Jingga langit ketika matahari akan tenggelam begitu indah. Sepasang mata menangis melihatnya, duduk di tepi tebing dengan pakaian yang kotor. Dia tidak suka warna yang sial itu. Warna yang membawa peteka bagi suku yang mengasingkan diri di pulau kecil, jauh dari peradapan masyarakat umum.
Semua karena warna jingga itu, warna cantik bagai lentera malam.
Kapal berlayar setelah menjarah pulau, mengambil mata jingga para penduduk pulau yang gemerlap bak lentera. Yang tersisa di desa tinggal tumpukan mayat tanpa mata, juga seorang gadis 8 tahun yang masih utuh bernapas.
"Maaf, aku tidak bisa membantu apa-apa."
Gadis itu terkejut, langsung berdiri dan hampir jatuh dari tebing. Untunglah tangannya dapat diraih dan ditarik oleh seorang anak laki-laki yang lebih tinggi beberapa centi yang mengagetkannya.
"Tenang, aku tidak berniat mengambil matamu. Percayalah." Dia meyakinkan, mengangkat tangan, memperlihatkan jika dirinya juga banyak luka di tubuh.
"Aciel?" eja sang gadis pada headband yang dipakai anak laki-laki.
"Itu namaku, nenek yang merajutnya." Aciel melepas headband, meletakkannya di atas kepala si gadis kecil--rambut gadis kecil jadi tambah berantakan sebab Aciel memasang asal. "Kamu sudah tahu namaku, sekarang katakan namamu."
Si gadis kecil memegang kepala, memperbaiki rambut jingga kemerahan yang ikal bagai ombak laut. "Loila," cicitnya pelan.
Aciel tersenyum tipis. Loila, satu-satunya yang hidup di antara ratusan penghuni pulau ini. Gadis kecil yang malang, terlihat jelas dia sangat ketakutan serta sedih.
"Hari ini pasti berat bagimu." Aciel mengelus kepala Loila, gadis itu menumpahkan air mata. Biarkan dia menangis, berteriak, mengatakan bertapa takutnya dia. Aciel senantiasa bersama gadis itu hingga matahari kembali terbit.
Mereka memang baru kenal, tapi di pulau ini hanya mereka berdua yang manusia--mereka saling menemani satu sama lain, sama-sama anak yang masih butuh bimbingan orang tua namun sama-sama ditinggalkan sendiri.
Dari tebing ini, matahari terlihat mulai menampakan diri seakan ia tenggelam dalam lautan semalaman. Cahaya menembak Loila yang masih tidur, meringkuk di samping Aciel yang duduk menghadap matahari. Rambut jingga kemerahan Loila seakan menyala, Aciel mengakui, pantas saja suku di pulau ini menjadi incaran. Mereka terlahir dengan mata indah, rambut bagai ombak dengan warna jingga kemerahan, kulit mereka putih, bibir mereka tipis merah muda.
"Kamu sudah bangun?" tegur Aciel tersenyum tipis.
Loila duduk, mengusap mata menyesuaikan cahaya yang masuk. Bersama mereka menyaksikan matahari terbit.
"Mau ikut denganku?" tawar Aciel, tatapannya pun mengikuti. Menunggu jawaban Loila.
Hening, Loila menangis tanpa suara. Memang mau ke mana lagi dia? Tidak ada siapapun yang ia kenal, selain laki-laki yang baru ia kenal ini. Loila mengangguk kecil. Menerima elusan halus di kepalanya dari Aciel.
"Aciel, kenapa kamu bisa ada di pulau ini?" tanya Loila sembari menyeka air mata.
Mendadak Aciel tertawa, kepala Loila reflek miring sebab ia bingung.
"Kamu tahu detektif, Loila?"
Loila menggeleng, dia tidak pernah mendengar kata itu.
"Itu adalah pekerjaan yang hebat, melibatkan otak untuk berpikir keras memecahkan kasus kejahatan. Aku ingin seperti itu. Dan soal kenapa aku bisa ada di pulau ini, karena aku menyusup ke kapal yang membantai sukumu semalam."
Aciel begitu semangat ketika menyebut kata detektif. Pun Loila antusias mendengarkan. Cerita Aciel terdengar hebat, tentang kakeknya yang merupakan detektif semasa hidup.
"Apa Aciel pintar?"
"Tentu saja. Umurku baru 10 tahun, tapi bisa menyusup ke kapal penjahat tanpa ketahuan. Hebat, kan?"
"Hebat. Jadi bagaimana cara kita keluar dari pulau ini?"
Aciel bertdiri, mengulurkan tangan mengajak Loila ikut berdiri. Tanpa mengerti apa pun, Loila menerima uluran tangan Aciel. Dia membawa Loila melangkah cepat menuju desa. Sontak Loila bersembunyi di belakang Aciel, dia tidak sanggup lagi melihat mayat-mayat itu.
"Kita akan berangkat sekarang. Apa tidak ada benda yang ingin kamu ambil?"
Mayat tidak membuat Aciel takut, dia sudah terlalu sering menemukan tubuh mutilasi, hasil mengikuti penyelidikan polisi.
Namun, keputusan Aciel membawa Loila kembali ke desa adalah salah. Gadis itu kembali gemetaran, Aciel merasakannya sebab tubuh Loila yang menempel di punggungnya.
"Maaf. Baiklah jika tidak ada, kita pergi sekarang."
Di bibir pantai, terdapat perahu kecil yang Aciel sempat turunkan dari kapal sebelumnya. Untunglah ia berpikir cepat, jika tidak entah bagaimana cara untuk keluar dari pulau. Dia tidak bisa membuat perahu.
"Naiklah, Loila."
"Kamu tahu arah menuju kembali?"
Aciel mengeluarkan benda seperti jam dari sakunya. "Ini kompas. Aku menemukannya di salah satu rumah di desamu."
Aciel ingat ia datang dari arah selatan. Mendayung perahu ternyata tidak mudah, Aciel mulai kelelahan. Mereka terombang-ambing. Beruntungnya di tengah laut mereka bertemu dengan Angkatan Laut, mengangkut dua anak kecil naik ke kapal.
"Astaga, bagaimana bisa kalian sampai ke sini?"
Loila menutup mata, takut Angkatan Laut hendak mencabut matanya juga.
"Tidak apa-apa, Loila, mereka orang baik."
Barulah Loila membuka mata, para orang dewasa menatap mereka berdua. Menunggu jawaban dua anak, yang membingungkan mereka. Tentu saja, ini adalah lautan lepas nan luas. Ombak lumayan tinggi, sementara perahu berisi anak kecil mencoba menantang ombak.
"Paman, kapal penculik membawa kami. Kami melarikan diri. Apa Paman tidak ada melihat kapal mereka?" Aciel menjawab, dengan sedikit bumbu kebohongan.
Orang dewasa saling pandang. Baiklah, entah bagaimana mereka akan menanggapi masalah itu. Yang jelas Angkatan Laut terlebih dahulu mengantar Aciel dan Loila ke daratan.
"Mulai dari sini kalian akan diurus oleh polisi. Mereka akan mengantar ke rumah orang tua kalian."
Dua polisi sampai ke bibir pantai, Angkatan Laut kembali berlayar. Salah satu polisi mengenali Aciel, anak SD yang sering mereka usir ketika melakukan penyelidikan.
"Kali ini apa yang kamu lakukan, Aciel?" tanyanya jengah, sembari mengurut pelipis.
Lantas dia melihat Loila yang bersembunyi di punggung Aciel. Gadis berparas tidak biasa, warna rambut dan mata yang tidak biasa mereka lihat. Sangat cantik.
"Siapa gadis kecil ini?"
"Adikku," balas Aciel, membentuk sikap melindungi Loila. Identitas Loila sebagai penghuni di salah satu pulau terlantar akan membawa kehebohan, apalagi setelah kejadian yang menimpa penduduk pulau.
Tidak baik bagi Loila yang tidak tahu dunia luar, mendapat interogasi beruntun yang akan mengorek lukanya.
"Adikmu? Dia diusir dari rumah juga seperti kamu?"
Ya, Aciel diusir dari rumah tujuh bulan yang lalu. Sebab mereka menilai Aciel selalu membawa masalah. Terlebih Aciel adalah anak tiri, Ibu menikah dengan suami yang tegas, tidak bisa melakukan apa pun ketika Aciel disuruh pergi.
"Tidak perlu mengantar, aku tahu arah jalan pulang."
Dua polisi membuang napas kasar. "Kami di sini ditugaskan untuk mengantar dua anak yang tersesat di lautan. Ayo, di rumah kecil dekat sungai, kan?" ucapnya sembari tersenyum tipis. Dia kenal Aciel, bocah SD 10 tahun yang senang menguntit untuk melihat bagaimana cara menyelesaikan kasus kriminal, agak keras kepala.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Fiksi RemajaBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...