Rolan menatap semua itu dalam diam dengan ekspresi dahi berkerut, sedang mengumpulkan kesadaran setelah tersentak bangun. Rolan nyaris tidak memperhatikan apa yang dilakukan Mita belakangan hari ini. Otaknya sama sekali tak memikirkan persoalannya dengan Mita. Seluruh tubuh Rolan bergerak seperti robot terus-menerus untuk mencari rumput, memberi makan lembu-lembunya yang rata-rata tak sanggup berjalan itu. Membuat jamu dan sebagainya. Ditambah dengan jam tidurnya yang semakin tak teratur, Rolan hanya langsung terlelap jika dia sudah sangat mengantuk dan langsung pergi ke kandang ketika matanya terbuka.
Sebagian lembunya sudah mau makan—meski belum normal. Tapi sebagian besar lainnya memasuki fase awal yaitu meneteskan air liur berlebihan, lidah seperti panas dalam, dan tapak kaki yang lecet-lecet berdarah. Sebagian lain juga mengalami bentol-bentol.
Tetapi ada kabar baik karena Pak Suroso mau datang untuk menyuntik lembu-lembunya, katanya bukan obat, hanya untuk menambah daya tahan, tapi menjadi kabar buruk kembali saat Rolan sudah menunggu-nunggu, Pak Suroso justru sangat sibuk menyuntik lembu-lembu orang lain yang terdampak lebih dulu.
Belum lagi kondisi keuangan Rolan yang tambah menipis. Belum lagi untuk keperluan jamu dan obat semprot. Sepertinya Rolan akan mengajukan pinjaman lagi ke Pak Mur, si agen sawit, meskipun jaminannya sawit yang dijual kepadanya dihargai lebih murah per kilo-nya.
Ada sesuatu yang remuk di sudut hati Rolan melihat lembu-lembunya yang tadinya gemuk-gemuk kini tampak sangat kurus hingga tulang-tulang punggungnya menonjol. Dia begitu bangga dengan usahanya, dan betapa banyak uang yang sudah dihasilkan dari pandangan sebelah mata orang yang dulunya dia hanya mempunyai dua lembu indukan, hingga sebesar sekarang. Dan kini, jika semua ini habis, Rolan akan mendapati cemoohan itu lagi ketika orang-orang akan menatapnya kasihan. Rolan sangat anti dikasihani, egonya akan tersentil.
"Bang!" dari nada bicaranya Mita juga terkejut Rolan tiba-tiba muncul.
Rolan menatap tanpa ekspresi Mita yang berjingkat-jingkat ke arahnya.
"Kenapa rumputnya nggak di jus aja?? Jadi kan langsung telen. Terus ususnya nggak perlu capek ngiling makanan lagi, ya kan??"
"Tempat giling makanan itu lambung..."
Mita tersentak mendelik. "Loh bukannya usus? Kok Abang tahu??"
Rolan mendengus, menanggapi pertanyaan tak penting itu sekarang.
"Jadi beneran nggak bisa dikasih makan bubur rumput?"
Mata Rolan menyipit atas pertanyaan konyol itu.
Mita yang mulai paham arti ekspresi Bang Rolan merengut, karena gagasannya ditolak mentah-mentah.
***
Mita terkejut mendengar sesuatu di atas atap rumah, dan langsung menjauhkan ponselnya berlari keluar mencari keberadaan Bang Rolan.
"Abaaang!" pekik Mita saat melihat dari kejauhan, di kandang sana, Rolan berdiri memegangi senternya.
Senter itu mengarah kepada Mita. "Kenapa?!" balas Rolan memekik.
Mita mengkode dengan tangannya agar Rolan mendekat, sebab bulu kuduknya semakin merinding.
Dengan dahi berkerut begitu dalam, Rolan mendekat. "Kenapa??" tanya dengan suara tinggi.
"Itu... tadi aku dengar suara-suara di atap."
Dan suara itu muncul lagi.
"Tuh! Kan...!"
Rolan menipiskan bibirnya. "Itu suara angin..."
Manik mata Mita membola. "Masa angin bunyi keletuk-keletuk gitu Bang??"
"Ck! Dahan pohon kelapa itu, kena seng. Udahlah, nggak ada apa-apa itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Lara
RomanceBlurb : Menikah adalah prioritas nomor ke sekian bagi Rolan, sebelum dia bertemu sosok Mita. Gadis polos penderita disleksia. Sayangnya, Mita adalah wanita yang hendak dijodohkan kepadanya, oleh Ayahnya-pria yang telah menelantarkannya sejak kecil...