Hai² semuaa selamat datang diceritakuuu.. Jangan lupa follow yahh<3
Follow juga ig ku @evikawaiiiPukul 2 dini hari masih terlalu cepat untuk bangun dari tidur nyenyaknya namun tidak dengan pemuda ini. Di balkon kamarnya ia duduk di kursi single sambil menatap langit yang sunyi. Asap yang keluar dari rokok mulai terlihat kala dirinya mulai menyesap benda ditangan kirinya.
Helaan napas terdengar samar dari mulutnya, mata hitamnya menerawang suasana malam dari atas balkon. Tidak ada bulan yang menghiasi langit hanya ada suara gerimis kecil yang menemani malamnya.
Wajah frustasinya terlihat dengan jelas seolah ia sedang memikul beban yang begitu berat. Srek srek srek..
Suara langkah kaki yang ditarik terdengar dari arah gerbang, perlahan gerbang mulai terbuka dan memperlihatkan sosok pria yang berjalan sempoyongan.
Rokok ditangannya belum habis namun begitu melihat pria bertubuh tegap itu mulai memasuki pekarangan ia segera mematikan rokoknya. Kakinya perlahan meninggalkan balkon menuju tangga untuk turun ke lantai dasar.
"Haha El.. Maafkan ayah nak, semua ini karena ayah, jika hari itu bundamu tak pergi mungkin dia masih ada disini".
"Cukup yah jangan nyalahin diri sendiri terus, bunda udah tenang disana".
Raut wajah penyesalan tercetak jelas pada pria yang ia anggap sebagai orang tuanya. Pundak Elvano ditepuk perlahan sebelum pria itu masuk ke dalam rumah minimalis didepannya.
"Bunda.. El cape bun".
Setetes air matanya perlahan luruh bersamaan dengan turunnya hujan dimalam yang dingin itu.
Dipagi harinya suasana dimeja makan sepi seperti biasa, "El makan sarapanmu sebelum kamu berangkat", wanita paruh baya berusia sekitar 70 tahun itu menyuruh cucunya untuk sarapan.
"Iya grandma".
Sandwice dengan isian sayur dan tuna mayo sudah tersaji rapi dimeja makan, namun hanya dua orang yang menyantap sarapan nya. "El ayahmu masih belum berhenti minum, grandma harap kamu tidak terlalu membenci ayahmu".
Kunyahan roti didalam mulut Elvano terhenti sejenak ia pun menatap neneknya. "Iya grandma".
Saat ini Elvano tengah menempuh pendidikan di Daisy Highschool dimana ia merupakan salah satu siswa populer yang sangat diidolai gadis-gadis.
"Yo.. El selamat pagi".
Sapaan riang dari Rey teman sekaligus sahabatnya terdengar jelas saat Elvano tengah memarkirkan motornya.
"Hemm".
Meskipun sudah lama berteman dengan Elvano namun Rey masih merasa kikuk dengan cara bicara sahabatnya yang terkesan dingin dan cuek.
Saat ini mereka kelas 10 dan letak kelasnya pun dilantai 3, dipapan mading banyak sekali puisi-puisi dan kalimat pendek berisi pujian yang sengaja ditujukan untuk Elvano. "Wih El fans lo tuu".
Mata Elvano pun mengikuti jari telunjuk Rey, didepan papan mading sekolah segerombol gadis-gadis yang diduga fans beratnya sudah berkumpul menunggu kedatangannya.
"Pagi El ganteng.. Ni coklat buat kamu..".
"Hai El aku buatin sarapan buat kamu".
"Aaaa Elvano makin ganteng aja pake jas..".
"Calon suami gw tu..".
"Mimpi lo".
Dengan terpaksa Elvano berhenti sejenak untuk menerima hadiah-hadiah dari fansnya dan dengan cepat ia tersenyum tipis sambil mengucap terimakasih supaya dia bisa segera pergi ke kelasnya.
"Aaaa senyumnya manis banget, bang aku cinta padamu.. Terima aku jadi istrimu el".
"Aduh pingsan aku melihat dikau tersenyum".
Dan masih banyak lagi pekikan heboh dari gadis-gadis itu. Kepala pemuda itu berdenyut setiap kali melihat dan bertemu fansnya, jujur ia ingin sekali menghindar namun jika ia melakukannya justru ia akan semakin dikejar dan diikuti kemanapun ia pergi.
"Nih buat lo".
"Ya elah El, dapet hadiah banyak dari fans lu kasih ke gue lagi? Seriusan lo ga mau?".
"Berisik, ambil! Cepat".
"Iya iya baginda Elvano Bagaskara".
Akhirnya Elvano sampai juga dikelasnya, saat ia duduk dikursinya teman sekelasnya yang sudah datang lebih dulu menatapnya kagum. Meskipun baru satu bulan sejak ia bersekolah di Daisy Highschool namun namanya sudah banyak dikenal oleh seluruh penghuni sekolah ini.
"Merepotkan"- batin Elvano.
Gadis berambut sebahu dengan jepit rambut berwarna biru yang menghiasi kepalanya datang menghampiri meja Elvano dengan perasaan gugup. Tok tok
Meja diketuk perlahan, pemuda yang sedari tadi meletakkan kepalanya diatas meja dengan ransel yang dijadikan bantal pun mulai mendongak untuk melihat siapa yang mengganggunya dipagi hari ini.
"Kenapa?".
"Eh ituuu anu.. Pulang sekolah boleh ngobrol sama kamu ga? Aku pengin ngomong sesuatu".
Cindy yang terlalu gugup tak bisa menyembunyikan wajahnya yang bersemu kala matanya bertatapan dengan teman sekelasnya itu.
Alis El terangkat, "ngomong aja sekarang".
"Ehh.. tapi".
Menunggu gadis didepannya yang tak kunjung bicara El jadi merasa kesal dan hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Mau ga kamu nonton sama aku sabtu ini?".
Ucapan yang terlontar dari gadis itu membuat langkah Elvano berhenti sejenak, "sorry gw ada acara".
Setelah mengatakannya El langsung bergegas ke arah lapangan basket yang terletak didepan perpustakaan.
"Gila si Cindy nekat juga dia..".
"Iya bego banget, ga mungkin lah El mau nonton sama dia".
"Kasian banget".
Dapat gadis itu dengar bisikan-bisikan dari teman sekelasnya yang mengomentari aksi nekatnya yang mencoba pdkt dengan siswa paling tampan di Daisy Highschool. Karena merasa malu ia pun berlari keluar kelas untuk menenangkan dirinya dan merutuki kebodohannya.
Rey yang melihat sahabatnya menolak seorang gadis pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah sudah berapa banyak gadis-gadis yang patah hati karena ditolak El namun yang jelas sahabatnya itu sulit sekali didekati apalagi jika dihadapkan dengan para siswi yang menyukainya secara terang-terangan.
Hari ini jam sedang kosong tepatnya saat mapel sejarah, siswa dikelas A1 pun bergembira ria karena bisa terhindar dari pelajaran yang menurut mereka sangat membosankan.
Berbeda dengan teman lainnya yang berada didalam kelas, El justru memilih untuk duduk di area penonton lapangan dan memejamkan matanya untuk menikmati semilir angin.
Kejadian beberapa hari yang lalu mulai berputar kembali dikepalanya, jujur ia sangat tersiksa jika harus mengingatnya. Untuk mengalihkannya El memainkan bola basket ditangannya dan memasukkannya ke ring.
Poin sempurna pun tercetak saat bola berhasil masuk dengan mulus ke dalam ring. Seragam yang ia gunakan sudah dibasahi keringat, jas kebanggaan sekolahnya pun tergeletak diatas salah satu kursi penonton yang sepi. Keringat yang keluar dari tubuhnya berhasil membuatnya lebih baik, ia hanya butuh dia.
Dia yang sejak dulu selalu mengusap kepalanya saat dirinya merasa sedih dan kesepian. Namun justru sekarang ia sudah tak bisa lagi bertemu dengannya, raganya pun telah dibawa pergi oleh tuhan sejak lama.
"Hei kamu, kenapa dijam pelajaran malah bermain basket? Rapikan bajumu".
Seorang guru yang kebetulan lewat langsung menegur El dengan tatapan sangarnya.
"Jamkos pak"- jawab El dengan entengnya.
"Harusnya tetap didalam kelas, kamu saya hukum berdiri di lapangan upacara sambil hormat ke bendera, hukuman kamu baru selesai saat jam istirahat".
Tanpa mengatakan sepatah katapun El segera pergi mengambil jasnya dan berjalan untuk melakukan hukuman dari guru tersebut dengan ekspresi datarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tsundere Boy
Teen FictionSemesta memang tidak bisa diprediksi, sesuatu yang tidak bisa dilupakan dalam sesaat kadang terjadi begitu saja. Perasaan hampa yang menyelimuti sudah Elvano rasakan sejak dahulu, setiap kali ia mencintai seseorang maka saat itulah Tuhan mengambil o...