Setelah kepergian Diego, Reza dan Eliot memutuskan untuk berbaring bersama. Reza mengelus seluruh permukaan wajah Eliot yang begitu lembut. Eliot menikmati elusan dari Kakak.
"Baby El, apakah besok kau mau pergi sekolah atau di rumah saja dengan abang?"
"Eliot ingin sekolah."
"Jadi Eliot tidak ingin bersama abang?"
"Eh... Eliot ingin sekolah bersama abang?"
Reza terkekeh geli. Sesekali mengecup lembut bibir Eliot yang halus.
"Baiklah, besok kita pergi sekolah. Jadi, baby El harus tidur sekarang."
Eliot mengangguk semangat. Tak lama, dirinya tertidur karena kakaknya terus saja mengelus rambut halusnya. Reza di lain sisi terus menatap kearah sosok mungil itu. Tubuh mereka yang bersatu tanpa sehelai pakaian bahkan terasa lebih hangat.
Sebenarnya, Reza tidak ingin berangkat sekolah esok. Tapi, berkat perjanjian dengan Daddynya ia mau tidak mau harus menurutinya. Apalagi, Thomas telah memarahinya melalui telepon. Reza memeluk tubuh Eliot posesif.
Jujur saja Reza masih kesal dengan sahabatnya yang berani-beraninya mencium bibir Eliot. Belum lagi, ucapannya yang sangat menyindir dirinya. Reza sedikit gusar. Ia takut jika Eliot suatu hari nanti akan menemukan seseorang yang ia cintai dengan tulus. Sungguh, Reza tidak akan membiarkan itu terjadi. Walaupun harus memanfaatkan amnesia Eliot.
Keesok paginya, setelah mandi dan sarapan bersama kedua kakak adik itu meluncur mengendarai mobil menuju sekolah. Berat hati rasanya Reza harus menancapkan gas ke arah sekolah. Namun, melihat ekspresi semangat Eliot hatinya luluh juga.
Tiba lama mereka sampai pada parkiran sekolah. Seperti biasa, sebelum mengantar Eliot ke kelas Reza akan mencium bibir lembut Eliot seakan tak rela. Sedangkan, ketiga sahabatnya melihat dengan tatapan sulit diartikan, khususnya Diego yang hanya bisa mengelus singkat kepala Eliot.
"Belajarlah yang rajin, sayang. Nanti kalau bel istirahat abang jemput ya?"
"Oke abang, Eliot tunggu."
Punggung Eliot menghilang dari pandangan Reza. Reza menghembuskan napas lemah.
"Hey, bro kayak kepisah antar planet tau ga?" ujar Theo menatap heran Reza.
"Berisik."
"Pagi-pagi udah bete aja." Theo terkekeh geli.
"Ga puas kali dia, padahal seharian kemarin kayak dog in heat aja." kali ini Diego menyindir.
"Oy, maksudnya apa bro? Hey, Reza main sama siapa kemarin?" Theo tersedak dan malah penasaran, padahal ia sudah tau jelas maksud omongan Diego.
"Nyari masalah atau gimana? Jujur aja, males banget ngeladenin orang kayak lo gini."
Reza semakin panas. Ia tahu Diego akan bersikap menyebalkan.
"Udah jangan ribut mulu." Raka kini bersuara.
Reza dan Diego sama-sama mengangkat bahu. Mereka berempat kembali ke kelas.
Selama pelajaran, Eliot sangat bersemangat. Apalagi teman-teman sekelasnya sangat baik dan menerima dirinya. Tidak lama bunyi bell istirahat terdengar. Eliot bergegas merapikan buku pelajarannya. Ia duduk rapi menunggu kehadiran sang kakak.
"Eliot nunggu kak Reza lagi atau mau ke kantin bareng kita?" ajak salah satu teman sekelas Eliot.
Eliot menggeleng sedih. "Eliot nunggu abang Reza, maaf ya lain kali."
"Oke, kalau gitu kita duluan ya."
Eliot membalas lambaian tangan teman kelasnya itu. Ia sebenarnya ingin menerima ajakannya hanya saja perkataan kakaknya lebih penting daripada keinginannya.
"Hey."
"Iya?" Eliot menatap Harry yang menegurnya.
"Kau baik-baik saja?"
"Maksudnya?"
Harry menjadi serba salah, apalagi melihat wajah polos Eliot. Padahal dari samping terlihat jelas leher Eliot yang kemerahan.
"Apa kakakmu itu baik kepadamu?"
"Abang Reza? Tentu saja."
Kini, Harry menjadi tidak enak. Sepertinya, apa yang dikhawatirkan Harry berbeda dengan apa yang dimaksud Eliot.
"Lalu, kenapa lehermu menjadi seperti ini?" Harry menyentuh leher putih Eliot yang kemerahan.
Secara reflek Eliot menghindari sentuhan Harry. Eliot bersemu merah ketika menyadari jika, lehernya tidak tertutup sempurna. Bahkan, ia tidak dapat berbohong.
Kelas saat itu sudah sepi, hanya menyisakan mereka berdua. Harry kini duduk dekat di depannya. Menatap menyelidik ke arah Eliot.
"Apa ini perbuatannya?" Harry mengelus pergelangan tangan lembut Eliot, mencoba untuk bersimpati.
Sedangkan yang ditanya hanya, menunduk. Baru kali ini Eliot merasa ada seseorang yang peduli dengan dirinya. Ia pun tahu, jika apa yang dilakukan oleh Ayah dan kedua kakaknya tidak seharusnya mereka lakukan.
Namun, ada rasa takut ketika Eliot ingin mengatakannya. Apalagi, hatinya juga terasa menghangat ketika melihat betapa sayangnya Ayah dan kedua kakaknya padanya. Seperti, Eliot tidak pernah merasakan hal itu.
"Hey, kenapa diam?"
"El-eliot...." Belum sempat menjawab, Harry menghela nafas kasar.
"Kau tidak perlu menjawabnya. Hanya saja, jika ada sesuatu hal yang mengganggu, kau bisa cerita kepadaku."
Eliot menatap punggung Harry yang sudah berjalan keluar kelas. Meninggalkan kalimat hangat yang membuat jantung Eliot berdetak kencang. Tidak lama, abang Reza datang bersama teman-temannya.
Eliot tersenyum riang dan menuju kantin bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eliot
Teen FictionLangit hari terlihat sangat cerah. Banyaknya burung berterbangan menghiasi indahnya langit pagi. Kicau burung menyeruak begitu nyaring. Cahaya matahari mencoba masuk ke sela-sela jendela ruangan bernuansa khas putih. Disinilah, lelaki mungil berbari...