Part 23

150 24 8
                                    

Setengah jam, selama itu Loila menunggu Aciel yang berada di dalam bank. Kalau tahu bakal selama ini dia pasti menerima tawaran Aciel untuk masuk tadi.

Orang-orang dari berbagai usia berlalu lalang, menghitung mereka menimbulkan kantuk bagi gadis memiliki banyak waktu luang.

"23, 24, 25, yang gendut itu dihitung dua orang. 27, 28, dua ... Gress!" Wajah lesu langsung jatuh. Loila menurunkan kaca, melambai-lambaikan tangan tanpa bersuara.

Gress yang baru beberapa langkah keluar dari bank, menyadari ada orang yang melambai-lambai di parkiran sana. Matanya menyipit, sedikit minus mengganggu jarak pandangnya.

Siapa itu? Dia sedang menyapa siapa?

Sampai kepala Loila keluar dari jendela, barulah Gress menangkap warna rambut dari orang yang ia kenali.

"Loila!" Gress berlarian. Sebuah kejutan menemukan temannya yang menghilang bagai ditelan bumi.

Semakin dekat Gress, Loila membuka pintu mobil, bersiap melempar diri memeluk Gress. Dan, ya, mereka berpelukan sambil melompat-lompat.

Melepas pelukan. "Kamu dari mana saja?"

"Tentu saja kabur, aku tidak mau dijodohkan."

"Kamu yang kabur, aku yang susah. Kamu tahu? Keluargamu menekan aku untuk memberitahu di mana kamu. Ya, aku mana tahu. Mereka mengancam melaporkan keluargaku pada polisi."

Gress berkacak pinggang, sebal membayangkan dia duduk di kantor polisi dengan tuduhan merepotkan. Lihatlah Loila? Dia tampak cerah tanpa beban, kehidupannya tampak baik-baik saja.

"Maaf, Gress. Tapi keluarga kalian enggak apa-apa, 'kan?"

"Iya, enggak apa-apa."

Gress memindai Loila, menyadari ada sesuatu yang berbeda. "Loila! Matamu mana?"

"Ini mataku?" Mengedip-ngedipkan mata.

"I-iya, bukan! Maksudku ... kamu memakai soflen?!"

Loila melipat bibir, Gress sontak memegang pundak Loila lalu mengguncang tubuhnya tanpa tahu ada cidera di situ.

"Kenapa, hah?! Matamu itu sangat cantik, jangan ditutupi!"

Loila meringis "Aw, sakit. Lepaskan, Gress!" Mendorong Gress.

Di dorong Loila hingga hampir jatuh bukanlah hal asing, Gress sering mengalami hal itu masa mereka kuliah. Memperbaiki posisi lagi, lantas melipat kedua tangan di dada. Dia terbiasa, terbiasa merajuk.

"Maaf, maaf. Aku tidak sengaja. Kamu sih, guncang orang kayak guncang arisan."

Gress menghela napas, mengendurkan posisi tegap. Dia tatap Loila dengan ekspedisi berbeda, lalu tersenyum tipis. Syukurlah Loila baik-baik saja, dia khawatir sebab tidak ada kabar sama sekali.

"Jadi, kamu tinggal di mana sekarang?"

"Aku ...."

Tampak ragu, Gress menunggu jawaban, menyipitkan mata kala menyadari Loila yang bersender di mobil. Benar, tadi Loila keluar dari mobil itu. Bukan apa-apa, aneh saja orang yang kabur tanpa apa-apa memiliki mobil sekarang. Nanti saja bertanya soal, satu pertanyaan harus di jawab dulu.

"Janji tidak akan membocorkan keberadaanku?" tekan Loila sebelum memberi infromasi panting.

"Kamu meragukan aku? Hei, jika aku dikuliti pun aku tidak akan membuka mulut."

"Wah kamu kuat, ya. Aku digores sedikit saja pakai pisau sudah nangis."

"Apa maksudmu?"

"Aku selakarang tinggal di rumah Detektif A."

"Hah?" Ekspresi bodoh beberapa deti, lalu tertawa keras. "Jangan bercanda."

"Aku tidak bercanda!"

"Ceritakan padaku!"

Gress adalah teman baiknya, lagian jika terjadi sesuatu, orang yang akan menopang Loila pastilah Gress. Jadi, tidak masalah 'kan cerita dengan Gress?Di mulai dari dia pulang ke kota ini, hingga dirinya berada di hadapan Gress. Ia ceritakan tanpa ada fakta yang tertinggal.

"Aku tidak menyangka kakakku bekerja di rumah Detektif A."

"Ingat, jangan bilang siapa-siapa!"

"Aku ini Gress, Loila. Jangan pernah meragukan aku! Jadi ... apa kamu sudah sembuh?"

"Baik-baik saja jika tidak ada orang yang mengguncang tubuhku seperti tadi."

"Heheh, maaf."

Gress berputar badan, melihat arah pintu bank. Loila bilang dia bersama Detektif A di sini, Gress penasaran dengan wajah Detektif A yang selama ini tidak pernah dikenal oleh publik. Wajah saja, kalau soal popularitas jangan ditanyakan seberapa sering namanya disebut masyarakat yang tidak puas oleh kinerja polisi setiap ada kasus.

"Kamu lihat apa?" tanya Loila.

Berputar badan lagi. "Aku penasaran dengan wajah Detektif A. Kapan dia akan keluar?"

"Kamu sudah pernah melihatnya, Gress."

"Hah? Kapan?"

Loila tersenyum, dagunya terangkat sekejap meninjuk arah. Kembali lagi Gres memutar badan, memandang lama mencari yang Loila bilang. Mata dia sedikit rabun, jadi tidak dapat melihat jelas. Ketika Aciel semakin terlihat menuju ke arah mereka, barulah Gres panik menghadap Loila.

"Di-dia cowok yang betah di dekat kuburan itu, 'kan?"

"Dan dia adalah Detektif A," sambung Loila.

Rasanya ingin pingsan, Aciel semakin mengikis jarak. Selama ini Gres hanya melihat dari jauh, tidak pernah sampai dekat seperti sekarang, Aciel yang memandangnya heran dengan jarak kurang satu meter.

"Siapa?"

Telunjuk Aciel mengarah padanya, tapi dia bicara dengan Loila. Gres masih membatu.

"Adiknya Yusa. Menanyakan tentang Yusa." Tidak berani bilang teman, Loila takut Gres dalam masalah karena dia tidak bisa yakin 100% pada Aciel yang telah memberi kebebasan. Bisa saja dia hanya pura-pura untuk mencari orang yang memiliki hubungan dengan Loila.

"Dia kenal kamu?"

"Waktu Yusa video call aku pernah ikut menyapa. Jadi saat tadi dia melihat aku, dia berinisiatif menghampiri."

Kamu menutupi aku sebagai temanmu, Loila? Baiklah, kamu pasti punya alasan.

"Sampai jumpa adiknya Yusa."

Loila masuk ke dalam mobil. Kurang ajar, dia meninggalkan temannya begitu saja. Juga, tidak bertanya tentang kepentingan Gress berada di kota ini. Padahal sudah senang dapat bertemu kembali. Sayang keadaan Loila tidak menguntungkan, kalau tidak mereka pasti akan menghabiskan waktu berdua seharian.

Ditangkap dan dirawat Detektif A termasuk beruntung atau sial, ya? Kalau aku yang ditangkap pasti beda cerita.

Beda orang, beda nasib, itu nyata. Hal yang biasa menjadi salah paham banyak orang. Ketika kamu melihat guru memaafkan kesalahan temanmu, belum tentu guru akan memaafkan kesalahan kamu yang melakukan hal sama dengan temanmu. Fisik, status sosial, kedekatan, adalah hal yang paling jelas terlihat oleh mata.

Gress melangkah mendekati salah satu mobil yang terparkir. Ia pandangi wajahnya dari pantulan kaca jendela kendaraan itu. Gress membuang napas kecewa. Kulit kusam, jerawatan, pendek berisi, rambut kering, fitur wajah yang jauh dari standar kencatikan.

Kenapa aku sangat jelek, Tuhan?

Pertemuan dengan Detektif A tadi yang menimbulkan kembali insecure pada Gress. Ingat, dia pernah suka sama pria itu. Menyimpan dalam-dalam sebab tahu diri ada banyak gadis cantik yang mendetinya. Terlebih, Detektif A dan Loila sangat serasi.

Kalau Loila yang akan bersama dia, aku akan ikhlas, sih. Karena aku ingin yang terbaik untuk cowok yang aku suka.

Plak.

Gress menyadarkan diri dengan tamparan. Apa yang ia pikirkan? Kenapa tiba-tiba ingin melempar teman sendiri ke orang yang ia suka.

Loila punya Ariel. Tidak mungkin dia mau sama Detektif A.

Bersambung....



Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang