Part 27

182 42 10
                                    

Bertahun-tahun lalu, tepatnya pada enam bulan setelah Loila pindah kota. Aciel belajar dengan giat, sering diajak oleh polisi jikalau ada kasus. Hari-harinya ia habiskan demi menggapai masa depan yang ia impikan. Menjadi seorang detektif hebat seperti kakeknya, dan menjemput Loila dengan wajah bangga.

Sore hari, ketika dia baru pulang entah dari mana, dia melihat Bahri berada di depan rumah. Mata Bahri bengkak, duduk di atas motor dengan tatapan sedih. Menoleh ke arah Aciel, Bahri menggigit bibir kesulitan untuk berkata.

"Ada apa?" Aciel melewati, duduk di teras berhadapan dengan Bahri langsung.

Tangan Bahri gemetar, berkali-kali dia menarik napas mencoba menenangkan diri. "Loila ...."

"Loila?" Mengernyit, Aciel tidak suka dengan ekspresi Bahri sekarang. Melihatnya begitu, siapa pun tahu bahwa kabar yang ia bawa pasti bukanlah hal yang bagus.

"Loila meninggal."

Jatuh semua barang bawaan Aciel terlepas dari tangan. "Ja-jangan bercanda."

"Kecelakaan ketika pulang dari sekolah hari ini. Pemakamannya besok pagi, aku ke sini menjemputmu untuk ikut ngelayat."

Langit seakan runtuh, menimpa Aciel dalam keputusasaan. Ingin tidak percaya, tapi dia berhadapan dengan mayat itu. Mayat yang tidak dapat Aciel lihat wajahnya, sebab apa? Sebab kondisi mayat yang rusak parah, hancur terpisah-pisah dibungkus ala kadarnya yang penting bagian tubuh masuk ke dalam kain. Hanya rambut jingganya yang masih layak dipandang.

Aciel, Darman, dan Bahri ikut mengangkat keranda, juga memasukkan mayat ke dalam lubang. Bagaimana Aciel tidak percaya? Dia ikut langsung dalam upacara pemakaman. Setelah semua orang telah pergi, tinggal Aciel dan Bahri yang tinggal. Aciel kotor dengan lumpur duduk di tanah, tatapan hampa, air mata terus mengalir.

"Aciel, kamu harus sabar. Tidak ada Loila pun kamu tidak boleh membuang mimpimu. Jadilah detektif hebat, Loila akan bangga melihatmu di sana."

"Tinggalkan aku sendiri," lirih Aciel.

Sejak hari itu Aciel terus mengunjungi makam walaupun berbeda kota, setidaknya dalam setahun bisa 7-10 kali. Aciel selalu menyempatkan diri untuk bicara dengan orang yang ia kira Loila. Bercerita dan menangis, dia sangat betah sampai malam tiba pun dia tetap duduk di makam. Begitulah dia tidak pernah bisa melupakan Loila.

***

Jeritan wanita menangis mencoba menahan pria yang tengah memukul suaminya. Babak belur, darah mengalir dari hidung dan mulut. Dia takut suaminya mati, tapi tenaganya terlalu lemah untuk melerai perkelahian laki-laki.

"Aku mohon hentikan, A! Jangan pukul Bahri lagi!"

Si wanita tersungkur pingsan, oleh kibasan tangan Aciel yang risi akan tindakan wanita itu yang kembali ingin menahan tangannya.

Bahri yang melihat istrinya pingsan tidak dapat membantu, tubuhnya di apit Aciel di lantai sementara dia terkapar tidak mampu melawan lagi.

"A," lirih Bahri bermata sayu.

Tiba-tiba Aciel menghentikan pukulannya. Napas terengah-engah, mata basah saking kecewanya dia pada Bahri yang telah berbohong sesuatu yang penting bagi Aciel.

Turun dari tubuh Bahri, Aciel duduk melempar diri ke sofa. Ia mendongak ke langit-langit, menenangkan diri yang jika tidak dia hentikan akan melayangkan nyawa Bahri.

"Katakan." Aciel berbaring, meletakkan tangan di kepala sebagai bantal.

Tentu sulit bagi Bahri untuk bicara dalam keadaan seperti ini. Tadi, Aciel datang-datang langsung menyerangnya tanpa memberi penjelasan kenapa dia marah. Tak perlu dijelaskan, satu-satunya hal yang bisa membuat Aciel kesetanan adalah jika berkaitan dengan Loila.

Terbatuk darah, Bahri berusaha membuka suara. "Aku menghamili gadis yang merupakan teman kelasku, aku memperkosa dia. Aku butuh papaku untuk menyelesaikan masalah itu, aku tidak ingin menikahi gadis itu. Maaf, A. Papa memberi syarat baru dia mau membantuku, dengan menipumu, mengorbankan kisahmu dengan Loila."

Tangan Aciel gemetar, geram akan penjelasan Bahri. "Siapa yang meninggal waktu itu?"

"Adik kandungku yang hilang. Sebelum mengadopsi Loila, orang tuaku ada bilang, 'kan? Tentang putri mereka yang hilang berambut sama seperti Loila."

"Kalian mengorbankan keluarga kalian untuk menipuku?!"

"Tidak. Kami ingin menipumu dengan cara lain. Tidak disangka bertepatan pada hari perencanaan, polisi datang ke rumah mengabari tentang adikku yang hilang mengalami kecelakaan dilindas truk. Selanjutnya kamu tahu apa yang terjadi."

Sekali lagi Bahri terbatuk darah. "Polisi yang melapor adalah polisi yang dulu bertugas mencari adikku."

Pantas saja Aciel tidak merasakan bahan cat rambut di mayat dulu, semakin meyakinkan dia si mayat memang benar Loila. Terlebih ekspresi keluarga Darman tidak dibuat-buat. Mereka menangisi anak kandung mereka, bukan Loila si anak angkat.

Apa tidak terlalu kejam memberi nama di pemakaman dengan nama Loila? Demi menipu Aciel mereka sampai melakukan hal itu.

"Kalian keluarga keji. Lihat saja, kemakmuran keluarga kalian sebentar lagi akan runtuh."

Aciel beranjak. Di sini tidak ada Loila, dia akan pergi ke rumah Darman di kota sebelah, untuk menyapa pria itu. Bahri yang terkapar sudah tidak mampu bicara, percuman bertanya pada dia di mana Loila berada sekarang. Oh, pasti Bahri juga tidak tahu. Dari Dava yang datang ke rumah tadi, meminta mencari gadis yang kabur dari rumah. Menjelaskan bahwa Loila tidak ada di rumah Bahri ataupun Darman.

Mungkin Loila sekarang berada di kostnya. Tempat Aciel menangkap Loila dulu. Jika tidak ada, Aciel akan mencarinya dengan mengumpulkan bukti, dengan permasalahan apa yang membuat Loila kabur dari rumah.

Tiba di rumah Darman, Aciel masuk begitu saja. Darman dan istri tengah menikmati makan malam di meja makan, mereka heran dengan pemuda yang hadir di antara mereka.

"Kamu siapa?" tanya Darman, menahan emosi merasa tidak dihormati.

"Detektif A."

Mendengar nama itu, raut marah Darman berubah drastis. Dia berdiri, mengambilkan langsung piring untuk Aciel makan bersama. Ternyata Bahri berhasil menemukan Detektif A untuk mencari Loila, Darman sudah lama menyarankan memakai bantuan Detektif A. Hanya saja, sulit menghubunginya.

"Maaf, saya tidak sopan tadi. Sebelum berbincang-bincang, mari makan bersama terlebih dahulu."

Aciel mendorong piring di hadapannya. "Pak Darman, putri Anda kabur kerena apa?"

"Sepertinya dia tidak mau dijodohkan. Padahal kami sudah memilih calon suami terbaik, tapi di otaknya hanya ada Aciel dan Aciel. Aku tidak mau menantuku seorang tidak beres seperti itu. Masa depan putriku tidak akan terjamin."

"Aciel ... Anda tahu kabar dia sekarang?"

"Aku sudah tidak mengurusi bocah itu. Dia percaya putri kami telah tiada, dia tidak tahu sama sekali kenyataannya."

Aciel terkekeh. "Sekarang dia tahu."

"Apa?!"

"Dia berada di hadapanmu sekarang. Orang yang Anda bilang tidak beres tadi."

Darman dan Finsa menjatuhkan sendok yang mereka pengang, bunyi menggema dalam ketegangan. Bocah yang ia remehkan adalah Detektif A? Sulit dipercaya.

"Ka-kamu ...."

"Aku Aciel, dikenal dengan nama Detektif A."

"Aciel. A-aku ... aku ...."

"Kalian begitu sombong. Lihat saja, kalian akan menerima imbas karena menipuku." Jelas dia mengecam, perasaannya dipermainkan. Aciel dulu bukanlah siapa-siapa, tapi sekarang berbeda ... dia bisa memutar balikkan fakta dengan sangat mudah. Karena apa? Karena dia adalah Detektif A. Semua omongannya akan dipercaya oleh publik, masyarakat tidak meragukannya. Itulah keuntungan dari detektif yang terkenal, bercitra bagus, bernama harum.

Bersambung....



Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang