Bab 39. Anggap saja kencan

631 120 279
                                    

Semakin banyak kalian komen, semakin cepat aku update.

Pokoknya minimal 200 komen. Kurang dari itu, aku gak akan update2...


---------------------------------------------------



Belanja? Sudah. Makan? Sudah. Kini, sebelum mereka kembali ke hotel, Hira sengaja mengajak Humairah untuk mampir sebentar di toko minuman yang dapat menyegarkan mereka selama perjalanan kembali ke hotel.

Menawarkan kepada Humairah menu yang ada dalam toko ini, gadis itu malah menggeleng cepat. Dan mengaku perutnya sudah begitu kenyang setelah mengkonsumsi banyak makanan tadi.

"Bener enggak mau?"

"Enggak."

"Yaudah."

Sempat melirik Hira sekilas, menerka-nerka menu apa yang Hira pilih, akhirnya Humairah bisa tersenyum lebar ketika Hira memilih variant rasa buah segar yang begitu nikmat dikonsumsi sore-sore seperti sekarang ini.

"Enak enggak?" tanya Humairah ketika pelayan tersebut memberikan minuman yang telah Hira pesan.

"Mau?"

"Icip sih."

"Dasar!"

Tanpa pikir panjang, Hira segera menusukkan sedotan ke dalam gelas plastik itu, kemudian secara langsung menyerahkan minuman tersebut kepada Humairah sebelum ia nikmati.

"Hum. Enak. Seger banget buahnya," ungkap Humairah sambil mengaduk-aduk isi di dalamnya dengan sedotan besar.

Sengaja membuka tutup plastiknya sedikit lebih lebar, dia dengan sabar mengambil buah dalam isi minuman tersebut, kemudian ia nikmati sambil mengikuti langkah Hira yang sudah berada jauh di depannya.

"Nih, makasih. Maaf gue kembaliin. Cuma mau icip doang!" katanya dengan senyum lebar.

Melihat minumannya yang sudah diacak-acak oleh calon istrinya, tidak sedikitpun komentar buruk keluar dari mulutnya. Sambil membawa tas belanjaan Humairah tadi, dia langsung saja menikmati minuman itu sambil sesekali mendorong tubuh Humairah, dengan bahunya, agar berjalan sedikit kepinggir.

"Btw, lo tahu kan di Jakarta udah heboh gosip kita. Eh, maksud gue, gosip lo sih. Yang katanya mau menikah akhir bulan ini."

"Iya tahu. Terus kenapa?"

"Ya, enggak papa sih. Takutnya gitu, karena sibuk tanding dan latihan, lo sampai enggak tahu kalau lagi digosipin sama warga Indonesia."

"Biarin aja mereka sibuk gosip. Kan mulut mereka ini, bukan mulut kita. Lagian kamu kayak enggak tahu warga Indonesia aja. Sedikit-sedikit heboh gosip. Jadi ya biarin aja."

"Owh, iya deh. Si paling atlit berasa artis. Udah biasa digosipin ya, Mas?" sindir Humairah sambil menyenggol lengan Hira.

"Enggak juga. Habisnya aku harus gimana kalau udah digosipin kayak gini? Klarifikasi? Wah ... ini mah sama aja cari sensasi."

"Hm, terus biasanya kalau lo lagi digosipin sama orang-orang, lo ngapain dong?"

"Biasanya sibuk latihan sama tanding aja. Nanti mereka juga lupa sendiri sama gosip, dan lebih perhatian sama hasil pertandingan."

"Akh, gitu. Kirain gue, lo malah tunjukin kedepan umum melalui pembuktian kalau gosip itu enggak benar."

"Yah, kadang gitu. Cuma jarang. Males aja. Biarin aja mereka huru hara, yang penting aku enggak seperti semua yang mereka komentari. Nanti juga bakalan kebongkar faktanya. Tinggal nunggu waktu aja, kan? Kayak gosip pernikahan ini."

"Iya, gosip pernikahan lo sama si Mika itu, kan? Kaget gue, buka twitter isinya muka dia semua. Berasa artis kali dia. Sok terkenal banget."

"Dia emang bukan artis. Tapi dulu ayahnya dia sangat dikenal semua orang bahkan dibanggakan sama semua orang."

"Ah, bokapnya dia? Emang siapa bokapnya? Jenderal juga?"

"Haha, bukan. Yang ayahnya jenderal cuma kamu aja, Ra. Enggak usah cemburu gitu."

"Apaan sih? siapa yang cemburu. Kan gue cuma tanya."

"Iya, itu aku juga cuma jawab."

"Akh, udahlah. SKIP! Enggak peduli juga siapa bokapnya!"

"Iya ... iya. Kamu enggak peduli. Kamu cuma kepo doang."

Memukul lengan Hira, membuat laki-laki itu lengah. Gelas yang sejak tadi dia nikmati, hingga sisa sedikit tiba-tiba jatuh dan mengotori jalanan yang mereka tengah lewati.

Terlihat panik dan takut disalahkan, Humairah merespon langsung mengambil gelas tersebut dan menunjukkan bila isinya sudah tumpah dijalan kepada Hira.

"Duh, maaf. Beli lagi yuk. Duh, sumpah enggak sengaja. Aduh, gimana dong?"

"Udah enggak papa."

"Ih, jangan gitu. Ayo beli lagi. Enggak enak banget gue."

"Udah, enggak papa."

Menahan lengan Humairah, dengan isyarat, Hira menggelengkan kepala. Dia membantu Humairah membuang gelas plastik tersebut ke salah satu tempat sampah yang berada di sana. Dan meminta Humairah untuk tidak merasa bersalah lagi.

"Udah, enggak papa. Aku juga udah kembung."

"Beneran?"

"Iya."

"Sumpah gue panik banget. Gue takut lo marah."

"Aku marah cuma karena minuman tumpah? Bikin capek aja."

"Tapi serius, enggak marah?"

"Enggak. Udah jalan lagi."

Terasa sekali perubahan suasana di antara mereka, sampai langkah kaki mereka di depan hotel, Humairah kembali meminta maaf atas kelakuannya yang benar-benar tidak sengaja dan merugikan Hira. Padahal Hira tidak mempermasalahkan keadaan ini lagi. Namun tetap saja Humairah merasa sangat bersalah.

"Gue minta maaf kok lo malah mesam mesem enggak jelas kayak gini?" amuk Humairah merasa aneh dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Hira. Dia pikir Hira akan bisa bersikap lebih baik, tapi nyatanya laki-laki itu tetap saja menyebalkan.

"Maaf ... maaf. Abis lucu lihat kamu minta maaf sampai belasan kali. Kan tadi aku bilang, udah enggak papa. Jangan karena perkara minuman yang enggak seberapa, kamu jadi minta maaf terus. Aku jadi ngerasa enggak enak."

"Tapi gue bener-bener ngerasa enggak enak, karena bagian akhir itu biasanya yang paling nikmat. Kayak kita lagi makan nasi sama ayam, pasti mayoritas atau kebanyakan orang sengaja menyisakan bagian terenak dari daging ayam untuk bagian akhir. Terus juga, kayak iklan susu di TV, yang bilang aku suka susunya hingga tetes terakhir. Jadi bagian akhir tuh biasanya yang paling nikmat. Eh, tadi ... bisa-bisanya gue buat jatuh minuman lo yang sisa dikit itu. Pasti kan itu bagian enaknya. Gue jadi ngerasa enggak enak sama lo. Makanya minta maaf terus."

"Oh, begitu. Tapi enggak selamanya sisa terakhir adalah bagian terenak. Karena ada yang sengaja menyisakan untuk dibuang. Jadi enggak usah merasa bersalah. Aku sudah menerima maaf darimu, jadi yasudah. Enggak usah dipermasalahkan lagi."

"Walah, kayak apaan aja dibuang. Biasa ngebuang orang, ya?" tunjuk Humairah pada diri Hira. Setelahnya gadis itu tertawa lebar ketika wajah Hira menunjukkan ekspresi kaget. "Hahaha, santai aja kali. Cuma bercanda kok. Enggak usah tegang gitu. Tapi kalau nantinya lo bosen sama gue, tolong jangan buang gue ke tempat sampah, kayak minuman itu. Gue masih punya rumah. Masih punya keluarga. Walau udah enggak punya ibu, tapi ayah dan abang-abang gue masih menerima gue dengan baik kalau akhirnya lo pulangkan."

Meninggalkan Hira yang masih mematung di tempat, sampai di depan pintu lobi hotel, Humairah memanggil nama calon suaminya itu dengan kencang, hingga Hira sadar semua kalimat yang Humairah katakan berhasil menikam jantungnya.

"HIRA!!! Ayo!"



Perjodohan anak JENDERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang