"Anggota baru?" ucap Loila setelah mendengar cerita Gress. Di depan cermin, melepas pupil mata palsunya. Usai itu ia menyisir rambut, melirik sesekali Gress dari pantulan cermin. Lantas mengernyit. Apa-apaan ekspresi Gress itu?
Habis bercerita dia melamun, pipi merona, senyum malu, kepala sedikit menunduk berposisi duduk di atas ranjangnya sendiri.
"Gress?" tegur Loila sedikit panjang.
"Ah, iya."
Menutup mulut dengan telapak tangan lentik, Loila memasang wajah jahil. "Kamu seperti gadis yang tengah jatuh cinta. Katakan siapa yang membuatmu merona seperti ini?"
"A-apa?! Tidak, aku ... a-aku tidak suka sama Jino."
"Siapa yang menyebut nama Jino. Ahahah, kamu suka sama Jino, ya?"
Gress langsung melempar bantal mengenai kepala Loila. Namun itu tidak cukup untuk menghentikan tawa Loila. Gadis itu bahkan tertawa lebih besar dari biasanya. Gress kesal, lantas semakin menunduk, tangan meremas selimut kuat.
"Apa yang lucu? Memangnya kenapa jika aku suka dengan Jino?"
Loila masih belum paham dengan perubahan intonasi rendah Gress namun tajam. Masih tertawa, sambil menjawab, "Jino 'kan jamet. Yakin mau sama dia? Eh, tapi kalian cocok sih."
Benar kata Jino, sisi buruk Loila adalah tidak ingin mengerti perasaan orang lain. Memang manusia tidak ada yang sempurna, termasuk Loila. Jika Jino tidak menyinggung Loila, maka sampai sekarang Gress akan menganggap Loila hanya bercanda. Memedam rasa kesal, membuang pemikiran buruk.
"Iya aku jelek! Aku pendek. Orang yang tidak pernah merasa insecure seperti kamu tidak akan paham, Loila. Tapi Jino berbeda, dia tidak memandang aku dari fisik, dia menyukai aku padahal aku selalu berada di sampingmu; terlihat jelas perbedaan kita bagai bidadari dan seekor babi kotor. Jino ... dia bilang aku cantik. Dia lebih memilih babi dari pada bidadari."
Loila terdiam, memandang bisu Gress yang tengah mengusap air matanya. Apa dia sudah keterlaluan? Sungguh Loila tidak ada maksud untuk menyakiti hati Gress.
"Gress, aku ...." Kembali bungkam ketika tiba-tiba Gress berdiri, pergi ke arah pintu lantas hilang. Loila tertunduk, tertampar oleh ungkapan Gress barusan.
Ia lirik jam dinding, masih pukul delapan malam. Melangkah pelan, Loila ragu untuk mencari Gress. Tetapi dia tetap memilih melanjutkan mencari Gress. Menaiki tangga, berhenti di atas. Dia menoleh kanan-kiri, menimbang ke mana Gress akan pergi.
Mungkin di kamar Jino.
Dengan keyakinan itu, Loila pergi melewati dua lorong anak tangga menuju ruang bawah tanah rumah. Di sana adalah kamar Jino. Kembali berhenti, keraguan Loila semakin besar. Bagaimana jika Gress semakin marah?
"Loila. Ngapain diam di situ?"
Tubuh Loila menegang. Itu suara Jino. Pelan-pelan dia menoleh--takut ada Gress di samping Jino--kemudian berkedip-kedip bertemu tatap dengan seseorang berbedak tebal.
"I-ini orang baru yang diceritakan Gress, 'kan?"
"Iya, namanya Acil."
"Acil?"
Si Acil hanya diam, memandang Loila sangat dalam hingga Loila mundur karena takut dengan tatapan itu.
"Ada apa?" tanya Jino lagi.
"I-itu, aku mencari Gress. Apa dia ada di kamarmu?" Loila sesekali melirik Acil. Siapa yang tidak risi jika ditatap terus tapi tidak bicara sama sekali.
"Gress? Tadi dia bersamaku, pamitan kembali ke kamar."
"Iya, tapi dia pergi lagi. Dia marah sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...