13

4.5K 271 9
                                    

Mobil sedan mewah berwarna hitam itu melaju cepat. Entah pergi kemana. Hanya saja, semakin lama mereka semakin meninggalkan keramaian kota. Hari pun terlihat semakin gelap menunjukkan malam segera tiba. 

Eliot hanya dapat duduk terdiam dengan kepalanya menunduk. Ia tidak berani mengangkat kepalanya atau bahkan melihat sang ayah yang sedari tadi hanya diam. Hanya terdengar isakan tangis kecil yang keluar dari bibir Eliot.

Sampai pada akhirnya mobil yang melaju itu terhenti di sebuah rumah mewah namun tidak sebesar rumah utama tempat tinggal Eliot. Rumah mewah itu dikelilingi banyaknya pepohonan. Terasa sepi. Di sisi lain terasa nyaman dan udaranya lebih segar.

"Ayo, turun."

Eliot turun dari mobil dengan tangganya yang digenggam erat oleh Thomas. Ia melihat ke sekeliling rumah saat memasuki pintu besar itu. Interior rumah yang minimalis dan bernuansa coklat muda. Sangat cocok untuk orang yang ingin bersantai sejenak.

Thomas duduk di sofa ruang tengah rumah mewah tersebut. Ia tidak ada niat membuat Eliot duduk bersamanya. Justru ia membiarkan Eliot berdiri tepat di depannya. Ia tahu jika Eliot saat ini sedang ketakutan. Bahkan, dari tadi ia tidak menatap wajahnya. Thomas sebenarnya sangat pusing sejak telepon terakhir kali dengan anak pertamanya. Ia pun sampai rela membatalkan perjalanan bisnis yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama.

Thomas menyentuh telapak mungil sang bungsu. Eliot mengerjap kaget dan terus gemetar.

"Copot bajumu, Eliot."

Tanpa menunggu lama. Eliot melepaskan pakaiannya. Sehelai pakaian itu terlepas dari tubuh mulus yang sudah memiliki beberapa bekas kemerahan. Masih dengan kepala tertunduk, Eliot tidak mampu berkata apa-apa sebab ia takut hanya membuat sang Ayah semakin marah.

Thomas mengamati tubuh Eliot. Ia pun langsung tahu jika perkataan sang anaknya kemarin ditelepon benar apa adanya. Leher Eliot terlihat beberapa bekas kemerahan. Nipple-nya pun terlihat sedikit merah dan membengkak. Belum lagi, himpitan kedua pahanya sudah memerah. 

Thomas berdecak kesal. Ia sadar jika kedua anaknya itu sangat mirip dengannya. Jadi, ia pun tidak kaget jika kedua anaknya akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, ia merasa kesal jika orang lain melihat dan menyentuh Eliot selain dirinya sendiri.

"Eliot, sini duduk dipangkuan Daddy."

Untuk kedua kalinya, Eliot langsung melaksanakan perintah. Jujur saja, kedua pahanya terasa perih apabila terlalu terbuka lebar seperti saat ini. Namun, ia mencoba menahan ekspresi sakitnya.

"Lihat Daddy."

Eliot terdiam, ia tidak berani menatap.

"Maafkan Daddy, Baby. Eliot tidak rindu dengan Daddy? Padahal Daddy sudah pulang lebih awal untuk baby El."

Eliot pun terisak tangis. Ia sudah tidak tahan lagi. Di satu sisi ia sangat takut pada Daddynya. Disisi lain ia sangat rindu pada Thomas.

"Tidak. Maafkan Eliot Daddy. Eliot rindu dengan Daddy. Jangan marahi Eliot. Hiks..hiks..." ucap Eliot selagi memeluk leher sang Ayah.

Cup...Cup...Cup

"Sudah, bayinya Daddy jangan menangis lagi hm?"

"Hiks..hiks..Daddy..."

Thomas pun mengecup kedua mata Eliot satu persatu. Mencoba menghentikan air mata yang tidak dapat berhenti keluar. Tangannya mengelus pipi lembut yang basah tersebut. Ruangan yang luas itu hanya ada mereka berdua disana. Thomas merasa lega saat ini karena sosok yang sudah ia rindukan ada digenggamannya lagi.

Thomas menggendong koala Eliot menuju kamar utama rumah mewah. Eliot pun terasa nyaman namun sedikit aneh tatkala sang Ayah terus saja meremas pantatnya secara halus.

EliotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang