Bab 42. Menikah itu tidak mudah

571 112 13
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa ya guys.

Yang mau baca duluan, monggo bisa ke karyakarsa. Udah sampai bab 70.
Dan kayaknya untuk update di wattpad aku post di bab 50 Aja ya guys.
Krn vote dan komen kalian juga enggak banyak. Jadi lebih baik posting dikaryakarsa aja sampai selesai.


------------------------------------------------------------------------------------------


Pusing sekali. Aish, pagi-pagi sekali Humairah sudah direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pak Dede. Niatnya laki-laki itu akan ke KUA hari ini untuk membereskan semua berkas pernikahan Humairah dan Hira. Akan tetapi sebelum berangkat ke sana, jelas pak Dede akan merepotkan Humairah terlebih dahulu untuk meminta segala hal kelengkapan data diri perempuan itu.

Sudah dibantu oleh bi Ina, namun tetap saja beberapa barang-barang penting yang dibutuhkan harus Humairah sendiri yang mencari dan memberikannya. Hingga akhirnya hari ini pun Humairah tidak bisa datang ke kampus lagi. Mungkin dia akan mengajukan cuti untuk 1 semester kedepan. Atau yah, anggap saja dalam satu sampai dua bulan ini dia belum benar-benar berkuliah. Baru masa perkenalan kampus dan mata kuliah saja.

Beres memberikan semua berkas kepada pak Dede, yang kini sudah langsung berangkat ke KUA demi mengurus segalanya, Humairah memilih duduk di kursi meja rias. Sambil dengan santai mengangkat kedua kakinya ke atas, teman-temannya digrup sudah heboh dengan segala perintilan yang mereka perlukan untuk pernikahan Humairah minggu depan. Beberapa aksesoris, sepatu dan gaya rambut yang cocok, sudah mereka kirimkan ke dalam grup. Karena itulah jelas Humairah tidak heran jika isi pesan dalam grup mereka sudah mencapai hampir 1K banyaknya yang belum dia baca.

Malas mengomentari kesibukan yang dilakukan semua sahabatnya, Humairah melemparkan kembali ponsel itu ke atas meja rias. Hingga secara tak sengaja ponselnya menyenggol bingkai foto ibunya dan ayahnya yang Humairah pasang di atas meja tersebut, keduanya terlihat begitu serasi dimata Humairah.

Foto yang diabadikan ketika sang Jenderal Lakeswara dan istrinya masih sangat-sangat muda, Humairah merasa iri sekali dengan senyum bahagia yang dipamerkan oleh ibunya dalam foto tersebut. Ternyata menikah dengan orang yang dicinta bisa membuat senyum ibunya sebahagia itu. Sedangkan dia? Hanya dalam hitungan hari statusnya sudah berubah. Namun sampai detik ini dia pun tidak merasa ada perasaan lebih kepada Hira. Ya, sekalipun Humairah sadar bila Hira adalah sosok laki-laki tampan dan rupawan, namun tetap saja, perasaan tidak mudah untuk bisa hadir begitu saja dalam hubungan mereka. Terlebih lagi, adanya masa lalu Hira, yang membuat Humairah sangat hati-hati untuk percaya dengan calon suaminya itu.

"Bu ... dulu gimana sih ceritanya ibu bisa ketemu sama pak Jenderal?"

"Eh, dulu mah belum Jenderal ya, Bu. Ibu temani dia sampai pak Jenderal berada diposisi kayak sekarang? Tapi, Bu. Kok malah ibunya yang pergi? Emang ibu enggak pengen nikmati hasilnya? Kalau Ara jadi ibu mah, Ara enggak akan mau ninggalin suami pas udah sukses. Enak aja. Jadi kesempatan buat cewek lain untuk dekatin. Cuma masalahnya ... gimana caranya ya, Bu. Buat jagain suami yang punya masa lalu sama cewek lain? Belum sukses aja dia udah ada cewek yang dekatin. Apalagi nanti udah sukses?"

Meniup-niupkan udara ke atas, sampai menggerakan helaian poni rambutnya, Humairah terlihat sangat bingung dan tak tahu harus cerita kesiapa mengenai perasaannya ini.

Jujur sekali dia takut. Takut pernikahan ini akan berakhir dalam hitungan hari. Apalagi dengan segala keterbatasan yang mereka sama-sama miliki, Humairah yakin kehidupan pernikahan mereka tidak akan mudah.

Melamun sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin, Humairah disadarkan dengan suara ketukan pintu kamar yang terdengar berulang kali. Langsung saja melangkah masuk, tanpa Humairah persilakan lebih dulu, Omar sudah berdiri di belakang Humairah, bersidekap, melihat pantulan wajah adiknya dari cermin besar di hadapan mereka. Terlihat jelas ekspresi ketakutan terpancar dari kedua mata Humairah yang begitu Omar sadari.

"Lagi ngapain?"

"Hm, enggak lagi ngapa-ngapain kok, Bang. Kenapa?"

"Enggak papa. Dari tadi abang lihat kamu melamun aja sendirian. Makanya abang cek langsung, takut kamu kenapa-napa."

Menengok ke belakang, Humairah akhirnya memutar arah dia duduk. Menatap Omar dari posisi duduk seperti ini membuat gadis itu bisa melihat dengan jelas betapa besar dan tegapnya tubuh Omar Ali Raynar, sampai-sampai sahabatnya, Yesha, tergila-gila sekali dengan Omar.

Namun dari yang Humairah lihat, Omar tidak sedikitpun menanggapi perasaan sahabatnya itu. Diduga sudah memiliki kekasih hati diluar sana, namun hingga saat ini Omar belum pernah menunjukkan siapa sosok gadis itu kepada keluarganya. Terlalu sibuk dengan study dan kegiatannya menjadi KAPTEN dari TNI AL, membuat waktunya benar-benar sedikit untuk kehidupan pribadi yang sesungguhnya sudah tidak dia miliki.

"Ciye, yang merhatiin adiknya. Ulululu, makanya cari pacar sana, jangan adiknya terus yang diperhatiin. Gimana sih, Bang? Bang Omar juga usianya udah sangat cukup loh buat nikah. Apa perlu Ara cariin calon buat bang Omar?"

Menggelengkan kepala, menolak bantuan yang Humairah tawarkan, Omar bergerak untuk duduk di atas ranjang besar milik adiknya itu. Dengan jarak yang tidak begitu jauh, mereka saling tatap kembali.

"Gimana perasaanmu sekarang?"

"Biasa aja. Kenapa?"

"Minggu depan kamu udah nikah, abang mau tahu apa yang Ara rasakan saat ini. Apa takut atau sedih karena waktu kita ketemu bakalan jadi lebih sulit lagi."

"Akh, masa sih sulit? Semua itu cuma masalah prioritas aja. Kalau menurut bang Omar, waktu kita untuk bertemu jadi semakin sulit, berarti Ara enggak pernah menjadi prioritas utama bang Omar. Gitu doang kan masalahnya?"

"Kata siapa?"

"Kata Ara barusan. Emangnya enggak denger? Wah, telinganya kebanyakan masuk air laut nih, jadi budek!"

"Hahahaa, bisa aja kamu."

"Bisa lah. Masa enggak bisa."

Mengamati dengan sangat fokus tubuh Humairah dari ujung kaki sampai ujung rambut, Omar berdebat di dalam hatinya. Ternyata bayi merah yang dulu hampir dia bunuh sekarang sudah tumbuh besar, sehat dan begitu cantik. Sungguh tidak terbayangkan dalam pikiran Omar, jika pada saat itu Humairah benar-benar tidak terselamatkan, mungkin setelah dewasa, Omar akan menjadi kakak laki-laki yang memiliki penyesalan terbesar di dalam hidupnya. Apalagi dilihat saat ini, Humairah benar-benar tumbuh menjadi perempuan hebat. Tidak hanya cantik, dan sempurna, yang Omar tahu, Humairah juga sosok anak yang pintar, dan bebas dengan isi pikiran cerdasnya. Maka dari itu, ayah mereka, sang Jenderal, menerapkan pengajaran terbuka untuk Humairah. Dia benar-benar membebaskan anak gadisnya itu untuk melakukan semua hal yang ia sukai. Karena selama ini Lakeswara menjaganya dari jarak terluar, agar setidaknya Humairah tidak merasa terkekang untuk kreatifitas yang ia miliki.

"Bang ...."

"Hm, iya."

"Ada yang mau bang Omar omongin enggak sih? Kok kayak mau ngomong sesuatu dari tadi, cuma maju mundur gitu Ara lihatnya. Ada apaan deh?"

"Enggak papa. Kamu mau kado apa dari bang Omar?"

"Kado? Kan ulang tahun Ara masih bulan depan, bukan tanggal 14 bulan ini."

"Enggak papa. Nanti bang Omar kasih dua kali."

"Wah, gitu. Hm, apa, ya? Mungkin Study tour di kapalnya bang Omar."

"Apaan sih? Enggak ada. Di kapal itu kan bukan cuma ada bang Omar doang, tapi banyak orang. Sekalian aja mendingan naik kapal pesiar."

"Iya deh, iya. Yaudah kadoin hadiah kapal pesiar aja!"

Ditimpuk tanpa ampun dengan beberapa bantal guling yang berada di atas ranjang itu, Omar terlihat sekali kesal mendengar permintaan gila dari sang adik.

"HAHAHAA ... AMPUN!! Kirain bang Omar mau beliin satu kapal pesiarnya sekalian. Itu mah Ara enggak nolak sedikitpun!!!"

"BANG OMAR YANG NOLAK!"

Perjodohan anak JENDERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang