Part 02

313 39 1
                                    

Kota adalah hal baru bagi Loila, dari keca mobil dia menatap kagum aktifitas manusia yang beragam, jauh lebih ramai dari pada di pulau. Gedung, kendaraan, jalanan mulus, ornamen, gaya berpakaian, dan masih banyak lagi. Mengagumkan, ternyata cerita kepala suku tentang peradaban manusia yang maju bukanlah hayalan.

Dulu Loila hanya melihat gambarnya saja, dari foto yang diperlihatkan oleh guru di sekolah. Ya, mereka memiliki sekolah di pulau. Pada awalnya, orang pulau tinggal di kota, lantas mengasingkan diri setelah sadar mata mereka mahal di pelelangan.

"Aciel, tempat ini keren." Mata Loila berbinar.

Cantik. Satu yang Aciel sadari, warna jingga tampak lebih terang ketika pemiliknya dalam suasana hati baik. Aciel menyukai mata Loila, tapi bukan untuk dicabut. Menikmati warna mata itu dari sisi gadis dengan hati senang, sepertinya Aciel ingin terus melihat warnanya.

"Benarkah? Aku akan membawamu jalan-jalan nanti. Kamu pasti suka."

Mobil berhenti di rumah sederhana dekat sungai jernih. Suasananya lebih adem, pohon tersusun rapi di sepanjang tepian sungai. Rata-rata rumah di sekitarnya adalah rumah sederhana bergaya klasik eropa. Distrik yang tenang, tidak seperti di pusat kota.

"Sudah, ya. Kalian jaga diri baik-baik," ucap polisi sebelum pergi.

Aciel menggenggam tangan Loila, membawanya masuk bersama. Tidak ada siapa pun di dalam, Loila celingak-celinguk memperhatikan interior rumah.

"Tidak perlu sungkan. Aku tinggal sendiri, dan sekarang berdua bersamamu."

Kemudian Aciel membawa Loila ke dapur, membuka kulkas lalu memberikan minuman kotak dingin.

"Aciel, mendengar kau diusir, aku kira kamu tidak punya apa-apa. Seperti aku."

Ekpresi Aciel kendur. Lantas dia duduk di kursi meja makan. "Ini rumah orang tuaku sebelum bercerai. Papa mengkhianati Mama, dia selingkuh dengan gadis SMA. Mama sakit hati, dia banyak menangis. Tetapi setelah bertemu Paman Anton, luka Mama terobati."

"Paman Anton?"

"Papa tiriku, dialah yang telah memisahkan aku dari Mama."

"Berarti dia orang jahat?"

Aciel menggelengkan kepala, ini percakapan berat untuk seukuran anak berusia 8 dan 10 tahun. Mau bagaimana lagi? Mereka harus dewasa karena keadaan.

"Paman Anton adalah PNS, gajinya hanya sebatas UMR. Tapi aku selalu membuat masalah yang membuat dia harus mengeluarkan uang."

PNS? UMR? Loila tidak mengerti. Namun dia tetap mencermati cerita Aciel.

"Paman sangat marah, akhirnya dia mengusir aku. Mama tidak bisa apa-apa selain menangis, dia juga bergantung hidup dengan Paman Anton. Tetapi dia datang sebulan sekali, memberikan aku sedikit uang untuk makan."

Loila mengangguk-angguk. Beberapa kata tidak dapat ia cerna, namun intinya dapat ia tangkap. Eh, tunggu! Jika Aciel aja kekurangan, berarti kehadiran Loila akan semakin membuat Aciel kesulitan.

Mengerti ekspresi cemas Loila, Aciel berdiri. Dia merebut minuman kotak Loila lalu membantu untuk membukanya.

"Minumlah dulu, biar otakmu sejuk." Dia kembali menyodorkan kotak, kali ini Loila langsung minum. Waw, enak sekali. Rasa yang belum pernah Loila rasakan sebelumnya.

"Ini enak."

Aciel mengangguk-angguk setuju, itu adalah susu kotak rasa kacang hijau. Dia membelinya seminggu yang lalu, bersama isi kulkas yang lain.

"Soal kebutuhan kamu jangan khawatir. Kamu ingat aku ini apa?" Dia berkacak pinggang, memperlihatkan wajah sombong.

"Apa?"

Bahu Aciel melemas, menatap Loila dengan mata yang redup.

"Detektif, Loila."

"Oh, ah, iya, detektif. Terus?"

"Aku membuka jasa mengerjakan PR, pelangganku ada banyak. Juga kadang jika aku mengikuti polisi, ikut memberi pendapat pada mereka, aku mendapatkan uang. Atau ada yang langsung datang padaku, meminta mencari peliharaan yang hilang. Penghasilan yang lumayan."

"Wah."

"Mengandalkan uang yang diberi Mama saja mana cukup. Listrik, air, keperluan sekolah juga banyak."

Di tengah pembicaraan mereka, bel rumah menganggu. Tanpa disuruh masuk, tamu masuk dengan sendirinya.

Seorang wanita yang masih terlihat muda yang datang, dia adalah Raina, mamanya Aciel. Raina tersenyum tipis pada gadis yang baru pertama kali ia lihat, ia pikir si gadis kecil adalah teman Aciel dari sekolah.

"Halo, siapa gadis cantik ini?" Raina membungkukkan diri untuk melihat Loila lebih dekat. "Oh, astaga. Matamu itu asli?"

Loila mengangguk.

"Rambutmu juga?"

"Iya, sudah seperti ini sejak lahir."

"Cantik sekali. Aciel, kamu pandai memilih teman, ya. Atau jangan-jangan ...." Raina membuat ekpresi untuk menggoda Aciel. Namun anaknya malah tidak terusik sama sekali.

"Dia Loila, dia akan tinggal bersamaku di sini."

Senyum Raina luntur, dia kemudian menarik Aciel ke kamar untuk bicara empat mata saja. Dengan suara berbisik dia berkata, "Apa yang barusan kaukatakan? Anak siapa itu?" Dari nada suaranya, Raina tampak tidak setuju. Kedua tangannya berada di bahu Aciel, mengguncang tubuh si pria kecil.

"Dia sebatang kara, Ma."

"Terus kenapa kalau sebatang kara? Apa kau akan memungut semua anak sebatang kara di jalanan? Mama saja kesulitan menyisipkan uang untukmu, Aciel. Mau bagaimana cara kamu memberi dia makan sementara kamu saja sulit?"

Aciel menyingkirkan tangan Raina dari bahunya, berbalik badan untuk kembali ke Loila. Namun sebelum dia memutar knop pintu, Aciel berkata, "Lampu di rumah ini masih menyala, sekolahku lancar, gas dan air di rumah selalu ada. Apa Mama pikir, uang yang Mama berikan cukup untuk itu?"

Tinggalah Raina terdiam di kamar. Ya, dia tahu uang yang ia berikan hanya membantu sedikit, sangat sedikit malah. Sebagai seorang ibu dia tahu, jika dirinya bukanlah orang tua yang baik. Tetapi dia tidak ingin Aciel lebih susah dari ini, dengan menampung gadis kecil asing.

Apa berhak dia melarang Aciel? Dia adalah wanita yang memilih suami dari pada anak. Aciel terlantarkan, sementara dia hanya berkunjung sebulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak berkunjung.

Raina mengintip interaksi dua anak itu dari celah pintu. "Aciel menyukai gadis itu, ya?" pikir Raina.

Raina memutuskan keluar dari kamar, kembali berhadapan dengan anak-anak. Dia memasang senyum, menyembunyikan rasa hati yang dongkol melihat Loila meminum susu kacang hijau.

"Mama pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik," pamitnya.

Kotak susu kacang mendarat di meja, manik Loila berubah sendu.

"Ada apa?" tanya Aciel.

"Mamamu tidak suka aku tinggal di sini, kan?"

"Abaikan saja dia. Rumah ini atas nama Papa, dia tidak punya hak atas siapa pun yang tinggal di sini," ucapnya dengan santai.

Entah apa yang ia rasakan, sedih bercampur kecewa. Namun berusaha biasa saja, karena ia pikir akhirnya Mama tidak menangis lagi. Karena itu, biarkan Aciel memilih jalan yang ingin ia tapak, sebagai imbalan ia mengikhlaskan dirinya yang terlantar.

Bersambung....


























Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang