Hawa dingin menyapa kulit Lea, begitu memasuki ruang tamu kediaman orangtua Dewa. Gemilang yang tertidur sejak di perjalanan tadi, masih anteng dalam gendongan Sadewa.
"Kenapa?" tanya Dewa, buat Lea menggeleng pelan.
Lima tahun tidak menginjakkan kaki di rumah Dewa, buat Lea merasa asing. Padahal, dulu ia jadi pengunjung tetap kediaman itu.
"Kamu yakin, De?" tanya Lea, buat Dewa memutar bola mata malas.
"Mau aku jelasin pake gaya apa lagi biar kamu percaya? Kayang kah?"
Jawaban Sadewa buat Lea mencubit lengan pria itu, bisa-bisanya bercanda di situasi serius seperti ini.
"Percaya aja sama aku sayang, kayak sama siapa aja kamu mah. Yuk masuk," final Sadewa, eratkan genggamannya.
Sebelum ketiga orang itu benar-benar memasuki ruang keluarga, seorang wanita paruh baya datang dengan wajah yang sedikit kebingungan.
"Aden, ya ampun akhirnya pulang," ucap wanita tadi, menyambut Sadewa dengan senyum ramahnya.
"Hahaha, bibi apa kabar?"
"Baik, Den. Ini siapa?"
"Ini anak Dewa, Gemilang namanya,"
Wanita yang disapa bibi itu terlihat kaget, beralih tatap Lea yang menunduk malu di samping Sadewa.
"Ini? Mamanya Gemilang yah Den?"
Sadewa mengangguk bangga, lirik Lea yang masih menunduk.
"Sayang kenapa?" tanya pria itu, buat Lea semakin menunduk. Tidak tahu saja Dewa, kalau Lea sedang gugup setengah mati."Astaga, Mba Lea. Ya ampun sudah lama sekali ga main kesini. Mbak apa kabar?" ucap Bi Nur, begitu Lea mengangkat kepalanya.
Lea tersenyum, sambut pelukan Bibi Nur yang selalu ia temui tiap main ke rumah Sadewa semasa SMA dulu. Perasaannya sedikit lega, semoga orangtua Sadewa masih sama.
Langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Buat perhatian Lea teralihkan. Dari balik tubuh Bi Nur, terlihat Amara, ibunda Sadewa dengan style rumahannya yang memberikan kesan berwibawa serta menghighlight aura old money nya. Bersama dengan Amara, ada Mahawira atau yang lebih sering disapa Om Wira oleh Lea, ayah dari Sadewa Abimanyu itu terlihat masih sama seperti beberapa tahun yang lalu.
"Akhirnya anak bunda balik juga. Ada apa nih? Biasanya disuruh balik kamu ogah, sekarang malah ga ada angin, ga ada hujan malah balik sendiri," ucap Bunda Amara, mulai memeluk putra bungsunya itu. Sementara Wira sudah duduk di single sofa yang ada di ruang tamu.
Lea mulai merasa tidak enak, begitu diabaikan oleh dua orang yang dulunya begitu akrab dengannya, kini malah bersikap bak orang asing. Mengabaikan hal tersebut, Lea pun ikut duduk di samping Sadewa. Mengambil alih Gemilang yang masih tertidur pulas.
"Lama ga kelihatan, Le. Apa kabar?" Wajah Lea yang semula mulai sendu, kini berubah cerah begitu Amara memulai obrolan dengannya. Sedangkan Sadewa sedang terlibat diskusi dengan sang ayah di sudut ruangan.
"Lea baik, bun. Bunda sendiri gimana kabarnya?"
Amara tidak tersenyum atau menjawab dengan ramah seperti biasanya, melainkan menatap Lea dari atas sampai bawah, tipe tatapan mengintimidasi dan menilai.
"Baik," jawab Amara singkat.
"Si kecil sudah berapa bulan?" sambungnya.
Lea senang bukan main, Amara seperti memberikan lampu hijau untuknya.
"Baru genap enam bulan, Bun," balas Lea, lirik sekilas wajah Gemilang.
"Mirip bapaknya yah. Muka Alden banget itu," balas Bunda Amara, buat Lea mendadak diam. Beruntung Wira dan Sadewa sudah kembali ke ruang keluarga, sehingga percakapan yang cukup menguras emosi tadi bisa terhenti.
"Anak siapa?" kali ini, gantian Wira yang bertanya. Kalau biasanya Wira beri senyuman ramahnya, maka kali ini berbeda. Lea justru dapat tatapan datar dari pria paruh baya itu.
"Anak Dew—"
"Anak Alden!"
Balas Dewa dan Amara bersamaan. Buat Lea mulai menangkap sinyal tidak menyenangkan.
"Ga salah rumah Le? Yang bikin hamil Alden, kok anak saya yang kamu minta buat tanggungjawab?"
Lea mendongkak, kaget dengan ucapan Wira yang menurutnya sangat menyakitkan. Sadewa pun sama kagetnya dengan Lea, padahal tadi ia sudah beri pengertian pada sang ayah kalau Lea sama sekali tidak pernah memintanya untuk bertanggungjawab, melainkan karena kemauannya sendiri.
"Ayah!" balas Sadewa, wajahnya memerah karena marah.
"Diam kamu! Percuma sekolah tinggi-tinggi, kalau nyari pasangan masih ga jelas kayak gini!" bentak Wira, semakin membuat Lea terpojok, Gemilang juga mulai menggeliat dalam gendongan Lea.
"Ayah ga tau apa-apa soal Lea!" Sadewa masih berusaha membantah, meski genggaman Lea semakin mengerat, coba tahan pria itu agar tidak membantah.
"Kamu yang ga tau apa-apa soal perempuan ini Sadewa! Kamu kira bunda ga tau niat dia apa? Sudah cukup Alden, sepupumu yang sempat dimanfaatkan sama dia. Kamu jangan sampai dimanfaatkan juga!"
Lea menutup matanya, berusaha tahan tangis yang sudah tak terbendung lagi.
"Apa anak kamu juga ga malu Lea? Mukanya sama bapaknya ga mirip, kalau kamu beneran sama Dewa nanti? Sadewa bukan cowok yang kerjaan nya biasa-biasa aja lho, dia terpandang sama seperti keluarga kami. Apa kata orang kalau liat anaknya yang malah mirip sama sepupunya sendiri,"
"Bunda, Dewa bilang cukup!"
"Anak kamu juga nanti pasti malu, kalau tau kelakuan buruk ibunya," sambung Amara, buat Lea berdiri dari duduknya. Tangisan Gemilang yang terbangun akibat berisiknya Dewa yang saut menyaut dengan ayahnya, berhasil buat putranya terbangun.
Lea melangkah ke pintu utama, tinggalkan ketiga orang yang masih sibuk berdebat. Tangannya dekap erat tubuh Gemilang yang bergetar karena menangis.
Sadewa tidak diam saja, ia turut berbalik, hendak menyusul Lea dan Gemilang.
"Sadewa Abimanyu! Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan harap kamu masih bisa pake marga ayah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
LA LA LOST YOU (END)
RomanceSeperti kata pepatah, akan selalu ada pelangi setelah hujan. Begitulah hidup Azalea Putri setelah kisah cintanya dihujani airmata sebelum hadirnya Gemilang. Banyak hal yang terjadi, buat Lea mati rasa. Tadinya ingin berontak, tapi salah jalan, alhas...