Part 03

274 38 3
                                    

Senandung mendayu-dayu merdu dari bibir gadis yang kini telah menginjak usia 10 tahun. Dua tahun lebih telah berlalu, dia telah banyak mengerti akan peradapan modern. Rambut yang tergerai panjang bak ombak laut di waktu senja mengganggu aktivitas memasaknya. Dia mengambil karet, mengikat simpul dengan anakan rambut yang berjatuhan.

Hari ini adalah hari istimewa, Aciel lulus dari SD. Maka, Loila hendak merayakan dengan kue seperti yang ia lihat di kebanyakan pesta di acara televisi.

Bentuknya tidak buruk, rasanya juga enak. Loila belajar dan dibimbing membuat kue dari bibi yang sering ia kunjungi untuk bantu-bantu, lalu mendapat upah.

Bibi Mety namanya, dia sekarang berada di rumah ini membantu Loila.

"Bibi, Aciel akan menyukainya, kan?" Loila gugup, kulitnya yang putih terlihat jelas bersemu merah. Dia selalu berusaha membuat Aciel senang, begitu pula dengan Aciel.

Bibi Meti terkekeh, gemas sekali akan interaksi manis Aciel dan Loila.

Membungkukkan badan menyamakan tinggi dengan Loila, Bibi Meti menepuk bahu Loila. "Kenapa takut? Aciel selalu menghargai apa pun yang kamu buat, Loila."

Loila menatap kue yang sudah cantik, senyum tipis terbit. Sekarang dia tidak sabar menunggu Aciel pulang.

Matahari hampir sepenuhnya tenggelam, namun Aciel belum juga kembali. Sementara di sini hanya ada Loila seorang, Bibi Meti telah pulang usai kue sudah sempurna. Dari jendela, Loila menatap keluar, semakin gelap bersama dengan Aciel yang melambaikan tangan menyadari Loila mengintip.

Akhirnya dia pulang!

Loila bergerak cepat, membuka pintu dengan semangat. Aciel menunjukkan piala penghargaan dari sekolah.

"Aciel, kamu mendapatkan penghargaan lagi."

Tangan Loila mengambil piala emas itu, memperhatikan dengan saksama. "Juara 1, lulusan terbaik." Kepala Loila mendongak memandang bangga Aciel.

Tidak peduli sudah berapa banyak piala yang ada di lemari kaca, Loila tetap kagum. Lantas Loila menarik tangan Aciel, membawa ke meja makan yang sudah dihias sedemikian rupa.

"Mari rayakan kelulusanmu."

"Loila, ini semua kamu yang buat?"

Reaksi Aciel cengok. Malam ini akan menjadi makan malam paling mewah. Tidak hanya ada kue, masakan gurih lainnya mengundang nafsu makan. Baru pertama kali juga ia mendapat kejutan berupa perayaan.

"Dibantu Bibi Mety." Loila terkekeh, mata Aciel yang membesar cukup lucu.

Mereka berdua sama-sama duduk, sambil makan Loila mendengarkan cerita Aciel tentang kelulusannya hari ini. Sayangnya Raina tidak datang, tidak ada wali yang mendampingi Aciel. Murid paling cerdas di sekolah maju seorang diri, mendapat tatapan pertanyaan dari sebagian orang.

"Ke mana walinya? Dia penghargaan paling tinggi, seharusnya ini menjadi momen membanggakan orang tua. Tidak hanya anak, orang tua juga dianggap hebat karena berhasil mendidik anak. Rugi jika tidak hadir."

Loila menatap sendu, Aciel menirukan kalimat orang lain sementara Aciel tertawa setelahnya.

"Mereka bilang seperti itu, Loila. Ahahaa, padahal aku sendiri yang tidak memberitahu Mama."

"Kenapa? Mama Raina pasti ingin sekali datang."

"Mama dan Paman Anton hari ini pergi ke acara lulusan SMP abang tiriku, Bang Dava. Lebih baik begini saja, setidaknya aku tidak mendengar alasan Mama menolakku."

"Aciel ...."

"Lupakan. Yang penting di sini ada Loila, gadis cantik yang menyambutku. Aku merasa beharga karenamu. Terima kasih, Loila."

Senyum setulus mungkin serta anggukan kepala samar menjadi jawaban. Loila juga merasa berharga kerena Aciel. Dia tidak menginginkan apa pun, hidup sederhana seperti ini saja sudah lebih dari cukup, asalkan bersama Aciel.

Tiba-tiba Raina hadir, ikut duduk menghadap hidangan dengan wajah ramah. Namun dia gagal mempertahankannya, senyum itu luntur digantikan dengan mata yang memindai hidangan.

"Wah, ini jamuan perayaan kelulusan Aciel, ya. Mewah sekali, siapa yang memasak."

"Loila," jawab Aciel singkat. Kehadiran Raina ia rasa merusak suasana bahagia antara adik dan abang, seperti itu 'kan hubungan mereka?

"Menghabiskan uang saja. Ini tidak bisa disebut perayaan, pantas disebut mencekik Aciel dengan pengeluaran."

Loila menunduk, memang benar dia belanja menggunakan uang Aciel, tapi setengahnya uang tabungan milik Loila hasil bantu Bibi Mety.

Di bawah meja, Aciel menggenggam tangan Loila. Mereka saling tatap sejenak, terus tersenyum. Lantas Loila bangkit, meninggalkan ibu dan anak itu berdua. Dia yang sudah terbiasa mendengar singgungan Raina, tahu apa yang harus ia lakukan.

Mengabaikan, pergi masuk ke kamar, biarkan Aciel bicara dengan Raina. Selalu begitu setiap bulan.

"Sudah Mama bilangkan, El? Jangan terlalu memanjakan anak itu. Dia jadi seenaknya."

"Dia tidak merugikanmu, Ma. Jadi berhentilah protes."

"Kamu ini tidak mengerti. Sampai kapan dia akan membebankan?"

Aciel memejamkan mata erat sembari membuang napas berat. Semakin lama entah kenapa dia semakin tidak suka dengan kehadiran Raina. Wanita itu selalu menuntut ini itu, padahal dia sama sekali tidak berkontribusi. Ya, tidak. Raina berhenti memberi uang, mengancam Aciel untuk mengusir Loila.

"Urus saja keluargamu, Ma."

Sakit mendengar Aciel berkata seperti itu. Dia selalu berdebat sinis dengan Aciel sebab Loila. Padahal Raina hanya ingin putranya tidak terlalu lelah, mencari uang sana-sini menerima pekerjaan apa pun.

"Kamu akan masuk SMP. Butuh baju baru, sepatu, buku, juga seragam tambahan dari sekolah. Bagaimana cara kamu mengatasi itu?"

"Masih ada libur panjang, aku bisa mencarinya. Lagian aku mendapat tawaran beasiswa dari SMP ternama."

Raina menoleh ke arah lemari kaca, terdapat banyak piala serta piagam. Aciel juga sering ikut lomba cerdas cermat, dia mendapat hadiah uang dari sana. Melebihi gaji sang suami.

"Selamat atas kelulusanmu."

Raina beranjak. Aciel sama sekali tidak ada niat mengantar Raina sampai ke depan pintu. Dia jengkel, mulai merasa jika dia tidak membutuhkan wali dalam hidupnya.

"Loila," panggil Aciel.

Kepala Loila muncul setengah, memastikan tidak ada lagi Raina di sana. Kemudian dia berjalan, kembali duduk di samping Aciel untuk melanjutkan makan.

"Aku selalu takut dengan mamamu. Apa dia akan mencekikku jika kamu tidak ada di sini?"

Aciel tertawa. "Dia tidak akan datang jika tidak ada aku. Jangan khawatir jika dia mendadak muncul, lari ke kamar lalu kunci pintu."

"Kamar itu 'kan dulu bekas dia." Bibir Loila mengerucut. Dia mendapat jentikan di jidat dari Aciel.

Sebuah buku mendarat di meja di hadapan Loila. Itu adalah novel fiksi remaja, akhir-akhir ini Loila suka membaca novel, bermula dari Loila yang menemukan novel di tong sampah saat ia hendak membuang tumpukan sampah.

"I-ini?"

"Jangan ngorek-ngorek tong sampah lagi untuk mencari buku buangan. Aku jadi dimarahi petugas pengangkut, sebab kau membuat sampah berhamburan."

Loila mengangguk sembari menahan senyum. Dia langsung membuka lembaran buku namun Aciel menahan tangannya.

"Apa?"

"Kalau mulai baca sekarang, aku yakin kamu akan tidur larut malam. Besok saja, Loila."

Aciel mengambil buku itu kembali, Loila cemberut dibuatnya. Sekali lagi jidatnya dijentik oleh Aciel sembari tersenyum jahil.

Bersambung....













Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang