"Aku tidak butuh rohaniwan untuk memenangkanku. Aciel, tolong peluk papa, kamu tahu ini yang terakhir," tutur Bisma berpakaian putih bersih, dengan mata tertutup kain serta tubuh yang terikat berdiri di tiang.
Rohaniwan yang ditugaskan untuk menenangkan pidana mati selama 3 menit menyingkir, membiarkan posisinya digantikan oleh anak dari terpidana mati.
"Terima kasih," ucap Bisma merasakan pelukan gemetar dari tubuh Aciel. "Hei, jangan gemetar, bagaimana caramu menambak nanti?" Bisma terkekeh namun tidak dipungkiri dia juga gemetaran pun napas terengah-engah.
"Papa yakin? Aku bisa menyelamatkan mu," tawar Aciel sekali lagi. Suara bindeng, menyiratkan bertapa sulit dia menahan tangis.
"Ini hukumanku, Nak. Kamu tidak boleh seenaknya."
"Tapi ... Papa sepertinya ketakutan."
"Siapa yang tidak takut ketika mengetahui dirinya akan mati dalam waktu kurang tiga menit? Tidak apa-apa, akhiri hidupku dengan sekali tembakan."
"Aku tidak pernah bisa membencimu."
"Papa tahu."
Dokter datang, menandai titik di jantung untuk sasaran biduk 12 eksekutor. Tubuh Aciel semakin menegang, melihat titik di dada papanya yang akan ia tembak. Di antara 12 senjata, terdapat 3 peluru tajam dan 9 peluru hampa. Tidak ada yang tahu eksekutor mana yang membunuh pidana. Namun, senjata untuk Aciel dikhususkan memiliki peluru tajam--permintaan terakhir Bisma yang setelah dibicarakan disetujui. Hanya Aciel yang diketahui, sisanya tidak.
Waktu telah habis, Aciel dengan berat hati mengambil posisi membidik. Berulang kali ia menarik napas dalam, menenangkan diri.
Bunyi senjata dihentakkan ke tanah adalah tanda perintah menembak. Sebelum menarik pelatuk, kurang dari satu detik Aciel melihat Bisma tersenyum.
DOR!
Tembakan 12 senjata serentak. Tubuh Bisma melemas. Leher yang awalnya tegak, jatuh bagai bunga yang layu. Dokter mendekati Bisma, mengecek sisa tanda kehidupan. Dokter memberi tanda bahwa Bisma telah meninggal. Seketika lutut Aciel lemas, luruh jatuh bersimpuh di tanah.
Bisma diturunkan dari tiang, segala ikatan dilepas. Melihat mayat di sana rasanya Aciel kesulitan bernapas, berulang kali memukul dada, sampai kepala polisi datang memeluk Aciel ikut bertitikan air mata.
Mereka di sana memandang iba, inilah kenapa saat eksekusi keluarga dilarang hadir, mereka tidak akan sanggup melihat. Bagaimana dengan Aciel yang menjadi salah satu eksekutor itu sendiri? Bayangkan bertapa dadanya begitu sesak.
"A ...." tidak ada kata-kata penguat yang bisa ia keluarkan. Rasanya tidak akan membantu apa-apa. Kepala polisi, hanya membantu Aciel menyembunyikan air matanya di dalam dekapan.
***
Suasana tenang khas alam memenuhi gendang telinga Loila satu pekan ini. Ombak laut, tiupan angin, kicauan burung, serta serangga yang berisik kala malam tiba. Sudah tak terkira berapa banyak air mata jatuh, mata bengkak, pun wajah pucat ketakutan.
Berpikir keras bagaimana caranya kembali. Duduk meringkuk di tepi tebing, tepatnya pulau tempat ia dilahirkan. Benaknya bertanya-tanya, kenapa dia bisa terbangun di pantai pulau ini? Ia ingat habis dari kantor polisi bersama Bisma, Loila beristrikan di penginapan.
Kala itu, ombak menyapu kakinya, membuat dia terbangun lalu tercengang begitu lama. Loila berlarian ke sana ke mari di tepi pantai, mencari orang yang membawanya atau setidaknya perahu yang tertinggal. Menangis kencang, melakukan segala upaya untuk kembali ke kota. Dia menulis besar kata SOS di pasir, sayangnya bahkan pesawat pun tidak lewat di atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Roman pour AdolescentsBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...