Sejak hari itu, baik Diego maupun Eliot tidak pernah menceritakan kejadian itu kepada orang lain. Sering kali Diego ingin berdekatan dengan Eliot tapi Reza akan menghalanginya.
Ia tidak masalah. Walaupun jantungnya terasa berdebar ketika mata mereka bertemu satu sama lain. Beda dengan Eliot yang terlihat biasa saja.
Saat ini, Reza dan ketiga temannya sedang berkumpul bersama di ruang keluarga Reza. Besok sang Ayah dan kakaknya sudah kembali dari luar kota. Reza, Diego, Raka, dan Theo asyik bermain game.
Eliot sedang tertidur pulas di kamar milik Thomas. Katanya merindukan sang Ayah. Reza sedikit tidak rela, tapi ia membiarkannya. Toh, besok Ayahnya akan kembali mengusik jatahnya.
Setelah lama bermain game, mereka mulai menikmati snack dan minuman dingin di meja yang telah disiapkan sebelumnya.
"Tumben, Eliot lo biarin sendiri." ucap Theo.
"Kecapean, lagian besok udah pada pulang."
"Adik lo kecapean juga karena lo sendiri kalau ingat." ucap Raka sinis.
"Terserah gue." balas Reza dingin.
"Sampai kapan lo kayak gini? Lo ga mau berubah apa?" tanya Diego mencela.
Reza menatap dingin Diego. Ia meminum satu kaleng coca-cola.
"Berubah? Udah gue bilangin, gue udah gabisa balik lagi kayak dulu. Bagi gue, Eliot lebih dari cukup."
"Gausah munafik lo semua. Bohong kalau cuman gue yang nafsu lihat tubuh Eliot. Gue yakin, lo semua sama bejatnya kayak gue." ucap Reza.
"Gue emang bajingan, tapi setidaknya gue ga akan nidurin adik gue sendiri." ucap Diego.
Diego dan Reza bertatapan dingin. Raka dan Theo menggaruk leher canggung. Yah, kali ini mereka setuju dengan Diego. Mau bagaimanapun Reza lah yang patut disalahkan disini.
"Udah-udah kok malah berantem sih kalian." ucap Theo menengahi.
"Jujur aja, gue di pihak Diego kali ini. Betul kata lo, kalau gue sendiri aja bakal nafsu ngeliat tubuhnya Eliot. Maksud gue, siapa yang enggak? Apalagi hampir setiap hari lo berbuat hal mesum di ruangan yang sering buat kita kumpul."
"Huh, intinya... Yang salah adalah status lo Re. Lo seakan lupa fakta. Mau gimana pun dia adik lo sendiri." ucap Raka tegas.
"Gue tau..."
"Gue salah. Gue awalnya ga ada pikiran berbuat kayak ini. Awalnya gue pikir ini adalah kesempatan bagi gue, Bokap, dan Bang Reyga untuk mengulang kembali hubungan kita. Tapi, seperti yang udah gue bilang tadi. Gue gabisa."
Suasana kembali sepi. Raka dan Theo saling melirik. Rencana libur hari Minggu malah menjadi canggung. Huh, mereka menghela nafas perlahan.
"Lo bukannya gabisa Re. Lo-nya aja yang ga mau berubah." ucap Diego.
"Lo ga kasian sama Eliot? Gimana kalau ingatan masa lalu dia kembali sewaktu-waktu?" tanya Diego.
"Gue harap itu ga bakal terjadi."
"Lo egois bro." ucap Raka.
Reza kembali terdiam.
Sisi lain, pemuda mungil masih terlihat bergelut sendiri di ranjang besar kamar Ayahnya. Yah, Eliot merindukan Thomas maupun Reyga. Setelah dua minggu mereka terpisah, Eliot merasa hidup kembali mengingat besok mereka sudah pulang.
Merasa sedikit haus membangunkan Eliot. Dirinya bangun dari tidur. Jemari mungilnya mengucek mata. Ia minum segelas air mineral di atas meja samping ranjang.
Hoam
Eliot merasa seluruh badannya menjadi rileks. Ia melihat ke arah jam dinding menunjukkan pukul 4 sore. Ia yakin kakaknya sama bersama teman-temannya di bawah. Ia pergi ke arah kamar mandi untuk mencuci muka. Sungguh sangat menyegarkan.
Entah mengapa, ia kembali merindukan sang Ayah. Di kamar yang begitu luas, terasa sangat hening. Hanya ada dirinya sendiri. Biasanya disini ia akan menghabiskan waktu bersama sang Ayah.
Saat ini ia mengenakan baju tidur tipis berwarna putih. Ini adalah salah satu baju tidur yang Reza belikan untuknya. Setidaknya lebih baik daripada tidak memakai pakaian sama sekali.
Ia melihat-lihat seluruh kamar Thomas. Jujur saja, ia tidak memiliki kesempatan untuk mengagumi perabotan antik yang menghiasi kamar sang Ayah.
Tangannya meraba-ra lemari tinggi penuh buku-buku milik Thomas. Sampai matanya mengarah ke kotak kecil berwarna coklat tua. Rasa penasaran Eliot memuncak. Ia berjinjit sedikit untuk mengambilnya.
Setelah bersusah payah, akhirnya kotak tersebut berhasil ia ambil. Sedikit berdebu. Namun, kotak kecil ini memiliki ukiran yang begitu indah. Bahkan, dihiasi butiran kristal berwarna hijau tua. Eliot membuka kotak itu perlahan.
Namun, yang ia lihat hanyalah selembar foto keluarga berwarna. Ia mengenalinya. Wajah Ayahnya, kedua kakaknya yang masih kecil, dan juga sosok wanita cantik dengan pakaian satin putih. Senyuman wanita itu begitu mempesona. Eliot seperti mengenali sosok yang ia lihat itu. Begitu dirinya sadar, wajahnya mirip dengan wanita cantik itu.
"Mommy?" ucap Eliot lirih.
"Apakah wanita cantik ini Mommy Eliot...?"
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menangis dalam diam. Belakang lembar foto tersebut ada tulisan kecil, "keluargaku bersama Rosa."
Hiks
Hiks
Hiks
Eliot tidak dapat menahan tangisnya. Kakinya terasa lemas. Kepalanya mulai pusing. Ah, sangat pusing. Eliot mulai memejamkan mata. Ingatan-ingatan mulai bermunculan. Begitu menyakitkan.
Dirinya memegangi kepalanya. Apa ini? Apakah ini adalah ingatannya terdahulu? Eliot mulai mengingatnya. Ah, ia bukanlah bagian dari keluarga ini. Dirinya adalah anak yang tidak diharapkan. Dirinya adalah anak yang membawa ketidakberuntungan. Dirinya adalah anak yang membunuh Ibunya sendiri.
Eliot merasa hina. Ia merasa kotor dengan dirinya. Ia masih tidak percaya jika ingatan yang muncul di kepalanya saat ini adalah dirinya yang sama. Keluarga yang selama ini ia kira menaruh kasih sayang justru menyakitinya dengan cara yang berbeda.
Ia benci keadaan ini. Ia membenci tubuhnya. Ia membenci wajahnya. Ia ingin kabur. Ia ingin meninggalkan tempat ini selamanya.
Kenangan itu sangat menyakitkan. Begitu menyakitkan sampai nafasnya mulai tidak beraturan. Tapi, yang paling menyakitkan baginya adalah fakta jika Mommynya yang tiada karena dirinya.
Hiks
Hiks
Hiks
"Maafkan Eliot..."
Eliot yang tidak dapat menahan rasa pusingnya pun jatuh pingsan. Dirinya tertidur di lantai dengan menggenggam selembar foto. Foto yang sudah lama Thomas simpan. Satu-satunya foto yang tertinggal untuk mengenang sosok wanita yang selama ini ia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eliot
Novela JuvenilLangit hari terlihat sangat cerah. Banyaknya burung berterbangan menghiasi indahnya langit pagi. Kicau burung menyeruak begitu nyaring. Cahaya matahari mencoba masuk ke sela-sela jendela ruangan bernuansa khas putih. Disinilah, lelaki mungil berbari...