Seorang pemuda manis dan cantik sedang menonton acara kesukaannya. Ia duduk di ranjang berukuran king size sembari menutupi tubuh mulus tanpa sehelai pakaian dengan selimut tebal berwarna putih. Ruangan berukuran besar dengan interior sederhana itu tidak memiliki jendela, sehingga pemuda manis dan cantik tidak menyadari jika langit kemerahan sudah berubah menjadi malam.
Ruangan itu bahkan tidak ada jam dinding. Eliot tidak memiliki jam tangan maupun ponsel seperti teman-temannya di sekolah. Tentu saja, tidak ada izin dari Ayahnya ketika Eliot membahas ingin memilikinya.
Eliot yang merasa bosan mulai berkeliling ruangan. Ia menelisik ruangan yang sudah tidak asing baginya. Ruangan yang cukup besar di meja dekat TV adalah tempat penuh dengan makanan. Sisi kiri ruangan ada kamar mandi dan ruang pakaian. Eliot memasuki ruang pakaian itu. Berjejer rapi pakaian kerja ayahnya. Dasi dan kaos kaki terlihat terpisah. Ia memegang semua pakaian itu. Tidak ada yang seukuran dengannya.
Matanya pun tertuju pada box berwarna hitam di ujung lemari pakaian. Ah, itu adalah pakaian ukurannya. Namun, Eliot menutup kembali box tersebut. Ia tidak ingin membuat Ayahnya marah, jika melihatnya berpakaian.
Dirinya kini berdiri di depan cermin. Lagi-lagi Eliot hanya dapat menatap tubuh mulusnya yang terdapat banyak jejak kemerahan. Tubuhnya bahkan sudah jarang mulus kembali. Pasti, hanya akan ada bercak merah.
Entah itu, di lehernya, pahanya, dadanya, bahkan kedua bongkah pantatnya. Eliot bersemu merah, ia kembali ke atas tempat tidur. Mematikan tv yang menyala, dan mulai memejamkan mata.
Ia cukup lelah setelah pulang sekolah dan kini yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu kehadiran Thomas.
Eliot merasa tubuhnya sedikit berat. Hal itu membuatnya terbangun dari tidurnya. Tangan kekar dan dada bidang kini telah memeluknya hangat dari belakang. Ia kenal betul siapa pemilik lengan ini. Thomas sudah selesai bekerja memutuskan untuk tidur berbaring menemani Eliot yang terlelap.
Eliot membalikkan tubuh secara perlahan. Ia menghadap pada Thomas yang kini bernapas pelan, menandakan lelah bekerja. Eliot mengelus pipi Thomas. Eliot sudah lama bertanya-tanya. Kenapa wajah mereka berbeda, bahkan berbeda juga dengan kedua saudaranya. Thomas dan kedua kakaknya memiliki perawakan yang jauh lebih besar daripada Eliot. Eliot tidak tahu keberadaan Ibunya. Ia sudah lama sekali ingin bertanya, namun dirinya tidak berani.
Eliot jadi teringat pembelajaran beberapa hari yang lalu, membahas mengenai sosok Ibu. Ia tidak tahu siapa Ibunya. Tidak ada yang ingin menjelaskannya. Bahkan, di rumah tidak ada satu pun jejak keberadaan sosok Ibu yang kemarin dibahas saat pembelajaran.
Banyak sekali pertanyaan yang ada pada pikirannya. Namun, entah mengapa ada sesuatu hal yang membuat Eliot memutuskan untuk berdiam diri. Ia bahkan tidak sanggup jika melanggar semua ucapan dan tindakan yang dilakukan Ayah maupun kedua kakaknya. Hatinya akan berdebar kencang apabila Eliot merasa jika Ayah dan kedua kakaknya menatapnya dingin.
Kini, ia meneteskan air mata. Air mata itu membasahi kedua pipinya. Ia menahan isakan tangisnya. Takut jika Thomas malah terbangun oleh dirinya. Eliot benar-benar tidak tahu lagi, apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya. Tepatnya sebelum ingatannya hilang.
Merasa ada yang basah pada tubuhnya, Thomas terbangun. Ia mendengar isakan kecil yang dikeluarkan oleh anak bungsunya.
"Baby, kenapa kau menangis?" Thomas saat ini sangat khawatir, karena ini pertama kalinya Eliot menangis terdiam.
Eliot mendongakkan wajahnya. Mata berairnya bertemu dengan wajah Thomas yang khawatir.
"Bolehkah, Eliot bertanya sesuatu?"
"Hey, kenapa kau menangis sayang?"
Thomas sibuk mengelap sisa air mata Eliot.
"Daddy, bolehkah Eliot bertanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eliot
Teen FictionLangit hari terlihat sangat cerah. Banyaknya burung berterbangan menghiasi indahnya langit pagi. Kicau burung menyeruak begitu nyaring. Cahaya matahari mencoba masuk ke sela-sela jendela ruangan bernuansa khas putih. Disinilah, lelaki mungil berbari...