Kejadian besar terjadi siang ini. Kala Loila baru keluar dari masa kurungan, serta Acil yang melakukan tugas pertamanya di dalam kelompok. Sebuah gedung swalayan empat lantai meledak. Untuk sekian detik jantung semua orang yang melihat seakan berhenti, menciptakan gerakan slow motion pada kaca swalayan pecah berjatuhan bagai hujan. Gelombang kejut yang kuat, disusul oleh api. Detik selanjutnya semua orang menjerit, menjauhi tempat jatuhnya pecahan kaca, namun rata-rata gagal melarikan diri. Tidak mati terbakar, mereka mati tertusuk dan terkena puing-puing.
Loila mematung di jarak yang masih tergolong berbahaya. Beruntung Acil menggendongnya, tidak sengaja menabrak seorang pria paruh baya lalu pria itu tertusuk oleh pecahan kaca tepat di atas kepala.
Sadar akan hal itu, Loila menutup mulutnya sendiri. Bagaiamana seharusnya dia tidak ketakutan? Mayat-mayat mulai berserakan di jalan. Anak-anak, wanita, pria, muda pun tua.
"Acil ... apa yang terjadi?"
Acil tidak berhenti berlari, masih ada kemungkinan gedung lain ikut meledak bahkan api dengan cepat merambat di bangunan lain.
Bunyi sirine bagai alarm kematian, pemadam kebakaran, dan ambulans datang bergantian. Hanya orang-orang yang dapat di jangkau yang mendapat pertolongan terlebih dahulu. Sementara petugas pemadam kebakaran lebih memprioritaskan memadamkan api dari pada menyelamatkan nyawa yang masih bisa diselamatkan di area berbahaya. Pada akhirnya mereka mati dalam jilatan api. Ya, pilihan tepat memprioritaskan api terlebih dahulu, terlebih di dalam kota yang memudahkan api merambat ke bangunan lain.
Kebocoran gas ... atau teroris?
Acil menatap gedung yang lahap di makan oleh api. Berpikir apa penyebab pasti gedung itu meledak. Sudah dipastikan orang di dalamnya tidak ada yang selamat, tidak ada yang bisa memberikan informasi sebagai saksi atau korban.
"Kita pergi saja, Loila." Mengabaikan pekerjaannya sebagai detektif, Acil pergi meninggalkan TKP. Rasa penasaran ia tekan, ia akan mengantar barang sekarang juga. Detektif yang menyamar, melakukan pekerjaan kriminal itu sendiri secara benar serta profesional. Pantas pihak kepolisian tidak bisa menaruh kepercayaan besar pada dia.
"Acil, kira-kira Detektif A akan datang enggak?"
"Kenapa bertanya tentang dia?"
"Kita harus cepat pergi, aku takut sama dia." Loila mengeratkan pelukannya dalam gendongan Acil--dia tidak sengaja, reflek alami tubuh yang sedang ketakutan.
Di balik itu, Acil mengulum bibir, menahan cengiran dalam kegirangan yang ia rasa gila. Ternyata sangat menyenangkan mengetahui bahwa gadis yang ia gendong adalah gadis yang ia inginkan.
Mereka selesai mengantar barang dua jam kemudian. Acil membawa Loila untuk makan es krim bersama, menikmati berita tentang meledaknya swalayan dari layar yang menempel besar di gedung. Api berhasil di padamkan, jumlah korban meninggal yang telah ditemukan mencapai 654 jiwa. Jumlah yang cukup menggegerkan sampai ke luar negeri.
Kening Aciel mengernyit memperhatikan bangunan yang 90% hancur. Garis polisi membentang, tim penyelamat tampak keropotan. Asap, hambatan jalan, terlebih harus berhati-hati dalam menginjak daerah sekitar.
"Bibi, apa tadi terjadi pemadam listrik?" tanya Acil pada kasir minimarket.
"Ada, cuman sebentar."
Berarti apinya cepat dipadamkan. Tidak ada gas dalam jumlah besar. Jadi ... bom? Masuk akal, gelombang kejutnya kuat, menghancurkan bangunan dengan ledakan. Ini akan menjadi tantangan asik untuk menyelesaikan kasusnya. TKP yang hancur 90% serta gosong.
"Acil, es krim kamu meleleh!" jerit Loila.
Acil menoleh ke tangan kanannya, dia melupakan si es krim sebab fokus yang terbagi. Ayolah, kasus ini memanggil-manggil namanya.
"Cepat dimakan."
"Iya, ini aku makan." Sambil menggigit es krim Aciel kembali berpikir. Bom jenis apa yang digunakan? Pelaku individu atau kelompok? Apa tujuannya menghancurkan swalayan?
Loila memperhatikan raut wajah Acil, menebak ada sesuatu yang mengganjal Acil. Wajah serius itu semakin membuat Loila menyipit, perlahan mendekat sampai hidung mereka hampir bersentuhan. Tentu Acil terkesiap, reflek memundurkan wajah yang tiba-tiba memerah.
"Kenapa dekat-dekat?" tanya Acil.
"Kamu memikirkan apa? Terhalang bedak tebal pun aku masih bisa melihat wajah seriusmu. Seperti ...."
"Seperti apa?"
"Detektif A. Gerak-gerik kalian mirip. Postur tubuh juga." Loila mengapit dagunya, memindai Acil dari atas sampai bawah.
"Oh, kamu gadis mesum, ya. Memperhatikan tubuhku dan Detektif A dengan tatapan seperti itu. Apa kamu menyukai tipe tubuh seperti kami?" Dia tertawa, wajah Loila yang mendadak merona cukup lucu. "Katakan, kamu menyukai Detektif A, enggak? Setiap ada yang menyinggung nama pria itu, kamu pasti akan tertarik. Sudah tiga kali aku memergokimu seperti itu; di kantin, di jalan, dan belum lama ini."
Setelah singgungan Acil, Loila rasa apa yang dikatakan pria itu benar. Dia sendiri tidak sadar. Tapi ....
"Aku hanya takut sama dia. Kan sudah aku bilang tadi. Wajar jika tertarik dengan nama orang yang ditakuti."
Acil mengangguk setuju. "Jadi ... siapa yang kamu sukai?"
Memalingkan kepala, tandai Loila tak ingin menjawab.
"Katakan padaku. Walau aku orang baru bagimu, aku bersumpah bahwa kamu bisa mempercayai aku."
"Tidak."
"Baiklah, padahal aku pikir bisa membantumu."
Alasan. Dia hanya ingin mendengar Loila mencitai dia dari mulut gadis itu sendiri, sebab selama ini Acil terlalu percaya diri bahwa Loila juga memiliki perasaan yang sama sepertinya.
Kepala Loila kembali menghadap depan, menggelengkan kepala lantas membuat tanda silang dari kedua lengannya.
"Ok, aku mengerti. Sekarang ayo kembali. Es krim kita sudah habis."
Loila memandang tangan yang memegang es krim, sibuk mengobrol membuat dia mengabaikan es krim kesukaannya.
"Iya habis, tapi bukan habis dimakan." Sebal, Loila mengerucutkan bibirnya. Mendadak Acil menjentik jidat Loila, Loila terdiam--terakhir dia dijentik oleh Detektif A.
Acil tersenyum, menyimpan kedua telapak tangan di saku celana. Dia tahu apa yang Loila pikirkan, karena menjentik jidat saat Loila manyun adalah kebiasaan Aciel.
Aku sudah memberi tanda, Loila. Ahaha, sayang sekali aku masih menikmati permainan seperti ini.
"Hei, Acil." Loila mendongak, ekspresi datar namun lebih terkesan kebingungan. Memang faktanya begitu.
"Iya?"
"Kamu bukan Aciel, kan?"
Bahu Acil sedikit terangkat. Tidak mungkin dia tahu, 'kan? Jantikan jidat terlalu sederhana untuk membongkar identitasku.
"Siapa Aciel?"
"Jadi bukan, ya? Sudahlah, ayo kembali."
Cuman seperti itu? Acil menggeleng-gelengkang kepala. Loila tidak banyak berubah, gadis itu masih gadis yang berpikir secara sederhana. Biar begitu perlu waktu bagi Acil untuk mengenalinya kembali setelah sekian lama terpisah.
Sebelum berbelok ke jalur lain, Acil berbalik badan, melihat layar besar yang masih menyiarkan tentang swalayan. Cukup lama, sampai Loila memanggilnya untuk cepat.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...