Bab 31. Menuju tanggal 5

693 141 244
                                    

Terima kasih banyak komennya. Terima kasih banyak yang masih mau baca.

Sesuatu sekali kalian. Setelah aku berhari-hari gak update krn sakit, ternyata masih ada yg setia buat baca.
Bahkan ada yg boom beli paketan di karyakarsa.

Mungkin buat yg mau mampir karya karsa boleh. Buat beli bubur ayam sebelum minum obat.. wkakakak :v

Aku bener-bener bersyukur banget. Terima kasih banyak ya teman-teman semua.


-----------------------------------

Baper abis!!! Begitulah kira-kira perasaan yang Humairah rasakan saat ini. Bahkan disaat Hira dan keluarga mengantarkan Humairah tuk kembali ke rumahnya, gadis itu masih malu-malu melirik ke wajah Hira yang duduk di sampingnya.

"Bu, Pak, Ara balik dulu, ya. Makasih waktunya seharian ini. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi, ya!"

"Mbak Ara, kok Haris enggak disebut sih? Kan tadi Haris juga temenin mbak Ara."

"Iya, sama Haris juga. Nanti kapan-kapan kamu ke rumah mbak Ara lagi, mbak ajak untuk lihat-lihat mobil TNI yang buat Haris penasaran."

Tersenyum lebar, Haris mengangguk setuju. Bahkan disaat Humairah mencium punggung tangan ibu Wati dan pak Djani secara bergantian, Haris turut bersikap menjadi adik yang baik. Dia tak lupa mencium punggung tangan Humairah sebelum calon kakak iparnya itu turun dari mobil.

Diantarkan turun oleh Hira, laki-laki itu terlihat mengikuti belakang Humairah, sampai terlihat pak Dede akan menghampiri mereka.

"Gue balik dulu, ya. Makasih banyak udah dipinjemin keluarganya buat hari ini," ucap Humairah sebelum putar badan, dan terlihat sengaja berlari-lari kecil karena malu harus bertatapan terlalu lama dengan Hira.

Hanya bisa tersenyum, Hira melangkah kembali ke mobilnya. Namun disaat tubuhnya masuk ke dalam, seruan dari ibu Wati langsung terdengar ditelinganya.

"Ara anak yang baik. Memang bagi orang yang belum mengenalnya, dia kelihatan sombong dan memiliki karakter yang keras. Tapi ibu tahu, isi hatinya Ara tulus untuk orang-orang sekitar."

"Iya, Bu. Hira juga sadar itu."

"Semoga enggak ada hambatan ya, Nak. Bapak setuju kamu memilih Ara menjadi istrimu. Nakalnya memang sama seperti Haris, tapi hatinya sama seperti ibumu," tanggap pak Djani tak mau kalah mengomentari ibunya.

Hira tak kuasa menahan senyum disaat Haris menatap kesal ke arah ayahnya.

"Pak, kok Haris dibilang nakal sih!"

"Loh, kamu kan emang nakal. Masih suka melawan. Disuruh sholat saja, harus bapak seret dulu, terus ditungguin pula. Masih enggak sadar juga?"

"Tapi kan tadi mbak Ara enggak kayak Haris. Dia mau sholat bareng ibu!" Tanggap Haris yang sengaja berpindah duduk di depan, karena terlalu sempit duduk bertiga dikursi belakang.

"Kamu aja yang enggak tahu," sahut Hira ketika mengingat betapa susahnya dia membangunkan Humairah untuk sholat subuh.

"Masa sih, Mas? Wah, aku sama mbak Ara, jadi satu grup cocok kayaknya!"

"Enggak usah ngadi-ngadi kamu!" Dorong Hira pada tubuh Haris. Hanya dengan lirikan mata, Hira meminta adiknya itu untuk menggunakan sabuk pengaman sebelum ia kembali menjalankan mobil ini.

"Tapi yah, namanya manusia, enggak ada yang sempurna. Jadi kamu, mas, wajib sabar-sabar hadapi dia. Pinter-pinter pilih kata untuk memberikan nasihat. Jangan pakai emosi. Apalagi kalau ibu lihat, dia lahir dan dibesarkan tanpa orang tua perempuan. Jadi pasti didikannya keras. Selalu pakai emosi ketika memberikan nasihat. Makanya ibu lihat ada bagian dimana Ara suka menjawab dengan cepat, seperti ingin berontak atas keadaan yang tidak sesuai keinginannya. Nah, kalau sudah seperti itu, misalkan kamu bicaranya pakai emosi juga, maka dia akan semakin kencang menentang. Tapi, misalkan kamu menjawabnya kayak yang tadi kamu praktekan, ibu yakin Ara akan menjadi istri yang penurut."

Perjodohan anak JENDERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang