Suhu di malam hari lebih menusuk, tidak ada hal yang bisa menutupi dinginnya. Meringkuk Loila seperti udang, mengigil tidak tahan. Dia tidak suka dingin, Loila adalah penduduk negara cuaca tropis, membayangkan salju saja sudah membuat dia merinding. Apa dingin yang ia rasakan sekarang sudah setara di musim dingin bersalju? Sungguh ia tidak tahan.
"Detektif, Detektif!" panggil Loila. Duduk, mengguncang jeruji besi yang lebih dingin. Dia harus melakukan sesuatu atau dia rasa akan mati.
Terus memanggil, tidak ada respon yang menunjukkan sebuah harapan. Tahanan lain terganggu oleh suara Loila, suara Loila mengganggu waktu istirahat mereka. Seorang pria berbadan besar hanya memakai celana dalam--yang ada di sel depan Loila--tampak bergerak menghadap besi seperti posisi Loila.
"Hai, Nak. Diamlah, kami merasa terganggu." Ia menegur. Ketahuilah dia masih ber intonasi sopan.
"Aku akan mati, tolong panggil detektif itu!"
"Hm? Kamu sakit atau keracunan?"
"Kedinginan! Rasanya darahku tidak mengalir dengan benar."
Menepuk jidat sendiri, hanya Loila di sini yang teriak sebab kedinginan. Dasar anak manja, pikirnya. "Tidak ada yang akan datang, lebih baik kamu tidur saja."
Satu-satunya yang bicara dengan Loila hanya pria di depan sana, masih lebih baik dari pada tatapan tajam dari tahanan yang terganggu oleh suara Loila.
"Biasakan dirimu jika kamu masih mau menutup mulut sampai akhir hayat," lanjutnya.
Napas Loila memburu. Bagaimana dia membuka mulut? Sementara ia sama sekali tidak ada kaitannya dengan kelompok yang tengah dicari oleh si detektif. Apa yang harus ia katakan agar detektif puas? Apa yang harus ia lakukan untuk bebas?
Kembali Loila terbaring meringkuk. "Aku tidak tahu apa-apa. Kenapa tidak ada yang percaya?" ucapnya sedih.
Semalaman dilalui dengan kedinginan, ketika siang panas menguap yang ia rasa. Sebenarnya cuaca seperti apa di luar? Loila mengibas-ngibas tangan saking panasnya. Mendengar ngeri teriakan yang kembali menggema sejak pagi.
Tapi anehnya tidak ada yang datang untuk menginterogasi Loila.
Sehari, dua hari, tiga hari, dan hari-hari selanjutnya sampai dua minggu pun belum ada yang datang--kecuali datang hanya untuk memberi makan. Pun Ben mengabaikan Loila.
Malamnya tahanan di depan bertanya, "Kenapa kamu dibiarkan, ya?"
Loila menggeleng, tidak mengerti juga.
"Aku sudah lama di sini, tahu persis si A tidak pernah memandang seseorang dari segi apa pun. Jika nenek tua ringkih yang ia curigai, maka nenek tua pun ia siksa sejak hari pertama si nenek datang."
Si paman berbadan besar menjepit dagu, dari balik pencahayaan lentera, dia memindai Loila dari atas sampai ke bawah. Loila memang cantik, tetapi tidak mungkin Aciel tertarik. Bermacam perempuan pernah masuk ke sini, dari watak penggoda sampai polos, tidak ada yang membuat proses interogasi mereka tertunda.
"Paman ingin aku disiksa, ya? Aku tidak mau bernasib seperti Paman," tutur Loila.
"Ah? Enggak, aku hanya penasaran saja."
Loila memutar bola mata malas. "Mungkin dia sedang sibuk, atau sudah mati?"
"Kalau dia sudah mati, Ben tidak mungkin juga mengabaikanmu." Paman kembali menimbang, ingin tahu trik apa yang digunakan Loila namun tidak disadari oleh gadis itu.
"Sesibuk apa pun, A tidak pernah meninggalkan sesi interogasi sampai selama ini."
Kembali menatap Loila. "Ayolah coba ingat, Nak. Mungkin kamu punya trik."
Tahanan lain tertarik dalam pembicaraan ini. Mendengar dengan saksama sebab jika mereka tahu triknya, dan mereka bisa melakukan hal yang sama, maka mereka tidak perlu menjerit kesakitan lagi. Lebih enak duduk diam seperti Loila, walaupun kedinginan serta kepanasan di waktu yang berbeda.
Namun posisi Loila tidak seenak itu, berada di ruangan seperti ini membuat kondisi tubuhnya buruk. Makanan tidak mencukupi gizi, daya tahan kian menurun, juga udara sekitar bertaburan debu yang setiap hari Loila hirup.
Malam selanjutnya, tidak lagi ia mengobrol dengan paman di depan. Loila terkapar lemas di lantai dingin yang semakin dingin.
"Ben, gadis itu sakit," tunjuk si paman di sela-sela ia diinterogasi.
Ben tidak peduli, selagi belum ada perintah dari Aciel, dia tidak akan menanggapi apa pun kondisi Loila. Kembali ia melanjutkan pekerjaan sampai matahari terbenam barulah keluar dari ruang bawah tanah.
Di tempat lain, Aciel berada di ruangan favoritnya, memandang jejeran toples bening yang tertata rapi bertingkat-tingkat di dinding. Jumlah toples sebanyak 269, berisi sesuatu yang mengambang dalam air yang sangat Aciel sukai.
"Gadis itu jatuh sakit, mungkin sebentar lagi akan mati." Ben yang berucap, baru datang berdiri menghadap Aciel yang duduk membelakanginya.
"Jika dia mati kita tidak mendapat informasi apa pun."
Aciel masih diam. Jika seperti ini tidak ada yang bisa Ben lakukan, lagian dia cuman memberitahu. Ben kembali keluar, membiarkan Aciel bersama toples-toples bening kesukaannya kencan bisu.
Tapi ....
Ternyata laporan Ben beberapa jam lalu berhasil menggerakkan Aciel menuju sel bawah tanah setelah dua minggu dia tidak pernah datang lagi.
"Aku belum melakukan apa-apa padamu, kenapa sudah ingin mati?" ucap Aciel berdiri angkuh di depan sel pada gadis yang terbaring lemah.
Mata Loila berkedip sayu tidak terlihat di permukaan lantai, tangannya berusaha bergerak lalu menyentuh ujung sepatu hitam Aciel.
"Aku ... tidak mau mati." Terlampau menyedihkan sampai rasanya menyayat hati.
Aciel berjongkok, menarik kasar tubuh Loila untuk duduk menatap langsung dirinya. Loila terpejam meringis sakit, rambut palsunya terlepas oleh sentakan kuat Aciel barusan.
Untuk sesaat Aciel terpana, surai panjang jingga bergelombang milik Loila mendebarkan jantungnya begitu keras. Ia yakin itu warna jingga, lentera tidak dapat menyembunyikan warna itu di mata Aciel.
Tangan Aciel gemetar, menyentuh surai bersama air mata yang jatuh. Sayangnya Loila tidak tahu pria itu tengah menangis, karena kini dia sudah tidak bisa mempertahankan kesadaran.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...