adalah calon istrinya sendiri.

Pria bernama Adiwilaga tersebut menganggukkan kepala. "Hamba telah menyampaikannya, Paduka Prabu," sahutnya mantap.

Hayam Wuruk membalasnya dengan senyuman tipis. Lantas pandangannya beralih kepada Gajah Mada. "Saya memerintahkan Mpu Lembu Nala untuk mengurangi pasukan yang akan dikirimkan ke Warunadwipa. Otomatis, jung yang akan digunakan menjadi lebih sedikit. Beberapa kapal untuk perbekalan tidak akan turut dilayarkan. Saya rasa, berita Rajawiwaha haruslah mengalahkan berita kerajaan kita yang menyerang Nan Sarunai. Bagaimana menurut Anda, Paman Mada?"

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang