Bab 53

4.6K 950 161
                                    

"Ini—kita ke rumah..." Mita mendelik ketika tersadar jalanan yang sangat familier bahkan di hapalnya itu.

"Rumah saudara Abang dekat rumahku??"

Lagi-lagi Rolan tak menjawab pertanyaan Mita. Mita celingukan, tak henti mengedip-ngedipkan matanya dan terheran-heran.

"Tapi kan Bang, kalau terlalu dekat, nanti—" mulut Mita terbuka dengan kalimat yang menggantung. "Atau kita mau keliling ke mana ini Bang?" ocehnya lagi.

"Kita memang mau ke rumahmu," ucap Rolan akhirnya.

Kali ini Mita menoleh sambil melotot. "Kita—pulang ke rumah??"

Rolan mengangguk yakin.

"Tapi kan Abang—"

"Orang tuamu udah sebar undangan. Nanti semua tamu datang terus nggak ada kita. Gimana perasaan orang tuamu?"

Mita mengerjap dengan wajah merenung. "Iya ya..."

"Tapi, kalau ketemu Mama. Mama pasti ngomel..."

"Kalau ditanya apa-apa. Jawab aja aku yang suruh."

"Nggak ah. Nanti malah Abang yang dimarahin."

"Kan memang aku yang suruh."

Wajah Mita semakin tertekuk.

Mobil akhirnya berhenti di depan kediaman orang tua Mita. Rolan turun untuk memastikan diri siapa yang datang. Dan pintu pagar terbuka.

Rolan memarkirkan mobilnya ke tempat yang masih tersedia. Lalu turun. Mita menyusul mengikuti Rolan. Padahal ini rumahnya sendiri, tetapi dia justru bersembunyi dibalik bahu suaminya.

"Kak Mita..." pekik Juni.

Mita meringis. Tak lama Mamanya muncul dan Mita langsung menggigit bibir bawahnya. Kapoklah, pasti Mamanya akan marahin dia habis-habisan.

"Tu kan bener Kak Mita, Buk..." ucap Juni dengan napas lega sekali.

Mata Vina langsung menusuk seperti mata elang.

***

"Kemana aja hapemu nggak aktif? Hah?? Kenapa hapemu nggak aktif??" cecar Vina yang dengan sengaja menarik Mita ke kamarnya.

Mita memainkan ujung keliman bajunya. Jika dia jujur, nanti Mamanya marah ke Bang Rolan... tapi kata Bang Rolan... "R-rusak..."

Vina langsung melotot marah. "Rusak?! Rusak gimana?? Kalau rusak memangnya nggak bisa pindahin kartunya ke hape lain?!"

"K-kan, belum dibenerin." Astaga... kelopak mata Mita langsung berkedut, dia terus saja menunduk, paling sulit berbohong, apalagi dengan Mamanya.

"Papamu juga nggak bisa hubungin Rolan. Ngapain kalian? Apa?? Mau bilang hape Rolan rusak juga?!"

"M-mungkin—nggak ada sinyal."

"Bohong!" seru Vina marah besar. "Belajar bohong kamu sama Mama, hah?! Kamu nggak tahu Mama capek-capek urus acara rumah baru kalian?! Terus kalian nggak ada kabar, sengaja mau ngelempar tai ke wajah orang tuamu?! Udah dibikinkan rumah, tinggal nempatin! Punya otak dipake!!"

Mata Mita sudah memerah sejak tadi ingin menangis ditahannya sekuat tenaga. Lebih baik dia diam saja, tak usah menjawab lagi.

Ponsel Vina berdering, menginterupsi emosinya yang meledak-ledak. Ekspresi Vina langsung berubah ketika menjawab panggilan telepon tersebut. Namun, langkahnya tetap bekerja membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian dari gantungan.

Begitu panggilannya selesai, Vina kembali mengarahkan sorot emosi ke putri bungsunya itu.

"Ini baju untuk lusa. Sana bawa naik. Dicoba!"

Jejak LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang