Maaf loh, aku gak sadar kalo udah 200 komen.
Terima kasih yg masih setia spam komen. Lopelope deh pokoknya.
Kalo bab ini berhasil 200 komen, bsok aku update lagi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kembali ke Indonesia. Humairah tidak hanya dijemput pak Dede, sang ajudan kesayangan, tetapi juga dijemput oleh sahabat-sahabatnya. Menggunakan dua mobil, dimana pak Dede mengemudikan satu mobil yang berisi semua orang seperti Omar, Agwa dan Humairah serta teman-teman, dengan posisi duduk yang diatur sedemikian rupa, mereka mulai meninggalkan bandara dan membiarkan pak Ardi mengurus semua koper milik Humairah, Omar dan juga Agwa.
Baru beberapa detik saja mobil dijalankan, percakapan di dalam mobil sudah mulai rusuh dengan serangan-serangan pertanyaan yang diajukan oleh sahabat-sahabat Humairah. Ada yang histeris bahagia karena Humairah akan segera menuju pelaminan dalam hitungan hari kedepan. Ada pula yang merasa takut. Takut Humairah akan melupakan persahabatan mereka semua.
Sangat-sangat ramai dan ajaib dengan isi pemikiran mereka semua.
Apalagi Agwa yang duduk dibaris kedua, persis di belakang pak Dede, memilih mengalihkan pandangan ke arah luar jendela demi menghindari percakapan antara Humairah dengan teman-temannya.
"Sumpah, Ra. Pokoknya abis ini kita belanja-belaja. Lo perlu siap-siap jadi istri orang. Lo wajib ke salon juga. Gue lihat-lihat muka lo jadi kusam sekarang. Pokoknya enggak mau tahu, sampai hari H, lo berada dibawah pengawasan kita-kita. Bukan pengawasan pak Dede lagi."
"Ih, apaan sih!!"
"Apaan lo, ah ih ah ih gitu. Udah dengerin aja. Ini juga yang terbaik buat lo sama Hira. Biar Hira makin bucin sama lo."
Menatap aneh ke wajah Glara, Humairah menggeleng cepat. Mana mungkin Hira bucin kepadanya. Hubungan mereka saja masih sebatas sahabat. Bagaimana bisa berubah secepat itu perasaan dihati Hira.
Hufh, amat sangat tidak mungkin.
"Kenapa sih, Ra? Kok malah geleng-geleng gitu? Udah deh, pasrah aja. Yakin lo bakalan bikin pangling. Iya enggak mas Agwa?"
"Ye ... Yesha bisa aja pegang-pegang mas Agwa. Jadinya mas Agwa atau bang Omar nih?"
"Ih, apaan deh. Enggak usah pada gosip."
"Mana ada gosip sih? Kan ini ada orangnya. Cie ... cie ...."
"Cie, Yesha. Jadi kakak iparnya Ara."
"Enggak ridho gue kalau Yesha jadi kakak ipar!!"
"Hahaha, kenapa? Apa perlu kita tanya mas Agwa sama bang Omar langsung nih? Mumpung ada orangnya, kan?"
Menoleh karena namanya sejak tadi disebut oleh para perempuan ini yang tidak mau diam sedikitpun, Agwa dan Omar sama-sama memberikan ekspresi serupa. Terlihat penasaran, namun tetap membungkam. Seakan-akan mereka tidak peduli dengan kerusuhan yang terjadi.
"Mas Agwa, bang Omar, kalian kalau misalkan ditakdirkan menikah sama salah satu dari kita, gimana?"
Bertanya tanpa ragu, Glara benar-benar membuat Humairah mengangak lebar. Ia pikir teman-temannya hanya besar omongannya saja, dengan aksi yang bisa dikatakan nihil. Akan tetapi mendengarkan Glara mengajukan pertanyaan seekstrim ini, sepertinya Humairah harus mengubah isi pikirannya mengenai semua sahabat terdekat yang ia miliki.
"Wah ... kacau!"
"Gimana, Mas, Bang? Masa enggak ada yang mau jawab?"
"Harus sekarang banget jawabnya?" tanggap Agwa bingung.
"Iya dong, biar kita semua tahu gimana respon abang sama mas sekalian kalau pada akhirnya memiliki takdir berpasangan dengan salah satu kami."
"Kalau gue ...."
Baru ingin menanggapi, kata-kata Agwa dipotong cepat oleh Omar yang duduk di kursi depan.
"Kalau takdirnya seperti itu, lebih baik tidak. Bukan karena kami tidak mau atau tidak suka, melainkan kami tidak ingin."
"Ye ... sama aja," sorak Yesha yang duduk dikursi paling belakang. Gadis itu berpikir Omar akan jauh lebih bijak menanggapi pertanyaan bodoh ini, sehingga jawaban yang ia berikan tidak menyakiti orang lain, tapi nyatanya sama saja. Dari jawaban Omar saja sudah terlihat bila laki-laki itu tidak ingin memiliki takdir bersama perempuan-perempuan yang menjadi sahabat adiknya itu.
"Sama bagaiamana?" tengok Omar ke arah belakang.
"Tidak mau, tidak suka, tidak ingin, itu semua sama aja!"
"Nah, bener tuh!"
"Bilang aja ngeles!!"
"Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, maksud saya, kami tidak ingin kalian menjadi istri kami karena intensitas kami berada di rumah amat sangat jarang. Memangnya mau ditinggal sendirian, seperti Ara, yang ke mana-mana selalu ditemani pak Dede?"
Malu. Merasa terlalu cepat mengambil kesimpulan, tubuh Yesha menunduk agar tidak terlihat dari kursi depan atas kebodohan yang baru saja ia lakukan. Sedangkan sahabat Humairah yang lain, ikut menengok ke arah lain ketika Omar benar-benar memerhatikan wajah mereka satu persatu.
Seperti sedang mengintimidasi lawan, tatapan Omar berhasil membungkam semuanya.
"Akh, kan enak kalau hening begitu," sambut Agwa dengan tawanya.
Tidak ingin ikut campur, pak Dede berusaha menahan tawa atas kejadian ini. Biasanya, jika bersama Agwa, para sahabat Humairah masih bisa memberikan balasan-balasan singkat atas ocehan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Namun keadaan tersebut tidak berlaku untuk Omar. Dia terlalu serius untuk diajak bercanda.
Sampai ke rumah besar itu dengan mode hening di dalam mobil, satu persatu mereka turun dari mobil dengan ekspresi seperti menahan mabuk. Terlalu serius dalam menjalani hidup, membuat Humairah dan kawan-kawan merasa mual, seolah ingin memuntahkan semua isi perutnya. Ingin sekali bersuara, setelah kalimat yang Omar katakan, mereka terlihat sangat menyayangi nyawa masing-masing.
"Karena hari ini kita pada bolos kuliah, mendingan kuy langsung. Gimana?" seru Glara memberikan komando kepada yang lain.
"Eh, iya, boleh tuh. Sekalian ke salon sama-sama, berghibah ria, seru kayanya." Moli memberikan tanggapan paling cepat. Langsung saja merangkul semuanya, mereka sama-sama mengarah pada mobil milik Glara yang terpakir di antara mobil-mobil dinas TNI AD dengan plat khusus menunjukkan kesatuannya. Dan mayoritas mobil yang terpakir di sini memiliki kode 00 atau menunjukkan kesatuan markas besar TNI AD.
"Non Ara, mau ke mana?" tanya pak Dede yang memang ditugaskan untuk memantau pergerakan Humairah ke mana pun gadis muda itu pergi.
"Main sama yang lain."
"Sini pak Dede supirin aja. Tenang, pak Dede enggak akan ganggu kalian gosipin mas Hira."
"Ish, apaan sih!"
"Ayo udah, pak Dede supirin aja," ucap pak Dede kembali sembari menarik lengan Humairah menuju salah satu mobil SUV yang berplat khusus dan berbintang 4 di sana.
Menunjukkan bila mobil ini milik Jenderal TNI, jika dikemudikan dijalan raya, pasti cukup banyak menarik perhatian.
"Enggak usah macem-macem deh, Pak. Enggak mau naik mobil yang ini. Gila aja!"
"Yaudah, non pilih deh mau naik yang mana? Tapi kalau mini cooper belum ada."
"Penipu emang si Jenderal itu. Akad nikah udah dalam hitungan hari, tanda-tanda mini cooper belum juga kelihatan!" amuk Humairah, namun tetap masuk ke dalam mobil SUV besar itu yang merupakan milik sang jenderal.
"Okey, berarti mobil gue enggak kepakai nih?" tanya Glara bingung.
"ENGGAK!!! Sekali-sekali habisin bensin mobil pak Jenderal enggak ada salahnya." Menutup pintu mobil itu dengan penuh kekuatan super, beberapa penjaga yang ada di rumah itu, serta security yang berjaga di depan, ikut tersentak kaget mendengar bunyi kencang itu.
Sedangkan pak Dede sendiri hanya bisa mengusap dadanya saja. Jika sampai mobil ini rusak, dan harus dibawa ke bengkel, bisa dipastikan uang gajinya lah yang dipotong.
"Ya ampun, Non. Enggak bisa pelan-pelan tutup pintunya? Napas pak Dede lama-lama sekarat juga nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan anak JENDERAL
General FictionKedua insan yang pada awalnya tidak saling kenal, harus menjalani hubungan menjadi sepasang suami istri demi keuntungan yang akan didapatkan masing-masing. "Target gue cuma karir. Kalau karir gue udah dipuncak, gue bisa tinggalin dia seolah kita eng...