8

4.4K 317 22
                                    

Reyga terduduk diam di meja makan. Mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya keanehan sikap Ayahnya pada Eliot yang selama ini ia sia-siakan. Jam menunjukkan pukul 09.30 pagi hari dan belum ada tanda-tanda Ayahnya turun. Perutnya memang lapar melihat sajian makanan yang terpampang jelas di meja makan. Namun, urung niatnya mendahului kepala keluarga untuk makan terdahulu. Bagaimanapun, Reyga memang sudah terdidik seperti itu. Menghormati dan mendahulukan yang lebih tua.

Suara hentakan sepatu rumah terdengar dan terlihat Thomas yang gagah menuju meja makan. Hanya seorang diri. Bukankah tadi Ayah akan membawa Eliot makan? Seketika wajah Reyga tersenyum kecil.

"Tidak mungkin Daddynya akan berubah begitu saja." ucapnya dalam hati.

Thomas yang tahu apa yang dipikiran anaknya hanya diam dan mulai menyantap sarapannya. Tidak ada yang berani berucap selagi makan keluarga. Mereka makan tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Setelah ini ada yang ingin Daddy sampaikan di ruang kerja mengenai Eliot."

Reyga mengangguk paham dan mengikuti Daddynya ke ruang kerja yang dekat dengan kamar utama. Reyga tahu bahwa Eliot pasti masih berada di kamar itu. Entah sedang berbuat apa.

Ruangan kerja terlihat begitu antik dan banyak sekali pajangan. Koleksi tuan besar yang menjadi salah satu hobinya. Disinilah Ayahnya bekerja apabila ada sesuatu yang mendesak atau Ayahnya memang ingin bekerja dari rumah. Tidak ada yang berubah. Ruangan dengan sentuhan kayu mahoni berwarna coklat tua dan lampu gantung menawan memang membuat siapapun rela untuk bekerja seharian disini. Ruangan ini terdapat tiga akses pintu. Pintu pertama hanyalah kamar mandi dan pintu kedua tersambung dengan ruang tidur kamar utama.

Thomas memang sengaja tidak memisahkan kedua ruangan pribadinya. Sejak kejadian Rosa yang perlu waktu untuk memperjuangkan depresinya, Thomas membuat akses pintu ini. Sedangkan, untuk pintu ketiga adalah ruang tidur kecil yang Thomas tambahkan ketika ia butuh waktu sendiri.

Reyga duduk di hadapan Ayahnya yang sedang menghisap batang rokok.

"Eliot menderita amnesia dan Daddy yakin kau sudah mendengarnya dari Bibi Lily."

"Apa Daddy yakin itu bukan sandiwara anak itu?"

"Dokter Ricky sudah menjelaskan secara detail mengenai keadaan Eliot. Sandiwara atau tidak, Daddy tidak peduli. Anak polos yang dulunya selalu terkurung dan tidak pernah keluar, bisa bersandiwara? itukah yang mampu kau pikirkan?"

Reyga bungkam membiarkan Ayahnya melanjutkan perbincangan.

"Mulai sekarang bersikap baiklah padanya. Dia tidak mengingatmu tentunya. Daddy yakin ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita Reyga. Daddy juga percaya kau bisa bertindak layaknya saudara baginya bukan, hm?"

"Daddy, kenapa berubah? Apa yang membuat Daddy bisa berubah seperti ini? Apakah Daddy tidak ingat kejadian yang menimpa Mommy karena dia?!"

Thomas mengernyitkan dahi dan berusaha senormal mungkin. Bagaimana ia bisa melupakan fakta mengenai kematian istri tercinta. Seribu tahun pun, Thomas tidak akan pernah bisa melupakannya. Namun, melihat wajah layu dan tubuh halus Eliot membuatnya kehilangan akal. Tidak seperti dirinya yang biasanya. Thomas tahu akan hal ini, akan tetapi yang di depan matanya saat ini tidak bisa ia abaikan begitu saja.

"Huh, Daddy juga tidak tahu Reyga. Tapi, Daddy tidak bisa mengabaikan Eliot lagi. Itu saja yang bisa Daddy sampaikan. Reyga, saat melihatnya kau juga pasti akan bertindak sama. Hanya satu yang Daddy minta, bersikap baiklah padanya sekarang. Itu saja, tidak ada pertanyaan lagi. Kau juga sampaikan pada adikmu itu. Susah sekali memberitahunya, bahkan sekarang entah sedang berpesta dimana lagi itu anak."

EliotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang