Gress dan Jino baru selesai mengantar barang di titik terakhir, memakai sepeda masing-masing mereka menggayuh santai beriringan. Telinga Gress panas mendengar gombalan Jino, walau jamet tapi mulutnya sangat manis.
"Diam, Jino! Aku bisa jatuh mendengar gombalan buayamu. Jijik tahu!"
"Aku tidak sedang menggombal. Kamu cantik, setia kawan, pemberani, perhatian, ceria. Wajar kalau aku jatuh cinta."
"Cantik? Wajahku jerawatan seperti ini kamu bilang cantik? Jangan mengejekku Jino. Semua orang tahu kalau aku jelek juga pendek."
Jino meraih setang sepeda Gress--mengerem--mereka berhenti bersama-sama. Tepat dekat bangku umum di sebelah vending machine Jino menatap lekat mata Gress yang mendadak sedih kalau bicara soal tampang.
"Mau minum?" tawar Jino.
Gress mengangguk. Turun dari sepeda, duduk di bangku yang ada. Sekaleng minuman soda Jino sodorkan, lantas ikut duduk di samping Gress. Menenggak sampai tandas, kemudian Jino bersandar di bangku dengan telangan yang telentang di belakang punggung Gress.
"Kecantikan itu banyak jenisnya, bukan soal tampang saja. Kamu sempurna, Gress. Punya tangan, kaki, penglihatan, pendengaran, komunikasi, indra penyecap. Berhentilah insecure soal tampang. Menurutku kamu cantik, lebih cantik dari pada Loila."
Gress menoleh ke samping. "Lebih cantik dari Loila?"
"Memangnya apa yang kurang dari Loila?"
"Gadis itu hanya memikirkan dirinya sendiri, masalahnya sendiri, dan kepentingan dia sendiri. Padahal ada kamu yang rela meninggalkan keluarga demi dia. Pernahkah dia bertanya tentang kabar orang tuamu? Atau tentang kondisimu sajalah. Mengucapkan terima kasih saja aku rasa tidak."
"Jangan begitu. Loila itu temanku, dia baik, kok."
"Benarkah? Menurutku dia teman yang tidak pengertian. Padahal kamu punya masalah insecure, tapi dia malah sering mengejek jerawatmu."
Gress menunduk. "Dia cuman bercanda."
"Bercanda itu kalau dua belah pihak merasa lucu."
"Hentikan, Jino. Jangan menjelekan Loila."
Tiba-tiba Jino duduk tegap, meraih kedua tangan Gress dan menggenggamnya. "Itulah kenapa aku jatuh cinta padamu, Gress. Aku suka kepribadianmu. Tolong terimalah cintaku."
Di perlakukan seperti ini ternyata mendebarkan jantung Gress, dia membuang muka ke arah lain namun tidak menarik tangan dari genggaman Jino. Tidak sengaja Gress melihat cowok dikroyok dua orang. Cowok itu meringkuk di atas tanah, dengan tubuh yang ditendang-tendang. Sontak Gress berdiri, berlari cepat menghampiri untuk menolong.
"Apa-apaan kalian?!" Dia mendorong dua cowok: yang satu tinggi yang satu 15 centi di bawah yang tinggi. Bergaya preman, eyeliner tebal, celana koyak-koyak--sepeti gaya Jino--rambut membentuk punuk unta di atas.
"Hah? Siapa cewek pendek ini?" ucap yang lebih rendah, berekspresi sok keren dengan tangan yang dikantongi di saku celananya yang agak melorot.
"Kalian kenapa pukul dia!" Gress menggertak. Mencoba berekspresi seram namun dua cowok gaya sama dengan Jino itu malah tertawa remeh. Sadar tidak akan menang, Gress berjongkok membantu si culun bercelana tinggi, baju dimasukkan, rambut batok kelapa, kaca mata bulat berbingkai tebal. Dan ... bedak dingin cemong? Gress kaget dengan penampilannya. "Pantas saja kamu dibully."
"Benarkan? Wajah dia nyebelin banget, ahahah." Dua orang jamet itu tertawa. Sebenarnya dua orang itu ganteng, hanya saja penampilannya bikin sakit mata. Kalau si culun ... entahlah, tidak bisa melihat wajah dia di balik bedak bayi basah yang tebal itu.
"Pergilah kamu cewek, kamu belum selesai dengan dia."
Gress berdiri. "Apa yang belum selesai?"
Yang tinggi mendorong Gress hingga jatuh tepat di samping si culun. "Kenapa kami harus memberi tahu kamu." Mereka ingin menginjak Gress, tetapi lebih dulu Jino datang menahan kaki itu dengan kakinya sendiri.
"Siapa jamet ini?" kata si pendek tertawa meliat Jino. Dia kegelian sampai memegang perutnya sendiri.
Dalam hati Gress berkata, kalian juga jamet. Enggak sadar apa? Renyah banget ketawa dia.
Si tinggi dan Jino saling tatap-tatapan tajam, seperti kucing yang ingin baku hantam. Tetapi, si tinggi membuang napas lantas berbalik. "Ayo kita pergi saja. Kita sudah dapat barangnya juga."
Karena dua jamet itu sudah pergi, Jino beralih perhatian pada Gress yang membantu si culun berdiri. Kasihan, si culun bajunya kotor dan terdapat memar di bagian betisnya.
"Terima kasih," ucap si culun.
"Kamu kenapa diganggu mereka?" Gress bertanya.
"Aku ... eng ... aku akan jujur jika kalian tidak membocorkan rahasiaku, juga mencarikan tempat aman untuk tinggal. Aku akan selalu diincar oleh mereka. Aku anak yang diusir dari rumah, tidak punya tempat tinggal yang aman lagi untuk pekerjaanku ini."
Bikin penasaran saja. Gress dan Jino saling tatap, kemudian sama-sama mengangguk. Mereka ingin tahu rahasia si culun. Kalau mereka tidak bisa membantu, ya tinggal kabur saja.
"Baiklah, kami setuju."
Si culun mendekatkan diri di belakang mereka berdua. Beralih posisi ke belakang tubuh Gress dan Jino, dia berbisik, "Aku pengedar obat terlarang, mereka datang meminta barang tapi enggak mau bayar."
Sama-sama membulat mata mereka yang mendengar. Tapi sepertinya mereka bisa membantu. Kelompok biasa menerima mereka orang yang bermasalah terlebih orang yang tidak punya tempat kembali.
"Mau bergabung ke dalam kelompok penyalur, enggak?" tawar Jino.
"Kelompok penyalur? Kalian berdua ...."
"Iya, kamu berdua dari kelompok penyalur. Kalian pengedar di kota ini, mendapat barang dari kami."
"Mau! Aku mau. Kalian pasti punya markas sendiri. Pasti jauh dari pecandu yang menalak, 'kan?" Mata si culun berbinar, dia senang sekali.
"Tentu saja. Kami tidak berurusan dengan orang-orang kecil seperti itu. Biasanya kami menitipkan, bukan memperlihatkan wajah secara langsung." Jino merangkul si culun yang ternyata tingginya menyamai si jamet pembully tadi. "Siapa namamu?"
"Acil."
"Acil? Hahaha. Ok, Acil, ayo kita meminta persetujuan terlebih dahulu pada petinggi."
***
Rambut di cuci menggunakan air mineral botol, menghapus eyeliner tebal memandang cermin tertawa akan penampilan sendiri. Rambut yang bagai panuk unta telah di sisir jatuh ke jidat. Tetesan air bekas mencuci rambut, berjatuhan ke aspal.
"Diam, Mezi! Aduh bagaimana ini? Tinta hitam ini sulit dibersihkan. Kita tidak bisa pulang dalam keadaan ini," keluh Ben yang sejak tadi menggosok-gosok mata.
"Tapi untung juga iya, 'kan? Kapan lagi kita bisa mukul A? Kamu lihat penampilan A. Ahahah, perutku sakit menahan tawa. Bedak dia tebal banget. Rambut dia ...." Mezi terduduk memegang perut dengan tawa yang pecah. Memukul-mukul aspal tidak memedulikan orang-orang yang menganggap mereka aneh.
Ben juga tertawa kecil, dia memang tipe yang cool. Tapi penampilan Aciel dalam penyamaran memang patut ditertawakan. Jauh sekali dari penampilan Aciel yang biasa bergaya keren, plus headband, bersama poni belah tengahnya.
"Dia rela seperti itu demi ber main-main dengan kekasih hatinya," gumam Ben.
"Dari Aciel menjadi Acil. Untung kita cuman jadi perantara saja," sambung Mezi.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...