Rombongan Kerajaan Sunda Galuh melintasi Laut Jawa dengan membawa armada yang tangguh, terdiri dari dua ratus kapal besar dan dua ribu kapal kecil. Adapun kapal yang ditumpangi oleh Prabu Linggabuana, Dewi Lara Linsing, dan Dyah Pitaloka adalah Jung Sasanga Wangunan yang memiliki sembilan lantai. Rombongan Sunda Galuh telah menepi di Pelabuhan Hujung Galuh, Nagari Kahuripan. Lantas, mereka berlayar kembali melintasi Kali Brantas dan berlabuh di Pelabuhan Canggu. Prabu Linggabuana tidak mengajak serta Niskala karena putranya tersebut masihlah berusia sangat muda, sembilan tahun.
Sementara itu, Mahapatih Sunda Galuh —Bunisora— menolak untuk menghadiri pernikahan keponakannya. Ia merupakan sosok yang patuh terhadap tradisi. Seorang wanita yang melalang buana untuk meminang seorang pria, hukumnya tak pantas. Maka dari itu, Mahapatih Bunisora tak memenuhi keinginan kakaknya karena ia terikat dengan harga diri orang Sunda. Untuk menghormati keputusan adiknya, Prabu Linggabuana pun tak berniat memaksa.
Rombongan Sunda Galuh melewati Gapura Waringin Lawang. Ibu kota Majapahit ini nampak ramai. Namun, mereka tak melihat satu pun penyambutan yang dilakukan oleh pihak Istana Trowulan. Bahkan kali ini mereka tengah berada di Alun-alun Bubat. Pesanggrahan tersebut merupakan tempat dilaksanakannya pesta rakyat. Maka dari itu, sangat luas tak terkira. Alun-alun Bubat berada di utara komplek Istana Kotaraja Trowulan.
Karena kelelahan akibat perjalanan panjang, rombongan Prabu Linggabuana pun memutuskan untuk membuat perkemahan sementara. Tenda-tenda dibangun oleh para prajurit dan dibantu para pria yang ikut dalam rombongan itu. Waktu berlalu begitu cepat, tetapi Prabu Linggabuana tak melihat tanda-tanda kedatangan pihak istana. Dirinya mulai diliputi kecemasan saat matahari benar-benar tenggelam. Obor-obor dinyalakan guna mendapat perhatian dari Maharaja Majapahit dan semua orang di istana tersebut. Saat ini, Prabu Linggabuana masih berpikir positif, mungkin para petinggi Majapahit sedang mempersiapkan penyambutan agung untuk putrinya.
"Kanda, duduklah di sini," pinta Dewi Lara Linsing pada suaminya. Ia menepuk kursi di sebelahnya yang kosong.
Tanpa pikir panjang, sang Maharaja pun menurutinya. Lantas, dengan penuh kelembutan, Dewi Lara Linsing menyentuh tangan suaminya. Ia bisa merasakan telapak tangan sang Prabu berkeringat. "Sampai kapan kita akan menunggu, Kanda?" tanyanya kemudian.
Prabu Linggabuana mengelus punggung tangan istrinya. "Kau tahu, Dinda. Majapahit adalah kestaria perkasa, yang mana tak akan ingkar pada janji yang telah diucapkan," sahutnya dengan senyum mengembang. "Sebentar lagi, kita akan menjadi bagian dari mereka. Kita buktikan bahwa Pitaloka adalah penyambung darah yang telah lama terputus," tandas sang Prabu, meyakinkan kegundahan istrinya. Padahal dirinya sendiri tengah dilingkupi kerisauan.
Dewi Lara Linsing membalas senyum suaminya. "Pitaloka adalah cahaya kita. Ia adalah kebanggaan bagi Sunda Galuh," tukas ibunda dari Citra Rashmi.
Pitaloka yang tak sengaja mendengar percakapan singkat orang tuanya pun terenyuh. Pikirannya melalang buana entah ke mana. Pitaloka menyadari bahwa saat ini adalah kali terakhir ia bisa menjadi seorang putri. Gadis cantik berusia delapan belas tahun tersebut tak menyangka, ia datang jauh-jauh ke Trowulan dengan membawa bakti dan pengabdian untuk rakyat Sunda Galuh. Sebuah pengorbanan yang ditukar dengan perpisahan.
Pitaloka tak sanggup untuk bergabung dengan orang tuanya hanya sekadar menikmati malam pertamanya di kerajaan orang. Lantas, dirinya melangkahkan kaki, pergi meninggalkan tendanya. Tidak jauh, hanya di depan tenda saja. Ia menikmati sang candra yang bersinar.
Jari jemari Pitaloka merogoh sesuatu dari dalam kainnya. Nampaklah sebuah surat yang dikirimkan Hayam Wuruk tahun lalu. Berulang kali Pitaloka membacanya. Tak ada kebosanan untuk mendamba aksara demi aksara yang tertoreh indah. Ia justru jatuh semakin dalam kepada Maharaja Majapahit tersebut. Ia memang tak pernah bertemu dengan pria itu secara langsung, tetapi angin yang menerpanya seolah memberi kabar mengenai pujaan hatinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/353488848-288-k721913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...