Desa yang dituju oleh Dokter Ricky dan Eliot merupakan rumah singgah buyut Dokter Ricky. Rumah itu sudah lama tidak disinggahi, lebih tepatnya terlupakan.
Dulu, sewaktu kecil Dokter Ricky pernah berkunjung sesekali saat Ayahnya mengajaknya. Rumah itu begitu kecil yang hanya bisa ditinggali dua orang saja.
Rumah hangat terbuat dari kayu. Interior rumahnya minimalis dan banyak perabotan kayu. Dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Terpadat dapur kecil disertai ruang tengah untuk membuat rumah itu nampak luas.
Pemandangan dari jendela rumah adalah lautan biru. Suara ombak terus menyapu indra pendengaran. Bunyi kicauan burung sudah pasti terdengar merdu. Rumah ini memiliki jarak yang lumayan dari para tetangga.
Walaupun begitu, warga desa ini sangat rukun dan mereka banyak menghabiskan waktu di pantai maupun berkebun bersama. Sama seperti buyut Dokter Ricky yang menghabiskan masa tua di desa ini. Ia terkadang ikut memancing ikan atau berkebun kentang di halaman tanah warga desa.
Kerukunan tersebut membuat buyut Dokter Ricky lebih memilih tinggal disini daripada tinggal di kota bersama anggota keluarga lainnya. Saat kecil, Dokter Ricky tidak mengerti kenapa kakek buyutnya lebih memilih tinggal sendiri di rumah kecil daripada rumah keluarga yang jauh lebih mewah dengan berbagai fasilitas. Kakek buyutnya juga tidak harus repot-repot memancing dulu hanya untuk makan.
Sekarang, ia mengerti.
"Bagaimana Eliot, kau suka dengan rumahnya?" tanya Dokter Ricky.
"Tentu saja! Ini sangat nyaman Dokter Ricky."
Dokter Ricky tersenyum ramah. Mereka mulai membereskan barang yang dibawa. Eliot terus berkeliling rumah. Ia sungguh takjub melihat pemandangan pantai yang begitu indah.
Perjalanan untuk mencapai desa ini membutuhkan 3 hari 2 malam. Cukup jauh. Satu-satunya transportasi yang bisa mencapai desa ini hanya menggunakan kapal saja.
Salah satu alasan Dokter Ricky memiliki desa ini karena begitu asri dan tidak terlalu banyak penghuni. Kebanyakan dari mereka lebih memilih tinggal di kota besar.
Tentu saja, karena ia yakin Thomas tidak akan bisa mencarinya sampai sini. Ia ingin memberikan yang terbaik bagi Eliot.
"Dokter Ricky, lihat lautnya sungguh biru!"
Mata Eliot berbinar. Ia mencondongkan tubuhnya melihat lautan dari balik jendela rumah. Dokter Ricky bersyukur jika Eliot menyukai pemandangan ini. Namun, matanya beralih ke pemuda mungil yang berdiri di sampingnya.
"Iya, sangat indah."
"Betul kan.
"Sudah-sudah. Waktunya Eliot membereskan pakaian dulu."
"Baik..."
"Jangan kecewa gitu dong."
"Eliot kan hanya bawa sedikit baju."
"Kalau begitu kita akan membeli beberapa pakaian nanti. Ada toko pakaian disini dan tentu saja sekalian mengelilingi desa, bagaimana?"
"Oke Dokter Ricky, Eliot sudah tidak sabar!"
"Hm..."
Melihat Eliot yang begitu gembira membuatnya mengelus pucuk kepala Eliot dengan lembut. Lagi-lagi Dokter Ricky memandangi pemuda yang berada di depannya saat ini. Begitu mempesona. Wajahnya begitu cantik melebihi seorang wanita. Tubuhnya begitu kecil dan juga lembut. Ia sadar jika inilah yang membuat orang lain akan memperhatikan Eliot.
Sedetik kemudian ia sadar. Ia hapus bayang-bayang buruk di kepalanya. Ia tidak ingin mengecewakan pemuda mungil ini. Tidak, setelah semua yang telah terjadi.
"Eliot, kamarmu di pintu nomor 2. Tidak begitu luas, namun masih nyaman untuk beristirahat."
"Hmm, terima kasih Dokter Ricky." ucap sendu Eliot.
"Kenapa nadanya seperti itu, hm? Apa Eliot tidak senang dengan kamarnya?"
"Eh, bukan seperti itu. Hanya saja, Eliot seperti merepotkan Dokter Ricky dan juga Eliot sangat berterima kasih."
"Ini bukan apa-apa, baby. Apapun yang terbaik untukmu. Dan, bagaimana jika kau berhenti memanggilku Dokter Ricky?"
"Memangnya kenapa Dokter Ricky?"
"Well, karena aku bukan lagi Dokter untuk sementara waktu."
"Lalu, Eliot harus memanggil apa?"
"Hmm... bagaimana jika paman? Kau sudah kuanggap sebagai anakku Eliot."
"Tidak buruk juga memiliki paman seperti Dokter Ricky! Baiklah, Eliot mulai sekarang akan memanggil paman Ricky."
"Thank you, baby."
"Sama-sama paman."
Lantas, Dokter Ricky memeluk Eliot lembut. Merasa tidak ada penolakan ia menggendong koala Eliot dan membantunya duduk di sofa kecil dekat jendela rumah. Dokter Ricky mengelus kembali pucuk kepala Eliot.
Cup
Dokter Ricky mengecup pipi mulus Eliot seperti kebiasaannya. Eliot hanya tersenyum lembut. Ia sudah lama tidak merasa lega di hatinya. Setidaknya, ia dapat berharap jika kehidupannya kali ini dapat mendamaikan hati dan jiwanya. Eliot berjanji akan menjalani hidup lebih baik di desa ini. Dan ia juga berharap jika Ayah dan kedua kakaknya menemukan kebahagiaan masing-masing tanpa dirinya yang sudah merebut nyawa sosok yang penting bagi hidupnya.
Eliot menyandarkan kepalanya pada pundak Dokter Ricky. Matanya masih menatap lautan biru. Ia tidak bisa lagi menatap Ayah maupun kedua kakaknya. Tidak setelah ingatan kecelakaan itu terus berputar dikepalanya
Tanpa Eliot sadari, keputusannya ini membuat kesedihan mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan. Untuk kedua kalinya, mereka kehilangan permata berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eliot
Teen FictionLangit hari terlihat sangat cerah. Banyaknya burung berterbangan menghiasi indahnya langit pagi. Kicau burung menyeruak begitu nyaring. Cahaya matahari mencoba masuk ke sela-sela jendela ruangan bernuansa khas putih. Disinilah, lelaki mungil berbari...