Part 22

215 37 10
                                    

Suara berisik dari luar, Loila meletakkan gelas jus bekas ia minum ke atas meja. Berlari kecil untuk melihat. Kejutan, mobil penuh penyok serta lubang juga beberapa anggota Ben terluka berada di halaman.

Para pelayan berlarian mengambil kotak P3K untuk mengobati luka luar mereka.

"Kenapa kalian terluka, Ben?" tanya Loila pada Ben yang lewat.

Ben merogoh saku, mengangkat amplop hitam berlogo palu emas asli, menjepit di kedua jarinya. Apa itu? Loila tidak tahu. Belum mendapat jawaban, Ben melewati Loila. Lengan kanan Ben berdarah, tapi luka dia paling ringan dibandingkan anggota yang lain. Loila tidak bisa menuntut jawaban dari Ben dalam kondisi ia terluka.

"Nona pancake pisangnya sudah jadi," panggil Yusa di sofa tempat Loila duduk tadi.

"Yusa, kenapa mereka terluka?"

"Tidak tahu. Anda mau saya mencari tahu?"

"Tidak usah, nanti aku tanya ke A saja."

Loila kembali duduk, menikmati pancake pisang dan segelas susu. Dia tidak sabar menunggu Aciel pulang untuk bertanya. Entah ke mana pria itu.

"Sasa."

Loila menoleh ke ambang pintu masuk, satu orang perempuan masuk melangkah pelan. Mata Loila mengikuti sampai dia berada di hadapan Loila. Duduk terdiam, dia menautkan tangannya sembari menunduk menggigit bibir bawah.

"Hai, Dessy," sapa Loila tersenyum tipis.

"Maaf," cicitnya.

Satu suapan kembali masuk ke mulut Loila, menguyah, membiarkan Dessy dalam bungkam. Jujur, jika mengingat hari itu Loila kesal sekali--Dessy yang mendorongnya.

"Aku ... aku tidak sengaja," sambung Dessy setelah tiga menit diam.

Loila meletakkan garpu di atas piring. "Yusa aku sudah selesai." Mendorong piring. Paham akan itu, Yusa mengemas bekas makan Loila untuk dibawa ke dapur.

Tinggallah mereka berdua.

"Kenapa baru datang sekarang? Aku kira kamu kabur."

"Aku tidak kabur, hanya saja aku takut datang sebab A."

"A kenapa?"

"Dia akan membunuhku. Aku berani datang ke sini karena aku dengar kamu sudah sembuh. Kemarahan A juga pasti sudah mereda."

Mata menyipit, tidak percaya dengan omongan Dessy. Kenapa pula A semarah itu hanya demi gadis asing yang ia culik? Tidak dapat dipercaya. Siapa yang akan percaya?

"Jangan bohong, tidak mungkin A akan membunuhmu karena aku." Loila tersenyum namun terkesan sinis.

Dessy berdiri. "Kamu tunggu di sini, aku akan panggil Ben. Dia menjadi bukti-"

"Bukti apa?"

Dessy membatu, A berada di dekat anak tangga. Pelan-pelan dia melangkah sangat kecil, bersembunyi di belakang sofa Loila. "Tolong lindungi aku," bisik Dessy.

Loila tetap duduk, menoleh ke belakang dan ke depan secara bergantian. Dia masih belum paham dengan situasi.

Tapi bukan Loila yang akan menyelamatkan Dessy, melainkan Ben. Kamar pria itu memang di lantai satu, jadi bukan hal yang aneh jika tiba-tiba dia ikut masuk dalam kumpulan.

Dia melewati Aciel, menarik tangan Dessy untuk ikut bersamanya. "Bantu aku obati luka." Itu alasannya.

Membiarkan mereka pergi, Aciel duduk di samping Loila.

"Apa benar perkataan Dessy, A?"

"Tentang apa?"

"Kamu akan membunuhnya."

"Karena apa aku membunuhnya?"

Loila manyun, tidak mungkin dia dengan pede mengatakan A marah karena dirinya terluka. Jika tidak benar, akan membuat malu saja.

Tak.

A menjentik jidat Loila. Loila terkejut, tapi Aciel yang menjentik juga terkejut. Dia melakukan apa yang ia lakukan pada gadis kecil yang ia pungut dulu. Ah, Aciel tidak pernah menjentik jidat orang lain selain Loila selama hidupnya. Dan sekarang?

"A-apa yang kamu lakukan?"

"Aku ... aku tidak tahu."

"Kenapa telingamu jadi merah seperti itu?"

"Pipimu yang memerah, bukan telingaku."

Lalu mereka sama-sama membuang muka.

Astaga, hanya jentikkan di jidat. Kenapa mereka sama-sama memerah seperti itu? Itulah dipikirkan pelayan yang mengintip majikan mereka untuk bahan gosip nanti.

"Ka-kamu dari mana? Aku tidak melihatmu sejak tadi." Masih dalam keadaan canggung.

"Di sel bawah tanah."

Oh, iya. Penjara itu pintu masuknya memang dari lantai dua. Pantas saja Aciel muncul menuruni anak tangga, bukan dari pintu keluar.

***

Bunga matahari sudah tumbuh tinggi, kelopaknya mekar indah di siang yang cerah ini. Berkat Aciel, Loila lebih mencintai bunga matahari dibandingkan bunga-bunga lain. Ia petik satu batang, tangannya gatal untuk menggaruk biji-biji di tengah bunga itu.

Mereka sudah tua, sepertinya harus menanam benih lagi.

Loila mendengar suara langkah kaki, ia menoleh. Senyum terbit, langkahnya langsung menuju Aciel yang berada di samping mobil.

"A, kamu mau ke mana?"

"Mau ke Bank."

"Lama? Mau membantu aku menanam benih nanti?"

Tiba-tiba Aciel menarik tangan Loila, mendorongnya masuk ke dalam mobil. Loila takut, hendak keluar tapi pintu telah dikunci.

"A aku mau keluar, buka pintunya."

"Kamu tidak mau ikut?"

"Tidak mau! Aku di rumah saja." Loila takut dia diantar pulang. Tidak boleh! Rumah A adalah tempat teraman untuk dia bersembunyi, Loila sudah terlampau nyaman. Biar saja dibilang enggak tahu diri.

Aciel menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. "Apa yang kamu takutkan, Sasa?"

"Aku tidak mau pulang!" Loila keceplosan, langsung menutup mulut.

Sebelah alis Aciel terangkat, lantas dia tertawa renyah. "Akhirnya mengaku. Kamu kabur dari rumah, ya?"

Menunduk dan mulai menjatuhkan air mata, Loila meremas batang bunga matahari yang ia pegang, bahunya terangkat samar sebab dia menahan suara tangis.

"Aku sudah sembuh, tapi aku tidak mau pulang. Kamu tidak keberatan 'kan aku tinggal di sini?" Suaranya gemetar.

Tadinya Aciel tidak mau menyinggung tentang kepulangan Loila, sebelumnya tidak ada yang membahas itu juga. Ingin marah rasanya. Padahal Aciel berusaha melupakan bahwa Loila bukan siapa-siapa yang wajar saja ia tampung. Dia gadis asing. Kenapa Loila membahas pulang? Aciel bukan ingin mengantar Loila pulang, memang benar dia ingin ke bank.

Jika sudah seperti ini, patut dicurigai jikalau Aciel menghindari pembahasan. Loila, hanya gadis itu yang dianggap spesial. Gadis lain tidak mungkin, termasuk gadis asing ini.

"Mau sampai kapan kamu tinggal di sini?"

"Aku tidak tahu."

"Apa kamu merasa spesial?"

"Ti-tidak."

"Memang harus tidak. Ingat, kamu hanya gadis yang mendapat hormat dariku. Baiklah, kamu boleh tinggal lebih lama, anggap saja sebagai kompensasi yang aku janjikan. Rasa bersalah."

Loila mengangguk setuju. "Terima kasih. Aku menerima kompensasinya." Barulah dia mendongak, melempar senyum setulus mungkin.

"Ingat rasa bersalah, bukan hal lain." Tatapan Aciel menuntut agar Loila mengerti, dia tidak ingin ada kesalah pahaman.

"Iya rasa bersalah. Memang rasa apa lagi?"

Bersambung....
















Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang