21

3K 160 2
                                    

Ruangan belakang sekolah tepatnya sebelah ruang serba guna berukuran lumayan besar itu terdapat empat pemuda yang terlihat bersantai ria. Empat pemuda itu tidak lain adalah Reza, Diego, Raka, dan Theo. Bukannya masuk kelas, mereka lebih memilih mengadakan pertemuan darurat. 

Pertemuan ini adalah ide dari Diego. Salah satu teman Reza yang memang memiliki sifat memaksa. Untung saja, mereka termasuk siswa teladan yang memiliki nilai akademis bagus, jadi tidak masalah jika melewatkan satu mata pelajaran.

"Apa benar dia adikmu, Re?" Tanya Diego menyelidik.

"Kan sudah kubilang dari awal." Reza memutar matanya malas. Ia lebih memilih menikmati nikotinnya.

"Aku baru tahu kau punya adik. Dan kalau dilihat-lihat, kalian lumayan berbeda." Kini giliran Raka bertanya.

"Selama ini dia homeschooling jadi wajar kalian tidak pernah bertemu." 

Ketiga sahabatnya itu terdiam, saling pandang. Mereka sebenarnya merasa curiga dengan pernyataan Reza. Terutama Diego yang notabenenya adalah teman dekatnya. Ia hanya tahu jika memang ada anak laki-laki yang tinggal di rumah keluarga Reza. Diego tidak tahu siapa identitas anak laki-laki itu, apalagi setiap kali ia pergi ke halaman belakang anak lelaki itu tinggal di rumah para pelayan. 

Jadi, ia pikir anak itu hanyalah anak pelayan. Namun, ia juga heran kenapa anak itu sering kali terlihat kesakitan dengan tubuh lebam. Walaupun, ia tidak pernah memperhatikan dengan seksama bagaimana rupa wajah anak itu.

"Lalu, bagaimana kamu menjelaskan sikapmu barusan?" giliran Theo bertanya dengan mengerutkan dahi.

"Sikap apa?" Reza menatap sinis Theo.

"Kalau dia adik kandungmu, kenapa kau malah menciumnya seperti itu?"

Diego dan Raka menatap Theo dengan pandangan setuju. Ini dia pertanyaan yang mereka ingin tanyakan sejak awal.

Reza menghembuskan nikotinnya perlahan. Ia memandangi keluar jendela kecil di ruangan itu. Ruangan ini bisa dibilang basecamp milik mereka. Memang benar, ruangan ini tidak digunakan di sekolah jadi merekalah yang berinisiatif membuat ruangan tersendiri. 

Tidak ada yang istimewa di ruangan ini. Hanya terdiri satu kursi dan satu sofa panjang. Meja tamu untuk menaruh minuman atau makanan mereka.

"Hey, kenapa tidak dijawab Re?" ujar Diego lebih penasaran.

"Aku tidak bisa menjelaskannya pada kalian. Hanya saja itu tanda jika aku menyayanginya."

"Aneh." Raka lebih mendesak.

"Apanya yang aneh?" Reza menatap sinis lagi.

"Caramu menatapnya tidak seperti seorang kakak menyayangi adiknya." Raka berterus terang.

"Kurasa ucapan Raka ada benarnya. Baru kali ini, aku melihat ekspresimu seperti tadi." Theo menambahkan.

Suasana hening. Semuanya saling menatap sinis. Hanya Diego yang menghembuskan napas lelah. Ia sudah lama berteman dengan Reza. Dan apa yang dikatakan kedua temannya itu benar. Diego juga baru pertama kali melihat ekspresi bahagia Reza. 

Reza memang terkenal senang bergonta-ganti pasangan, namun tidak ada yang dapat mengambil hatinya. Sudah lama, Reza hanya berputar memikirkan penyakit dan kematian Bundanya beberapa tahun lalu.

"Huh, sudah-sudah. Itu akan menjadi urusannya. Kalau dia memang kakak yang baik, seharusnya ia mengetahui batasannya sendiri. Bukan begitu, bro?" Diego mencoba mencairkan suasana.

Namun, yang diharapkan malah sebaliknya. Reza mematikan nikotinnya, menghembuskan napas pelan. Ia menyandarkan kepalanya pada kursi.

"Aku... kalau begitu, aku bukan kakak yang baik." Reza bangkit dari duduknya.

EliotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang