Part 09

193 31 7
                                    

Gadis berambut panjang kemerahan menjuntai hingga ke pinggang berlarian membelah karidor dengan cepat. Napasnya memburu, mengabaikan beberapa orang yang bersenggolan dengan dirinya. Telat adalah alasannya. Dia kemudian diam menarik napas dalam sebelum tangannya menyentuh knok pintu.

"Semoga Dosen juga telat hari ini." Dia berucap penuh harap.

Harapan hanyalah sekedar harapan, ketika Loila membuka pintu segala mata mengarah padanya, pun Dosen melipat tangan di dada dengan ekspresi datar.

"Loila Leisasalisa," tegurnya menyebut lengkap nama Loila mengintimidasi. "Kamu tahu saya tidak suka ada yang telat di kelas saya. Keluarlah, saya tidak menerima murid telat masuk di kelas saya."

"Maaf, Pak." Loila berbalik badan, kembali menutup pintu, menyandarkan diri di dinding.

Dosen baru itu tegas, padahal baru tiga bulan dia menjadi dosen di kampus ini. Namanya Pak Dava, dosen muda yang memiliki tampang yang lumayan serta bergaya rapi. Tidak sedikit siswi yang naksir padanya.

Ini gawat, ini adalah sementara akhir menuju wisuda, Loila seharusnya tidak boleh membuat masalah sekecil apa pun agar prosesnya tidak dipersulit kelak. You know, kadang dosen suka seenaknya.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka, Pak Dava muncul setelahnya. Dia memandang Loila yang bersandar di samping pintu.

"Masuklah. Ini kali pertama kamu telat di kelas saya, jadi saya berikan kesempatan kedua. Jangan ulangi di lain hari."

"Terima kasih, Pak."

Loila masuk, diikuti Pak Dava yang berjalan di belakang setelah menutup pintu. Pak Dava kembali ke mejanya, sementara Loila sudah duduk di bangku  paling depan di samping sahabatnya, Gressya.

"Kamu kenapa telat? Tidak biasanya." Gress bertanya.

"Aku juga manusia, aku juga bisa bangun telat."

"Ternyata si cantik Loila adalah manusia. Aku masih belum percaya sih."

"Berhentilah berlebihan."

"Loila," tegur Pak Dava karena obrolan dua siswi itu dapat ia dengar. Tapi kenapa hanya nama Loila saja yang disebut? Padahal Gress juga terlibat.

"Maaf, Pak."

Loila menunduk, namun lengannya menyenggol sengaja Gress sebagai tanda protes karena hanya dia saja yang ditegur.

Usai kelas, Loila dan Gress pergi untuk makan siang. Duduk di bangku kantin berdua menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulut. Gress membelai rambut panjang Loila, lantas Loila menoleh, alisnya terangkat sebelah menatap heran.

"Kenapa?"

"Rambutmu bergelombang indah, senada dengan warna matamu. Kamu tahu Loila? Kadang aku tidak percaya diri berjalan di sebelahmu." Gress tampak sedih.

Gress insecure. Dia adalah gadis yang terobsesi ingin menjadi cantik. Menghabiskan uang kiriman orang tua untuk membeli produk kecantikan, mencoba berbagai macam gaya rambut hingga kini rambutnya pendek di atas bahu. Dia suka warna rambut Loila, tapi kampus memiliki aturan larangan mengecat rambut. Sebab dia yang sering gonta-ganti produk kecantikan, wajar Gress ada banyak jerawat.

"Seandainya aku punya banyak uang, maka aku akan mencoba operasi plastik. Referensinya adalah kamu, Loila."

"Tidak boleh! Aku tidak mau Aciel salah mengenaliku."

"Huh, Aciel lagi. Sehari saja kamu tidak menyebut namanya bisa tidak? Aku bosan mendengar nama itu."

Loila tertawa, mencubit pinggang Gress hingga gadis itu meringis.

"Kami tidak akan mengerti kerena kamu tidak tahu ceritanya."

"Ya, aku hanya tahu dia akan menjemputmu setelah kamu wisuda. Selain itu aku tidak tahu. Ada gadis cantik bermata jingga yang terus menyebut namanya tetapi tidak mau bercerita. Aneh bukan? Siapa yang tidak jengkel."

Delapan tahun sudah semenjak pertemuan terakhir Loila dengan Aciel. Dia sadar perasaannya pada Aciel teramat berbeda dengan perasaan pada orang lain. Setiap ia mengingat Aciel, jantungnya berdebar kencang, pipi memerah membayangkan seperti apa wajah Aciel sekarang. Dia selalu menebak-nebak, menyuruh Gress yang pandai melukis untuk membuat gambar sesuai imajinasi Loila berpatokan pada ingatan rupa Aciel dulu.

"Gress kamu sibuk enggak hari ini?"

"Seorang komikus seperti aku selalu sibuk. Tugas kampus, juga pekerjaan. Kamu sudah menyerahkan naskah hingga akhir seasons padaku. Tapi aku baru menggambar 30 chapter, aku pusing Loila."

Alasan mereka begitu dekat ya karena pekerjaan. Loila sebagai novelis ingin novelnya di visualisasi, dia menemukan Gress yang memiliki bakat menggambar tengah mencari seseorang yang bisa membuat naskah. Jadilah mereka bekerja sama, saling melengkapi.

Darman tahu tentang ini. Loila juga tidak mengerti dengan apa yang pria tua itu inginkan dari Loila. Sebelum masuk keliah Darman bertanya Loila ingin masuk jurusan apa? Loila menjawab sastra. Dengan mudahnya Darman memberi izin, padahal seblumnya dia melarang Loila untuk membaca novel.

"Memangnya ada apa hingga kamu menanyakan waktuku, Loila?"

"Aku ingin memintamu untuk melukis gambar Aciel dari ciri-ciri yang aku katakan lagi."

"Ah, sial. Apa sepuluh lukisan itu kurang? Ciri-ciri saja tidak cukup untukku membuatmu bisa melihat sosok Aciel yang sekarang." Gress mendengus kesal.

Pun Loila mengerucutkan bibir. Dia rindu sekali dengan Aciel, setiap hari melihat gambar wajah yang berbeda menebak-nebak mana yang paling mendekati Aciel. Namun Loila tidak pernah puas, ia rasa tidak ada wajah Aciel di antara lukisan itu.

"Seandainya Bang Bahri bisa dihubungi, aku akan meminta dia untuk memfoto Aciel," gumam Loila.

Gress menggeleng-gelengkan kepala heran. Isi otak Loila ia rasa hanya ada Aciel dan Aciel.

"Sungguh aku juga sangat penasaran dengan Aciel karena kegilaanmu, Loila."

Gress sudah selesai makan, dia meraih ponsel di dalam tas. Menggeser-geser layar hingga dia tertarik dari satu artikel goggle tentang kasus yang tengah viral telah terungkap.

"Detektif A turun tangan dalam kasus pengeboman hotel. Terungkap dalangnya...." Gress membaca artikel itu dengan suara jelas. Terdapat lampiran foto Detektif A juga yang diambil secara candid dari belakang.

"Sudah ditemukan ya pelakunya?"

"Sudah. Detektif A turun tangan, wajar saja."

"Detektif A sangat hebat, ya. Kira-kira Aciel bisa enggak ya seperti dia."

"Detektif A muda dan cerdas. Di umurnya yang baru 23 tahun dia mampu menduduki posisi pria sukses yang menjadi pedoman banyak orang. Tidak mungkin Aciel-mu mampu mengejar langkah Detektif A."

"Tapi Aciel juga cerdas."

"Cerdas tidak menjamin kesuksesan." Gress kembali melihat ponselnya. "Ah, sayang sekali banyak yang tidak tahu wajahnya. Dia selalu memakai masker dan menutup kepala menggunakan hoodie, kebanyakan foto tentangnya diambil dari belakang."

Loila merampas ponsel Gress. Memperhatikan postur tinggi berpundak lebar Detektif A, tampak gagah bahkan hanya dari belakang. Pasti kharismanya begitu kuat.

"Hmm, sehebat apa pun dia, menurutku Aciel adalah yang terbaik." Loila mengembalikan ponsel Gress.

"Memang matamu itu dibutakan oleh Aciel. Heran."

"Ini jauh lebih baik dari pada obsesi gilamu untuk jadi cantik. Lihat tuh, wajahmu banyak jerawat karena mencoba produk abal-abal."

"Cuih, jangan berbangga diri. Siapa tahu Aciel mu di sana sudah punya pacar atau malah menikah."

"Jangan ngomong sembarangan." Loila mencubit pinggang Gress. Sebal sekali mendengar penuturannya barusan. Kan Loila jadi takut.

Bersambung....






Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang