Bab 46

5.8K 964 70
                                    


"Diamlah!" Beni meledak mendengar omelan tak henti dari mulut Vina.

"Papa bikin Mita kejebak sama lelaki keras kepala kayak gitu. Udah telanjur nikah. Kalau Mita pisah belum lagi apa kata keluarga besar kita?!"

"Urusanku itu," bentak Beni.

"Pokoknya Mama nggak mau tau ya Pa! Mama nggak mau Mita tetap tinggal di kampung itu!!" Vina masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu.

***

"Abang nggak mandi?" tanya Mita yang memutar tubuhnya dari balik cermin meja rias.

Rolan menoleh, terdiam, dengan pikiran penuh. Sementara wajah Mita berkerut semakin aneh.

Alis Rolan semakin menungkik, bagaimana cara menjelaskan kepada Mita jika dia tak ingin bertemu dengan orang tuanya. Mungkin ini akan terbilang pengecut, hanya saja, Rolan tak ingin ada celetukan aneh terutama dari Mama Mita pada saat Mita tak mengerti apa pun permasalahan mereka semalam.

Di sisi lain, Rolan belum mengatakan apa-apa kepada Mita. Dia bingung menjelaskannya tanpa membuat Mita salah paham.

"Bang..." tanya Mita lagi semakin heran. "Tapi kata Abang kita pulang pagi-pagi?"

Rolan menelan ludahnya yang terasa begitu pekat.

"Kau aja yang sarapan. Aku lagi—"

"Abang sakit perut??"

Rahang Rolan mengetat. Jika dia mengangguk maka dia membohongi Mita, padahal sejak Rolan mengatakan sebagian masalah yang dihadapinya, Rolan sudah bertekad untuk tak ada lagi yang ditutup-tutupi di antara mereka, meski mungkin Mita tak sepenuhnya mengerti.

Setan dalam diri Rolan membisik kuat agar dia mengangguk, tetapi dengan hati yang membetot kuat Rolan menggeleng. "Aku nggak sakit perut," paparnya.

Dahi Mita mengernyit.

"Aku—lagi belum bisa ketemu orang tuamu," ungkap Rolan berterus terang dengan napas sedikit tertahan.

Mata Mita membelalak. "Kenapa??"

Rolan sama sekali tak bisa berpura-pura tak terjadi apa pun seandainya mereka bertemu di meja makan. Namun, Rolan lebih tak bisa membiarkan Mita menerima informasi apa pun, tanpa dia tahu kebenarannya dari mulut Rolan.

"Sebenarnya—semalem waktu aku keluar. Aku ketemu sama Mamak Bapakmu." Mita masih setia dengan sorot menunggu. "Kami—berdebat. Bapak sama Mamakmu... marah sama aku."

Sorot mata Rolan menajam ketika refleks Mita berdiri dari duduknya. "Abang berantem sama Papa??"

Jantung Rolan berpacu semakin cepat. Tapi dia tak bisa menampik pertanyaan Mita, karena semalam mereka memang bersitegang.

"Abang pukul-pukulan—"

"Enggaak..." dengus Rolan.

"Terus??" desak Mita saat di sebelah Rolan.

Rolan kembali menelan ludah, mau tak mau dia menceritakan detail apa saja yang dia katakan semalam, tanpa mengurangi satu kalimat pun.

Mita yang sejak tadi mendongak, kini mengerjap heran. "Papa nggak kasih aku tinggal sama Abang dikampung??"

Otot leher Rolan mengencang. Dia mengangguk tipis. Bola matanya meliar. Rolan bahkan belum memastikan secara jelas, Mita lebih memilih mengikuti kata-katanya atau justru takut dengan Bapaknya?

Mereka berdua tersentak ketika pintu terketuk. Bola mata Rolan langsung mengarah ke pintu menatap tegang dan waspada. Sementara, Mita langsung beranjak dari duduknya.

Jejak LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang