Bab 49

5.4K 866 42
                                    

"Kak..."

"Ya?"

"Kata Bang Rolan aku disuruh bilang ke Kakak kami pulang besok. Nggak jadi hari ini. Abang juga udah bilang ke Bang Guntur katanya."

Rani yang baru selesai memakaikan baju anaknya menaikkan alisnya. "Loh, malahan Kakak kira mau nginap lebih lama..."

Mita menampilkan wajah polos. "Aku juga penginnya gitu. Tapi kan ada lembu-lembu Abang..."

"Iya sih..." gumam Rani.

"Tapi besok Abang janji mau ajak aku nonton..."

"Eh, serius? Aku juga udah lama nggak ajak anak-anak ke mal. Nantilah, aku tanya dulu ke Bang Guntur, boleh ikut pergi nggak."

Mata Mita berbinar, mengangguk kencang.

Mita menghidu wangi segar dari anak Kak Rani. "Itu dipakein apa Kak?"

"Minyak rambut."

Mata Mita turun ke kotak perlengkapan anak Kak Rani. "Banyak kali ya? Ini untuk apa aja?"

"Macem-macem sih. Ada minyak telon, minyak wangi. Kamu nggak pernah liat perlengkapan bayi?"

Mita sedikit melebarkan bola matanya. "Um... aku nggak pernah perhatiin baby sitter Kakak iparku."

Rani sedikit menaikkan wajahnya. Semalam akhirnya dia mendapatkan sedikit cerita dari suaminya. Meski bagi Rani belum komplit. Dia tahu, keluarga besarnya, terutama keluarga besar Mita, rata-rata memakai baby sitter. Batinnya jadi ikut risau, dia khawatir—Rani juga mengungkapkan kekhawatirannya kepada Bang Guntur semalam—akan lebih sulit bagi Mama Mita pastinya menerima anaknya tinggal di kampung tanpa fasilitas, tanpa sarana yang bagus.

"Mita. Kamu udah menikah berapa lama sih?"

Wajah Mita tampak berpikir. Dan mengingat bulan pernikahannya, menghitung dengan tangan. "Jalan enam deh Kak."

"Kamu niat mau langsung punya anak atau nanti-nanti dulu. Atau... malahan nggak mau punya anak?"

Wajah Mita tampak tercengang. "Ya mau..."

"Maaf ya, Kakak tanya gini bukan mau julid tanya-tanya kamu kapan punya anak. Dan sebagainya. Soalnya, komitmen pasangan soal anak biasanya beda-beda. Tapi karena kita hidup di kampung,pasti ada aja pertanyaan kepo kapan punya anak. Kalau kamu nggak niat nunda. Nggak ada salahnya periksa ke dokter. Buat check up aja..."

Wajah Mita serta-merta tertekuk. "Ngeri nggak Kak kalau periksa ke dokter?"

"Nggak ngeri kok..." Rani harus menyemangati Mita, mana mungkin dia mengatakan detailnya. Bisa-bisa Mita benar-benar nggak mau ke dokter.

"Apanya yang diperiksa Kak?"

Aduhhh... gimana Rani jelasinnya. "Ya, rahim kamu."

"Rahim?"

"Nanti ada alatnya kok. Nggak usah takut. Eh, tapi. Kamu udah pernah bahas ini ke suamimu?"

Mita menggeleng. "Bahas gimana?"

Rani mengulum bibirnya. Dia juga tak bisa memastikan suami Mita peduli dengan harus cepat punya anak atau tidak. Dan kebanyakan malahan suami yang nggak peduli harus periksa ke dokter dan sebagainya.

"Coba deh bahas pas lagi senggang. Karena keputusan mau punya anak itu harus dibicarakan berdua. Misal nih, kamu pengin... banget punya anak sekarang. Bisa aja suamimu santai aja dulu kan, sedikasihnya kapan gitu? Lagipula, punya anak juga butuh kesiapan yang matang."

Mana tahu dengan kehadiran buah hati, hati Mama Mita sedikit melunak? Seperti Mamanya yang melunak saat mereka mulai punya anak. Semoga.

"Eh, tapi kamu ngerti nggak maksud Kakak?"

Jejak LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang