Bab 8. Olah raga atau cuci mata?

926 177 154
                                    

Alhamdulillah, yang komen masih setia, ada juga ternyata.

Syukuri sekecil apapun yg baca, karena org besar tetap berasal dari orang kecil..

Semangaattt

Jangan lupa dikaryakarsa udah sampai bab 28.
Disana kalau kalian mau murah, bacanya beli paketan. Itu seumur hidup durasinya..
Jadi sampai kelar, cuma seharga itu aja. mau 100 bab, tetap 45K

Yang sudah komen dikaryakarsa juga terima kasih banyak. Apalagi yg dari luar negeri, beli langsung ke aku. Ada beberapa org TF langsung ke aku buat beli paketan dikaryakarsa, krn gak bisa beli via aplikasinya.

Tenang, walau jarak kita jauh, tapi tetap diberikan kemudahan buat baca ceritaku di sana,..

Terima kasih banyak. Semoga rezekinya lancar teruss

------------------------


"Ayo ..." seru Humairah, memakai pakaian olah raga super mini yang hanya dilapisi dengan sebuah jas, Agwa melihat kelakuan adiknya bukan seperti ingin pergi berolah raga, melainkan seperti akan mejeng di mall, seperti manekin yang berdiri tegak disepanjang waktu.

"Mau ke mana?" seru Agwa bingung.

"Olah raga," jawab Humairah santai sambil mengecap kopi yang dia bawa di gelas kecil, yang baru saja bi Ina bekalkan.

Menurunkan kaca mata hitamnya sampai diujung batang hidung, Humairah membalas tatapan orang-orang kepadanya. Beberapa ajudan sang ayah yang sudah dia kenal dengan baik menatap Humairah dengan tatapan bingung.

"Pada kenapa deh?"

"Kamu yang kenapa? Kita ke lapangannya naik sepeda. Itu udah disiapin semua."

"REALLY? NAIK SEPEDA?"

"Loh, iya. Namanya juga olah raga," seru Lakeswara menanggapi keterkejutan putrinya yang terdengar tidak terima bila mereka akan naik sepeda ke lapangan. "Kecuali kamu ada maksud lain ke sana, kayak cuci mata gitu."

Benar-benar diluar dugaannya, kedua mata Humairah langsung mencari-cari keberadaan ajudan pribadinya. Setidaknya jika memang diharuskan naik sepeda, Dede, laki-laki berusia kurang lebih 48 tahun itu wajib memboncenginya sampai ke lapangan.

"Pak DEDE!!! ENGGAK USAH NGUMPET!!" teriak Humairah jengkel.

Semua orang tertawa, termasuk ayah dan kakak laki-lakinya. Bahkan tidak ada satu orang pun di sini yang mau mendekati, bahkan membantu Humairah dalam kondisi ini. Padahal biasanya Dede, laki-laki yang berpangkat sersan ini, selalu menurut pada setiap perintah yang Humairah pinta.

Pernah pada saat sekolah, Humairah meminta Dede, atau ajudah pribadinya itu yang disiapkan Lakeswara, untuk membelikannya pembalut ketika tak sengaja darah menstruasinya tembus ke rok sekolahnya. Tidak ada penolakan, Dede benar-benar menurut. Bahkan membelikan pembalut itu sesuai pesanan yang Humairah katakan.

Akan tetapi kini, semua orang terasa membelot darinya.

"AKH, dasar kacang hijau sialan."

Meneguk habis kopi yang sedang dia minum, Humairah langsung mengambil salah satu sepeda yang sudah disiapkan, kemudian mulai melaju mengikuti ayah dan kakaknya. Masih terlihat cantik mengagumkan, Humairah benar-benar seperti bidadari di antara pada algojo.

"Pelan-pelan. Ayah tetap enggak mau kamu sampai lecet," seru Lakeswara disaat sepeda yang Humairah kendarai mulai melaju melewatinya.

Hampir setengah jam mereka semua berkendara, menikmati udara pagi hari yang sesungguhnya sudah tidak sebersih dulu, akhirnya Humairah dan yang lainnya sampai di lapangan, dimana Lakeswara dan Victor, pelatih tim nasional, sudah membuat janji temu sebelumnya.

Perjodohan anak JENDERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang