Bab 19. Kepulangan bang Omar

749 147 130
                                    

Uhuyyy... komennya selalu banyak dan rame. Suka nih aku.
Pokoknya terima kasih banyak-banyak yang selalu bom komen.
Semoga kalian sehat selalu.... Aamiin


--------------------------------------

--------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bang OMAR!!"

Humairah berteriak kencang ketika dua manik matanya tidak menyangka melihat sosok kakak laki-laki yang kurang lebih sudah satu tahun lamanya mereka tidak bertemu. Bahkan berkomunikasi via telepon saja, jarang sekali terjadi. Terkecuali jika sang jenderal sudah memulai percakapan digrup keluarga mereka, barulah Omar muncul di sana, ikut berkomentar sesuai keinginan sang Jenderal. Namun diluar dari pada itu, Omar lebih banyak diam. Akan tetapi dengan sikapnya yang terkesan cuek itu bukan berarti dia tidak menyayangi Humairah. Dia justru yang paling sayang dan tidak suka menggodai adik kecilnya itu. Dia yang bahkan selalu maju terdepan untuk membela Humairah. Apapun Omar akan lakukan demi membahagiakan sang adik. Lalu kini, setelah setahun jarang sekali kabar terdengar, Omar kembali. Tentu saja kembalinya dia bukan tanpa arti. Karena ternyata sang Jenderal sendiri yang meminta Omar tuk kembali. Menggantikan sejenak perannya di rumah, karena ada beberapa hal penting yang harus sang Jenderal urus sebelum tanggal 5, awal bulan besok tiba.

"Ara!"

Berlari, kemudian melompat ke arah tubuh besar Omar, Humairah seperti anak kecil yang dengan mudahnya digendong oleh Omar. Memberikan ciuman hangat dikening adiknya itu, Omar tersenyum bahagia. Sudah lama tidak melihat wajah Humairah membuat Omar sadar bila wajah adiknya itu mirip sekali dengan ibu mereka. Perempuan yang berhasil melahirkan mereka ke dunia ini.

"Ih, kok enggak bilang-bilang Ara kalau mau pulang."

"Iya, dadakan. Tadi abang udah ke rumah. Cuma kata bi Ina, kamu keluar seharian ini sama temen-temen. Untung aja pak Dede sama pak Ardi kamu ajak juga. Kalau enggak mah, enggak kebayang gimana sikap ayah."

"Haha, pak Dede sama pak Ardi, nungguin dimobil doang. Ara kan di sini sama temen-temen. Tuh ...."

Tunjuknya ke arah yang lain. Kini semua teman Ara melambai kepada Omar dengan senyum memikat. Walau Omar tidak memakai seragamnya saat ini. Namun dari postur tubuhnya hampir semua orang bisa menebak jika Omar adalah abdi Negara.

"Eh, iya sampai lupa."

Meninggalkan Omar begitu saja dan kembali ke Mikaela serta Yesha, Humairah tersenyum sumringah. Emosi yang sejak tadi berada di hatinya, terkait Hira, benar-benar lenyap. Karena ternyata baik keluarga dan sahabat-sahabatnya masih sangat cukup untuk membuatnya bahagia. Dia jelas tidak butuh orang lain lagi, termasuk Hira.

"Sorry, ya. Udah lama enggak ketemu abang gue."

"Ah, gitu. Yaudah nanti berkabar lagi kalau kumpul," ucap Mika sambil melambai untuk pergi, sedangkan Humairah sendiri tidak peduli. Dia jelas tidak ingin berkumpul lagi dengan orang-orang itu.

***

Karena kedatangan Omar malam ini, makan malam mereka semua terasa sangat istimewa. Sudah mengenal dengan baik sahabat-sahabat Humairah, Omar menyapa mereka semua satu persatu. Bahkan saat berhenti di Yesha, jabatan tangan Omar terlihat tidak ingin dilepas oleh gadis itu. Untung saja Omar menanggapinya dengan baik dan juga santai. Dia tahu salah satu sahabat Humairah ada yang menyukainya. Namun bagi Omar, tidak ada perasaan spesial untuk para gadis itu dalam hatinya. Semua sudah Omar anggap seperti adiknya sendiri, yang jelas harus dilindungi dengan baik.

"Bang ... makin cakep aja," seru Yesha malu-malu.

"Yesha juga makin cantik."

"AAAHHHH, GEMESSS BANGETTT! YA ALLAH LUCU BANGETTT!!"

"Adeeeekkk. Ih, ya Allah, anak jurig, ih masih balita! Astaghfirullah aladzim ya Allah, kemasan sachet," seru Omar, seolah tahu lanjutan kalimat yang Yesha katakan.

"Hahaha, mampus. Di Harvard kayaknya lagi tenar juga tuh suara."

"Bukan di Harvard lagi tenar, tapi server abang masih versi Indonesia."

"Hahaha, sayang banget sama Ara, ya? Sampai enggak bisa lupain Indonesia."

"Iya, anggap aja begitu." Merangkul Ara dengan sayang, Omar meminta semuanya, termasuk Kano untuk memesan menu makan malam yang paling enak. Karena malam ini dia yang akan mentraktir mereka semua.

"Dek, hubungi pak Dede sama pak Ardi. Bilang suruh ke sini aja. Biar makan bareng."

Tidak menolak, Humairah langsung melakukannya. Dia mengirimkan pesan kepada ajudan dan supirnya itu untuk masuk ke dalam mall, agar bisa menikmati makan malam dengan mereka semua.

"Gimana bang kuliahnya di sana? Aman enggak? Keren banget sih, bisa kuliah di Harvard," seru Sara, calon dokter, yang begitu bangga melihat kesuksesan dan keberhasilan Omar saat ini. Sejujurnya dia juga ingin berkuliah di Harvard sana, sama seperti Omar, namun rasanya otak yang ia miliki belum begitu mampu untuk bertanding dengan orang-orang dari berbagai negara.

"Aman. Kalian semua juga bisa kok. Yang penting niat dan serius menjalani semuanya. Jangan cuma karena kepengen aja, tapi enggak ada action apapun. Itu sama aja mimpi di siang bolong. Enggak akan mungkin terjadi. Lalu yang terakhir jangan lupa doa dan restu dari orangtua. Pasti akan berhasil."

Memberikan jawaban yang begitu bijak, Yesha sampai terkagum-kagum duduk di hadapan Omar, sampai-sampai Kano yang berada di sebelahnya sengaja menyenggol lengan Yesha agar perempuan itu sadar atas tatapan yang ia lakukan.

"Ih, apaan sih, Kano? Enggak bisa lihat gue senang."

"Lagian lo, serem banget lihatnya."

Adanya keributan antara Yesha dan Kano, membuat Omar memerhatikan keduanya. Sejujurnya Omar belum mengenal siapa Kano. Namun dari cerita-cerita yang sang Jenderal katakan, bila Humairah tengah dekat dengan anak dari musuhnya. Apakah laki-laki muda ini yang dimaksud oleh sang Jenderal.

"Itu pacarmu?" tanya Omar kepada Humairah setelah gadis itu mengirimkan pesan kepada sang ajudan.

"Ah? Siapa? Kano? Dih ...."

"Kok dih? Terus kalau bukan, kenapa ayah ...."

"Aku tahu, pasti bang Omar dengan hal-hal aneh dari pak Jenderal deh. Tapi aku enggak ada hubungan apapun sama dia. Enggak tahu deh kalau si Kano yang sebar gosip."

"Ah, jadi cuma gosip." Tanggap Omar dengan santai.

Sambil menunggu makanan datang, beberapa teman Humairah menceritakan hal-hal lucu yang berhasil membuat Omar sesekali menertawakan cerita tersebut. Bahkan dia juga tidak ragu untuk tertawa kencang bersama yang lainnya disaat cerita tersebut memang benar-benar lucu.

"Ternyata bang Omar tetap receh, ya. Sama cerita-cerita sederhana kayak gitu, bisa ketawa juga. Kirain kaku kayak yang lainnya."

"Hahaha, kalau bang Omar kaku juga, kasihan Ara. Pak Jenderal, kaku terus ngeselin, itu sih testimoni dari Ara sendiri. Terus mas Agwa, kaku dan ngeselin juga. Setipe sama pak Jenderal. Belum lagi calon suaminya. Kaku dan ngeselin juga. Kalau bang Omar ikutan kaku dan ngeselin juga sih, kelar hidupnya Ara."

"Calon suami Ara? Siapa?" tanya Kano bingung. Karena dia belum mendengar kabar mengejutkan ini sebelum-sebelumnya.

"Ra, siapa calon lo? Kayaknya lo enggak pernah cerita deh!"

"Dih, penting banget cerita sama lo," seru Humairah kejam. Dia mencibir sikap Kano, kemudian bergumam cukup kencang. "Lagian siapapun dia, yang jelas dia cowok berseragam yang direstuin sama bokap gue. Sampai disitu aja lo harusnya sadar. Sadar kalau anak kacang tanah enggak akan bisa satu dengan anak kacang hijau!" 

Perjodohan anak JENDERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang