Part 40

137 36 7
                                    

Cahaya matahari tidak tembus ke dalam tempat persembunyian, tidak ada yang tahu malam atau siang jika mereka tidak melihat jam dari ponsel. Loila bangun dari tidurnya, meraba-raba sekitar mencari keberadaan benda pipih. Silau menembus ketika ponsel dihidupkan, mengusap-usap mata menetralkan cahaya.

"03.47, masih malam." Kembali meletakkan ponsel di samping bantal, Loila mencoba tidur lagi. Akan tetapi, dia tidak bisa.

Teringat akan kejadian tadi malam, Loila penasaran; apakah Acil masih berjaga di luar. Penasaran, Loila beranjak untuk mengintip. Pertama, dia membuka pintu kecil untuk mengintip. Tidak ada siapa-siapa di luar. Ketika pintu ia buka lebih lebar, tubuh Acil yang bersandar di pintu jatuh mengenai kakinya.

"Ah, ternyata dia bersandar di pintu. Aku kira dia sudah pergi." Loila berjongkok, menarik sulit tubuh Acil untuk masuk ke dalam kamar. Walau di bawah tanah, cuaca malam ini terasa menusuk. Kasihan Acil. Pertanyaannya, bagaimana dia bisa sepulas ini?

Di lantai, tepatnya di tengah-tengah antara ranjang Loila dan Gress, Loila menuanggah kepala Acil menggunakan bantal plus membentangkan selimut miliknya sendiri. Acil menggeliat, dia tampak lebih nyaman.

Loila merendahkan tubuh, tepat di samping telinga Acil lalu berbisik, "Terima kasih, Acil." Lantas dia kembali naik ke atas kesur, mengambil selimut Gress untuk ia pakai sebab selimutnya ia berikan pada Acil.

Selanjutnya Loila tidak tidur, dia barbaring sembari membaca novel yang semalam mereka beli. Dia menyalahkan lilin, tidak mau menggunakan lampu sebab akan mengganggu Acil.

Sampai pukul tujuh pagi, pintu kamar terbuka. Satu-satunya orang yang memiliki kunci selain Loila adalah Gress. Ya, dia yang datang. Wajah resah, khawatir, merasa bersalah.

"Loila, kamu baik-baik saja?"

Tersenyum tipis, Loila berdiri. Membawa Gress duduk di kasur milik Gressanty sendiri. Loila menyerahkan bingkisan, diterima Gress dengan wajah penasaran.

"Apa ini, Loila?"

"Hadiah plus sogokan permintaan maaf. Gress, maaf. Aku tidak tahu kata-kataku menyakitimu. Padahal kamu sampai rela ikut aku ke sini, tapi aku malah seenaknya."

"Iya aku maafkan. Jangan merendahkan orang lain lagi, ya. Dan ..." Gress melirik lantai, di mana Acil masih terlelap di sana. "Acil semalaman tidur di sini?"

"Baru subuh tadi aku tarik masuk ke dalam. Sebelumnya dia tidur bersandar di depan pintu. Dia menjaku."

"Dia baik juga, ya. Maaf, Loila, gara-gara meninggalkan kamu sendiri, mereka bergerak mengincar kamu. Aku lupa kalau kamu dambaan mereka semua."

"Tahu dari mana aku diincar malam ini?"

"Dengar obrolan orang waktu aku sarapan."

Kemudian Gress membuka bingkisan yang dibungkus berwarna biru kesukaan Gress. Terdiam sebentar, Gress memandang lama hadiah yang ia dapat dari Loila. Semua berupa alat gambar. Air mata hampir menetes, tangannya sampai gemetar mengambil kuas di dalam bingkisan. Sudah lama dia tidak menyentuh benda itu, sebuah hobi yang entah kenapa diabaikan.

"Ini ...." Gress menyeka air mata, menoleh ke Loila yang diam saja duduk di sampingnya. "Terima kasih, Loila."

"Aku penasaran kenapa kamu tidak melukis lagi, Gress? Kamu tidak lupa dengan caranya, 'kan?"

"Mana mungkin. Hanya saja aku sudah tidak memerlukan uang dari lukisan."

Loila menyentuh pundak Gress. "Kamu terlihat lebih menikmati waktu saat melukis. Walau tidak menjual lewat polesan lagi, lakukan lah karena kamu memang suka."

Sepertinya Loila sudah mengerti apa yang harus dilakukan oleh seorang teman, memberi semangat. Hadiah yang ia berikan dengan ketulusan, cukup untuk Gress yang tadinya dalam fase yang merasa hanya dimanfaatkan saja. Ya, walau kenyataannya Loila tidak pernah meminta Gress untuk ikut bersamanya.

Gress mencoba melukis, dia puas dengan barang yang di beli Loila. Tentu saja, benda-benda itu menghabiskan uang Loila. Percobaan pertama, dia menggunakan cat air, mesti menggunakan air. Tak sengaja tetesan air dari kuas Gress yang baru dibasahi mengenai Acil yang tidur di bawah. Pria itu membuka mata pelan, lantas bingung akan keberadaannya sendiri.

Acil duduk, melihat kanan kiri di mana kedua gadis tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Novel dan kuas. Aciel bernapas lega, jika Gress ada di sini, itu artinya mereka berdua sudah berbaikan.

"Loila, ini sudah jam berapa?" tanya Acil langsung mendapat perhatian Loila.

"Jam sembilan."

"Ah, aku kembali ke kamarku dulu. Kamu siap-siaplah, tadi malam Pap-ehem Paman Bisma mengirim pesan tentang barang kita. Aku sudah atur waktunya, jam 11 siang."

"Ok," jawab Loila.

Lalu Acil keluar dari kamar, pergi ke kamarnya sendiri, namun ada Bisma yang duduk di dekat pintu kamarnya.

"Habis tidur di kamar calon istrimu?" singgung Bisma tersenyum lebar, bermimik menggoda.

"Ngapain kamu di sini?" Dengan nada yang terkesan datar, mata Acil menajam.

"Tidak ada, hanya ingin melihat anakku saja. Salah?"

"Pergi, jangan sok dekat denganku."

Acil hendak menerobos masuk ke kamar, tetapi Bisam terlebih dahulu menghadang jalannya. Menciptakan kegeraman Acil, berniat membuat pria tua itu terkapar di lantai. Sayangnya Acil tidak bisa melakukan itu, dia selalu mengatakan jika dia membenci papanya, faktanya dia tidak bisa memukul Bisma. Ada perasaan tidak mengenakan mengganggu hati, anggap saja karena dia sebagian dari Bisma.

Bisma tertawa, Acil selalu lemah terhadapnya. Terbukti, Acil yang tidak mau menangani kasus jika itu berkaitan dengan Bisma.

"Apa salahnya mengobrol dengan papamu sendiri? Aku ini sudah tua, sebentar lagi mati. Biarkan pria tua ini akrab dengan anaknya di sisa napasku."

Acil mengernyit heran. "Apa maksudmu?"

"Maafkan papa, Aciel. Meninggalkanmu adalah penyesalan terbesar papa. Seandainya aku bisa naik ke panggung saat kamu menerima penghargaan terbaik di jenjang pendidikanmu. Sayangnya kriminal tidak punya muka untuk melakukan itu. Kamu anak yang hebat, papa bangga. Jadi ... saat waktunya tiba, papa akan sangat bahagia mati di tanganmu."

Apa maksud perkataan Bisma? Dia berkata seolah akan mati dalam waktu dekat. Acil tahu, Bisma bukanlah tipe orang beromong kosong, setiap perkataannya selalu ada maksud tertentu. Dia orang cerdas, sebelum menjadi kriminal dia adalah seorang polisi yang memiliki pangkat cukup tinggi. Entah apa yang membuat dia memutuskan untuk berbelok arah, lalu meninggalkan keluarganya.

"Kalau kamu memang akan mati, apa permintaan terakhirmu?"

"Bolehkah papa memintanya?"

"Cuih, sana!" Acil mendorong Bisma, pria tua itu hampir jatuh. Namun Acil mengabaikan, menutup pintu dengan kencang.

Sementara Bisma hanya tersenyum tipis saja. Lalu bergumam, "Aku ingin mengobrol denganmu. Ingin mendengar kamu mengeluh. Ingin menjadi orang yang memberimu saran saat dalam keterpurukan. Aku harap, aku bisa."

Bersambung....

Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang