Ini pertama kalinya Loila dihukum, berdiri di sudut ruangan menghadap dinding dengan kaki yang diangkat sebelah. Namun bukan hukuman yang membuat dia menangis, tetapi dia yang gagal bertemu dengan Aciel.
"Pah, sudah setengah jam. Sudahi hukuman Loila," pinta Finsa, mencoba membujuk Darman.
Darman diam, menoleh ke Loila yang berdiri di sudut ruang kerjanya. Gadis itu menangis tanpa suara, Darman pikir mungkin Loila sudah menyesali kesalahannya.
Namun tidak, menurut Loila dia tidak salah.
"Loila," panggil Darman.
Loila menoleh, masih dengan air mata yang terus jatuh, matanya bengkak.
"Kamu sudah menyesali kesalahanmu?"
Loila menggeleng, menatap benci Darman. Sontak Finsa terkejut, pun Darman. Gadis bermata jingga itu marah, tidak segan lagi berekspresi kasar. Matanya seakan menyala seperti lentera yang ingin meledak.
"Loila!" Darman membentak pasal Loila yang kurang ajar menurutnya.
Lantas Finsa meraih lengan Darman, menggelengkan kepala sebagai isyarat jangan kasar pada Loila. Tangan Finsa ditepis kasar, siap melempar asbak kaca ke Loila. Beruntung Finsa berhasil menahan tangan Darman.
"Sudah, Pah! Kamu mau melukai Loila?!"
Tubuh Darman melemas, menarik napas panjang guna menenangkan diri.
Sementara Loila tersandar di dinding, kakinya sudah tidak terangkat sebelah lagi. Ia pikir Darman akan melempar tadi, Loila sangat takut.
"Papa peringatkan kamu ya, Loila. Jangan bergaul dengan Aciel lagi, status kamu sama dia sudah jauh berbeda. Paham?"
Loila berdiri tegap, menyeka air mata lalu kembali menatap dengan menantang. Mereka tidak boleh menghina Aciel di depan Loila, padahal mereka sebelumnya mengemis pada Aciel untuk membawa Loila. Apa mereka lupa diri?
"Aciel sangat penting bagiku. Papa harus mengerti batasan dalam mengatur hidupku!"
"Kami sudah menjadi bagian keluarga kami, harusnya kamu mengikuti peraturan keluarga ini."
Darman menggeram tertahan.
"Bukan aku yang meminta kalian untuk memungutku. Kalian lah yang mengemis! Aku bukan anak kalian yang hilang. Anak kalian pasti sudah mati!"
"Loila!"
Sayangnya Loila sudah tenggelam dalam emosi. Dia takut, tetapi egonya memuncak, sehingga dia tidak mau kalah.
"Apa? Mau usir aku? Silakan."
Bahri datang, dia mendengar keributan dari ruangan kerja papanya. Dia menyaksikan keberanian Loila menantang Darman. Ia lirik ibunya yang menangis sembari menahan tubuh Darman yang hendak menampar Loila.
Tahu akan situasi, Bahri langsung menarik tangan Loila keluar. Percayakan untuk meredakan emosi Darman pada Finsa.
Bahri membawa Loila ke kamarnya, mengunci pintu agar siapa pun tidak ada yang bisa masuk. Terutama Darman.
"Loila," panggil Bahri, berjongkok menyamakan tinggi si gadis kecil.
Kepala Loila menunduk kuat, menggigit bibir menahan suara tangis. Tangannya gemetar, jujur dia sangat takut.
"Kenapa kamu bertengkar dengan Papa?"
"Papa ...." Loila tidak bisa menahan diri lagi, dia sesugukan, bahunya sesekali terangkat.
"Papa kenapa?"
"Aciel. Papa tidak boleh aku bertemu Aciel, dia menghina Aciel. Aciel sangat penting bagiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...