15. Sakit yang Berbeda

3.2K 179 32
                                    

Our Home

Happy Reading For All😁😁

Sakit yang Berbeda


"Jadi Ayan ketakutan tuh gara-gara liat si Dikta? Gitu?" Devano mengangguk menanggapi pertanyaan Aryan barusan.

"Yang gue liat sih gitu.."

Aryan mengepalkan tangannya emosi kala mendengar pengakuan Devano barusan.

Ken dan Radit menatap sosok Rayan yang saat ini tengah tertidur lelap, mereka masih di ruang UKS saat ini.

"Sepertinya trauma yang disebabkan ibunya dan truma yang disebabkan Dikta bersatu diwaktu yang bersamaan. Sekilas mungkin Rayan seperti tidak mengalami apapun, tapi sebenarnya dia menyembunyikan ketakutannya selama ini." Ken mengangguk membenarkan spekulasi Radit.

Ketika memperdalam masa lalu Rayan memang dirinya bisa melihat bagaimana kerasnya hidup Rayan kala itu. Di keluarga kandungnya Rayan adalah anak yang tak diharapkan, dia hanya terpaksa di besarkan karena keterpaksaan. Lalu saat ditinggal oleh keluarga kandungnya Rayan bertemu dengan Aryan, keduanya saling menyembuhkan saat itu. Dan ketika berpisah dengan Aryan barulah Rayan di pertemukan dengan keluarga angkatnya.

Perjalanan hidup Rayan lebih berliku daripada Aryan, dan Ken merasa bersalah karena menambah beban dalam hidup anak itu.

"Papa jadi merasa bersalah dengan apa yang Papa perbuat saat itu. Rasanya kebodohan Papa mencapai tingkat paling tinggi saat melakukan hal yang seharusnya tak pernah dilakukan seorang ayah pada anaknya.."

"Papa gagal menjadi sosok Papa yang baik untuk anak-anak Papa terutama Rayan.."

Tatapan Ken menyendu. Aryan yang melihat itu menggenggam tangan sang ayah. Dirinya yang tadi tengah dalam emosi yang meledak-ledak merasa ikut sedih. Dirinya jelas tahu bagaimana perangai Ken dan apa penyebabnya. Namun saat itu Aryan malah menyalahkan Ken seenaknya tanpa mau mendengar dulu penjelasan ayahnya itu.

Radit yang berada tepat disamping Ken menepuk punggung sahabatnya hingga dia mengaduh.

"Kau memang salah. Sangat bersalah!" tegas Radit.

"Tapi, semua orang pasti membuat kesalahan dalam hidupnya. Tugasmu saat ini adalah memperbaiki semuanya dan mencoba lagi menjadi sosok yang terbaik untuk anak-anakmu. Jangan beda-bedakan mereka hanya karena hubungan darah, jika kau melakukan itu sama saja kau bersikap kejam pada mereka." tambah Radit. Ken tak menjawab, tapi tentu saja kata-kata Radit ada di rekaman otaknya saat ini.

Devano yang melihat suasan sendu yang diciptakan oleh dua orang dewasa di depannya meringis. Anak itu menendang kaki Aryan pelan hingga membuat sahabatnya menoleh dengan tatapan tajam.

"Ngapain lo nendang gue?!" Aryan menggunakan isyarat mulut untuk memarahi Devano. Namun anak itu tak peduli dengan omelan Aryan. Dirinya malah menunjuk dua orang dewasa yang saat ini tengah berwajah sedih sekarang.

Anak itu mendekat kearah Aryan dan berbisik, "Itu bapak lo sama bapak gue kenapa deh? Bukannya buru-buru balik dari sini mereka malah mellow bareng kek bocil yang cintanya bertepuk sebelah tangan.." ujar Devano.

Aryan ternganga dengan bisikan yang barusan sampai di telinganya. Anak itu menggeplak belakang kepala Devano saking kesalnya pada sahabatnya itu. Dua orang dewasa yang ada disana langsung memperhatikan tindakan Aryan, namun Aryan mana peduli. Bukannya ketika kesal memang seharusnya dilampiaskan ya?



"Harusnya nggak usah sampe minta Papa lo buat izin ke Ayah. Gue di rumah juga nggak apa-apa kok." ujar Dikta diperjalanan mereka pulang.

"Kalo nggak minta Papa mana mau om Arav ngizinin? Pokoknya malem ini nginep dulu di apart. Besok sore baru lo balik!" tegas Jodi kekeh.

"Iya gue nginep.."

Dikta terkekeh dengan sikap sahabatnya yang memang sudah begini sejak pertama bertemu. Walaupun Jodi terbiasa melihat kenakalan serta sifat jahat Dikta, sahabatnya itu tak pernah mempermasalahkan semua. Sebaliknya, Jodi yang sudah dekat dengan Dikta sedari kecil malah sering kali andil membantu Dikta.

Jarak apartemen Jodi dan sekolah terbilang cukup dekat. Hari ini keduanya memutuskan untuk pulang dan beristirahat ketimbang bermain di luar.

Dikta merebahkan diri kala baru saja sampai di kamar sahabatnya kala itu. Jodi yang melihat Dikta rebahan tak langsung mengikuti anak itu untuk berbaring, dirinya lebih memilih untuk menyiapkan makan malah praktis bagi keduanya.

Berbaring dalam waktu 10 menit tak membuat Dikta langsung tertidur. Dirinya terbangun kala mencium aroma masakan yang sepertinya dimasak oleh sahabatnya yang memang multi talent itu.

"Wii~ spagetti sama bulgogi slice!!"

"Tau aja udah laper ini perut hehe.."

Walau berjalan pincang Dikta cukup cepat menghampiri sahabatnya yang tengah menata makanan di meja makan. Anak itu langsung duduk dan menatap makanan yang tersaji dengan berbinar.

Jodi menggeleng pelan melihat reaksi Dikta saat ini. Sahabatnya itu adalah individu yang sering kali bersikap dingin agar tak ada yang berani menyentuhnya. Namun, kendati demikian Dikta selalu menunjukkan sikap childish-nya jika bersama dengan dirinya. Mungkin inikah yang disebut inner child yang muncul?

"Makan yang kenyang. Kayaknya om Arav nggak pernah ngasih lo makan sampe kurus gini." ujar Jodi. Sarkas memang, namun Dikta tahu betul kenapa Jodi bersikap demikian.

Mereka pun makan dengan tenang. Baik Jodi maupun Dikta memutuskan untuk makan di depan TV sembari menonton serial anime kesukaan keduanya.

Dikta menikmati saat-saat bersama dengan Jodi. Di apartemen ini dirinya bisa menjadi sosok Ardikta seutuhnya tanpa harus memikirkam hukuman yang akan didapat ataupun kata-kata kasar yang akan didengar. Dikta juga lebih bisa mengekapresikan dirinya ketika bersama dengan Jodi. Yah, memang Jodi adalah sahabat yang paling nengerti dirinya.

"Obat rajin lo minum?" tiba-tiba pertanyaan itu muncul. Dikta yang tengah makan dengan anteng terhenti sejenak.

"Hari ini libur soalnya obatnya abis.." ucap Dikta dengan enteng.

Jodi menatap Dikta dengan tatapan tak percaya.

"Bocah bego emang!" hardik Jodi. Anak itu terlihat kesal dengan jawaban kelewat enteng sahabatnya. Padahal kan apa yang Jodi tanyakan itu penting, tapi tanggapan anak itu malah biasa saja.

Dikta merotasikan matanya, "Bukan bego tau, enak aja! Kemaren obat gue abis terus kan gue abis di hukum. Mana bisa keluar beli obat.." ujarnya jujur.

Jodi menganga tak percaya. Jika benar begitu kenapa tidak memberitahunya coba? Bukankah sudah Jodi bilang jika dirinya akan membantu Dikta dengan sebaik-baiknya?

"Cape banget punya sahabat bego!" ujarnya sembari mengacak rambut.

Melihat sahabatnya yang frustasi Dikta hanya mengedikkan bahu. Bukan tak peduli, hanya saja jika berani mengajak bicara Jodi saat ini maka pasti dia akan kena semprot. Dan tentu saja Dikta tak ingin itu terjadi kepadanya.

𝐊𝐚𝐩𝐚𝐧-𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐲𝐚..

𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐕𝐨𝐭𝐞 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐊𝐨𝐦𝐞𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤!

Maap buat typo yang bertebaran, kalo ada salah kata tolong koreksinya ya! Dan maap juga kalo ceritanya gaje😭😭

Btw hari ini lebih pendek ya, Ryuu nya lagi ada acara weh😆😆😆

Makasi yang udah baca, dan komen yang banyak buat lanjutin cerita ini..

See yaaaa🐾🐾🐾🐾














OUR HOME [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang