Part 35

159 33 8
                                    

Melirik sana-sini, Acil dibuat kagum oleh tempat persembunyian kelompok kriminal ini. Sebelumnya dia hanya menduga jika di dalam tembok memiliki akses berupa jalan, siapa yang sangka bahwa di dalam banyak cabang dan tangga turunan menuju ruangan yang lebih luas? Benar kata Mezi, seperti labirin.

Berarti kelompok ini memiliki kaitan dengan emas palsu yang berlabuh waktu itu. Binggo, niatnya bertemu Loila malah mendapat informasi sebanyak ini.

"Tempat ini sistemnya bagaimana? Sangat menakjubkan," puji Acil memancing.

Sebagai yang jauh lebih senior, Jino menjawab, "Tembok adalah akses jalan, lihat tangga-tangga itu? Itu adalah akses menuju ruang bawah tanah. Tepatnya di masing-masing bawah rumah yang ada di luar."

Acil mengikuti setiap telunjuk Jino, mencermati, menjadi pendengar yang memastikan tidak melewatkan apa pun. Matanya masih lirik sana-sini, jalan yang cukup lebar untuk berjalan kaki, serta orang-orang yang berlalu lalang dengan emosi yang berbeda-beda. Ada yang saling sapa dan ada yang saling mengabaikan. Interaksi yang normal, tidak ada yang merasa tertekan tinggal di dalam sini. Pemimpin mereka pasti tidak memperlakukan buruk.

"Jadi ... apa di rumah luar sana ada akses menuju bawah tanah juga?"

"Tidak ada, hanya melalui dalam tembok ini saja."

"Jino, kamu antar dia sendirian aja, ya. Aku mau istirahat," pamit Gress, turun tangga di samping sebelah kanan mereka.

"Iya, istirahatlah."

Acil berhenti, menatap ke bawah tepat di tangga tempat Gress turun. Sepanjang jalan ada lampu, pun berjejer rapi di dinding dekat anakan tangga. Acil masih bisa melihat tanpa terhalang gelap.

"Kenapa?" tanya Jino.

Masih terpaku pada tempat hilangnya Gress. "Kita akan tinggal di sini. Apa kamar semua orang berada di tempat yang sama?"

Jino mengernyit, aura Acil berbeda dengan orang yang menjadi korban pemalakan tadi. Lebih tajam, bahkan tampak sangat dominan. Tidak seperti pria lemah, bodoh, dan ceroboh. Sejak masuk ke kawasan pun ekspresinya telah berubah. Meneliti, hal yang biasa tidak dilirik oleh orang baru, malah dilirik lama olehnya. Seperti penjemur pakaian di teras lantai dua salah satu rumah, jendela berdebu, tong sampah, dan ... got kering.

"Acil, kamu bukan mata-mata, 'kan?"

Acil menelengkan kepala, lalu terkekeh canggung. "Aku memang seperti ini jika di tempat baru, apalagi tempatnya unik. Pasti kamu mencurigaiku kerena banyak memindai, 'kan?"

"Iya. Lirikanmu lebih tajam dari pada sekedar mengagumi."

"Iya, karena aku takut kalian menipuku. Bagaimana jika kalian ini permbunuh? Aku hanya waspada."

Menik Jino menyipit lama, saling diam-diaman sampai Jino berbalik badan. Tak mengucapkan apa pun lagi, Jino memipin jalan menuju petinggi yang mengurus anggota baru juga perencanaan yaitu Paman Bisma. Turun di tangga ruang bawah tanah ke lima dari tempat turun Gress tadi, jalannya agak sempit di sini. Yang berat badan melebihi 80 kg mungkin akan tersangkut. Penurunan pun lebih dalam, lampu lebih redup.

"Kenapa ruangan di sini berbeda?"

"Ini tempat para petinggi."

"Melihat jalan yang sempit, aku yakin petinggi kalian tidak ada yang beratnya 80 kg."

"Benar, paling besar beratnya 73, bukan lemak tapi otot. Namanya Coko, dia orang yang paling kuat di sini." Jino menoleh ke belakang, lantas menyunggingkan senyum remeh. "Sekali lihat kamu pasti langsung takut sama dia."

"Coko? Badan berotot?" Acil menjepit dagu, mengingat-ingat pernah mendengar nama itu.

Setiba di ujung tangga, ruangannya ternyata luas, terdapat banyak pintu di sisi kanan dan kiri. Jino membuka pintu kedua di sebelah kiri, tempat Bisma berada. Tanpa mengetuk pintu. Jelaskan? Hubungan bawahan dan atasan ternyata tidak beda jauh di sini. Pantas saja mereka nyaman.

"Paman."

"Hmm?" Pria yang duduk di atas peti sambil mengupas kulit mangga menyahut tanpa menoleh.

Sementara manik Acil untuk sekejap membulat, kemudian kembali memasang wajah pria culun yang pemalu dan terlihat mudah dijadikan babu.

Aku tidak mau berurusan dengan dia. Tetapi sepertinya tidak bisa dihindari. Sialan! Aku tidak pernah mencari dia, ternyata ada di sini. Dan ....

Acil melihat peti-peti yang ada di dalam kamar ini, termasuk yang dijadikan tempat duduk oleh Bisma. Peti yang sama dengan peti yang ditangkap lebih dari sebulan lalu, di dalam speed boat.

Tidak hanya narkotika. Mungkin mereka menjual banyak hal. Manusia, emas, dan selanjutnya apa lagi?

"Ada yang mau masuk jadi anggota, dia tidak punya tempat pulang plus pengedar sebelumnya."

Tangan Bisma berhenti menyayat kulit mangga, dia menoleh ke arah pintu. Memandang lama pria yang lebih tinggi dari Jino. Dia merasa aneh. Memang ada, ya, orang setinggi itu berpenampilan cemong bedak bayi? Berkedip-kedip cepat, Bisma menelengkan kepala. Memindai dari atas sampai ke bawah penampilan orang bergaya rambut seperti tempurung kelapa.

"Jino kamu pergilah. Aku akan bicara berdua dengan dia."

"Ok, Paman."

Jino pergi. Bisma menunjuk sebuah kursi kayu dengan menggerakkan dagunya. Paham, Acil duduk.

Pertanyaan pertama Bisma adalah, "Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?" Pertanyaan umum, namun segan diutarakan pada orang yang baru ditemui. Yang mendengar pasti akan mengira Bisma tengah menghina, namun kenyataannya itu pertanyaan bentuk kecurigaan Bisma.

Acil tertawa ringan, dia membuang ekspresi culunnya. "Aku pengedar, Paman. Ini adalah penampilanku dalam bentuk penyamaran. Aku memiliki sisi pengecut, takut pembeliku berkhianat. Anggap saja ini sebagai pelindungan diri. Jika penampilanku yang ini sudah diketahui polisi, aku akan mengganti gaya lagi." Aciel berucap dengan tenang. Pun hal itu dapat diterima oleh logika Bisma.

"Masuk akal. Siapa namamu?"

"Acil."

"Nama asli?"

"Palsu."

"Denganku kamu juga mau menyembunyikan identitas?"

"Aku tidak percaya siapa pun bahkan diriku sendiri. Aku harap Paman mengerti, aku memiliki masalah dalam mempercayai."

Gantian Bisma yang tertawa. "Kamu orang yang menarik. Aku yakin otakmu tidaklah kecil. Acil, mirip dengan nama anakku, hanya kurang huruf E."

"Acile?"

"Bukan."

"Eacil?"

"Juga bukan."

"Aceil?"

"Hahaha, hentikan. Aku tidak sanggup melihat buliran bedakmu berjatuhan."

Acil membuka tasnya, mengambil bedak bayi lalu menumpahkan sedikit di telapak tangan. Di atas meja ada segelas air, Acil menumpahkan sedikit ke bedaknya, lalu di aduk-aduk membentuk adonan bakwan. Menghadap cermin di sebuah lemari, Acil menambal bedaknya yang terlihat kurang.

Kalian harus tahu, Bisma yang melihat penambalan itu tertawa terbahak-bahak. Menurut dia itu lucu. Ketika Acil menoleh ke arahnya, Bisma sampai ingin jatuh oleh tawa.

"Apa aku diterima?" tanya Acil.

Bisma mengatur napas, menghentikan tawa. "Ok, aku akan tempatkan kamu di kamar sebelah Jino. Sendiri."

"Kamu sangat pengertian, Paman."

"Jino. Paman tahu kamu masih diluar. Antar Acil ke kamarnya."

Ya, sejak tadi Jino menguping. Dari situ akhirnya Jino mengerti kenapa Acil tidak seperti orang culun pada umumnya.

Bersambung....

Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang