Part 42

139 30 11
                                    

Tinggal dia minggu lagi menjelang pelelangan, anggota yang berpartisipasi sibuk mempersiapkan diri. Sementara Loila yang mendapat tugas paling berat, merasa takut serta ragu. Ingat rencana ini dibuat untuk membunuh Detektif A. Dalam benak Loila merasa keberatan, ada rasa tidak rela yang begitu besar. Semakin dekat hari, semakin takut Loila.

"Loila mau jalan-jalan?" Ajak Acil, merentangkan sebelah tangan untuk Loila genggam.

Tangan Loila menyambut tangan Acil, lantas dia terdiam menatap tautan tangan mereka. Bertanya-tanya, kenapa dia tidak ragu sama sekali pada kedekatan dengan sosok yang memakai penyamaran bedak ini. Seperti layaknya ia tengah bersama Aciel. Tidak hanya Acil, perasaan itu juga sama ketika dia bersama A--seakan mereka bertiga adalah orang yang sama.

Tubuh Loila ikut tertarik kala Acil berjalan memimpin. Dalam setiap langkah, Loila memandang punggung Acil dalam. Punggung yang sama dengan A.

Membuka pintu rahasia, cahaya luar masuk lalu sirna bersama dua orang yang keluar. Acil berlari kecil meninggalkan Loila di depan pintu yang telah tertutup, lantas dia datang dengan sebuah sepeda.

"Ayo naik," pinta Acil tepat di depan Loila.

Loila mengangguk. Duduk di boncengan membawa dia ke nostalgia masa lalu, di mana dia selalu berboncengan menggunakan sepeda bersama Aciel. Tapat ketika Acil berbelok arah, Loila langsung teringat sesuatu.

"Jalan ini ... Acil, kita mau ke mana?"

"Danau buatan."

"Danau buatan," ulang Loila dengan senyum tipis. Tak sadar tangannya mencengkeram pinggang Acil, membawa kepala untuk bersandar di punggung lebar pria itu. Memejamkan mata rileks, Loila menghirup dalam-dalam aroma parfum segar dari pakaian Acil. Aroma yang tidak menyengat, namun begitu wangi. Tak jarang tubuh Loila ikutan wangi sebab berdekatan dengan Acil. Menjadi bahan tuduhan bagi Gress.

Loila melambung tangannya, tangan yang bergandengan dengan Acil tadi. Ia cium dalam, dan benar wangi Aciel lagi-lagi lengket. Andai saja kepintaran Acil yang lengket, akan lebih berguna untuk gadis bodoh seperti Loila. Sayangnya itu mustahil.

Sepeda telah berhenti pun Loila tidak sadar. Beberapa kali Acil memanggil namun tidak ada sahutan, gadis ini terlalu hanyut dalam kenyaman memeluk Acil. Bagaimana bisa Acil turun terlebih dahulu jika pinggangnya tidak dilepas oleh Loila?

"Loila."

"Loila? Hei, kamu tidur, ya?" Acil menoleh ke belakang, tapi dia tidak bisa melihat wajahnya Loila sebab wajah itu sangat rapat dengan punggungnya.

Acil melingkarkan tangan ke belakang, semakin menekan tubuh Loila untuk ia bawa turun bersama. Barulah saat itu Loila sadar.

"Eh sudah sampai, ya?" Kepala Loila menoleh ke sana ke sini, memperlihatkan ekspresi canggung dan malu.

"Kamu tidur?"

"I-iya, maaf."

Bohong, Loila tidak tidur sama sekali--lebih ke hanyut dalam lamunan menyenangkan.

Dan lagi ... Acil mengulurkan tangan untuk digenggam, dengan senang hati Loila menyambutnya. Berjalan berdua, mereka mengabaikan tatapan heran dari orang lain--seorang gadis cantik, berpegangan tangan dengan cowok berpenampilan aneh--sebagian menahan tawa. Loila tidak suka mereka menertawakan Acil.

"Mereka!" geram Loila.

"Tidak apa-apa, biarkan saja. Mau makan dan jajan?"

"Boleh."

Habis membeli makanan, Loila dan Acil duduk di pinggir danau. Acil menenggelamkan kakinya ke dalam air, sementara Loila menatap iri tanpa berani melakukan hal yang sama. Namun Acil begitu asik mengayun-ngayunkan kaki, celananya bahkan tidak dia gulung, seperti tingkah Aciel.

"Julurkan kakimu juga, Loila."

"Tidak, a-aku tidak berani."

Mendadak tubuh Loila gemetar, tentu Acil tahu apa masalahnya. Dia manarik Loila lebih dekat, mengatakan tidak ada apa-apa di dalam danau ini, bahkan ikan. Awalnya Loila ragu, perlahan-lahan dibantu oleh Acil, kaki itu pun berada di dalam air. Rasanya dingin, tapi tetap saja berkeinginan menarik kaki kembali. Acil menindih kaki Loila, membuat Loila tidak bisa menarik kaki.

"Tidak apa-apa. Ada banyak orang yang menjulurkan kaki. Kalau pun ada buaya, maka kakiku yang lebih panjang menindih kakimu yang akan lebih dulu dimakan. Kamu aman, Loila, kakiku melindungi kakimu."

"Bu-buaya? Kenapa kamu tahu aku takut dengan hewan itu?" Loila memiringkan kepala, memperhatikan Acil yang tengah mengunyah sepiring nasi yang mereka beli 10 meter dari tempat mereka duduk.

Acil menatap lurus, entah apa yang dilihat olehnya. Ah, dia sedang berpikir tentang alasan. Tiba-tiba memutar kepala ke samping, bertemu dengan Loila yang mendamba jawaban. Ya, mendamba, sebab Loila agak curiga dengan dia yang mengaku sebagai Acil.

"Bukankah hewan itu yang akan terpikirkan saat di dekat genangan air bagai sungai? Kalau enggak buaya, berarti ular, lalu hiu saat di laut. Pun di laut buaya masih tidak terelakkan dalam pikiran."

"Eng, iya, benar."

Membuka bungkus snack Loila ngemil dengan lebih santai. Tatapannya tertuju pada kaki, lalu meliirk kanan kiri dan bernapas lega banyak yang merendam kaki mereka juga.

Sebuah jet ski melintas di depan Loila dan Acil, cipratan airnya kencang menampar Acil dan Loila. Remaja nakal melanggar peraturan wisata, mereka tengah dikejar oleh petugas yang terpaksa menggunakan jet ski juga untuk menangkap brandal puber itu. Tempat ini untuk ketenangan, kendaraan berisik di larang melintas danau.

Loila tertawa karena mereka sekarang basah kuyup, bahkan nasi Acil banjir kuah air danau. Pria itu pun menutup wajah sebab bedaknya luntur. Loila semakin tertawa, memaksa Acil untuk membuka lipatan tangannya.

"Hahah, kenapa kamu bersembunyi? Perlihatkan wajahmu." Loila memaksa, tetapi tenaga Acil jauh lebih kuat.

Acil berdiri, masih menutup wajah. Lantas lari, dia menabrak tiang, menabrak bangku, pohon, orang, sampai benar-benar jauh barulah dia melepaskan lengannya dari wajah. Sementara di sini Loila masih tertawa, makian masih tersisa pada kaum adam yang Acil tabrak. Berbeda dengan kaum hawa, mereka tampak terpesona lalu berbisik-bisik genit bersama temannya.

Tawa Loila berhenti. Para perempuan itu melihat wajah Acil, namun Loila tidak. Seolah di sini hanya Loila yang tidak boleh melihat wajahnya. Iri dan penasaran, lantas Loila berdiri, berjalan mendekati wanita yang ditabrak oleh Acil.

"Memang wajah pria yang berlari tadi seperti apa?" tanyanya.

"Dia ganteng, rahang tegas, hidung mancung, alis tebal, terlebih tinggi. Ketampanan yang manly. Kamu mengenal dia?"

"A-ah tidak." Loila pergi, jika dia bilang kenal maka urusannya akan semakin ribet, seperti: Dia siapamu? Boleh kenalkan aku dengan dia? Ada nomor hp dia enggak? Hal itulah yang dilakukan oleh mereka yang tertarik dengan lawan jenis.

Cih, baru melihat sebentar mereka sudah menilai sebanyak itu. Memangnya Acil seganteng itu, ya? Sial! Aku semakin penasaran. Lain kali aku coba intip dia hmm ... mandi?

Wajah Loila langsung memerah, bagaimana mungkin dia berpikir mesum seperti itu? Tak lama kemudian Acil datang, dengan wajah yang telah ditimpa bedak putih kembali.

Bersambung....

Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang