Part 08

198 32 1
                                    

Setiap hari Loila mengikuti kelas privat, memastikan nilainya bagus, sebagai hadiah Darman akan membiarkan Bahri membawa Loila jalan-jalan di hari minggu. Pria dewasa itu tidak tahu jika Bahri meninggalkan Loila di rumah Aciel setiap minggu.

Di luar berangin, pepohonan seakan ingin tumbang olehnya. Loila berada di balkon kamar, melihat dekat pohon gelap di sana memastikan sinyal cahaya dari Aciel. Loila khawatir, tidak seperti biasanya, kali ini Loila berharap Aciel tidak datang.

"Aciel," gumam Loila ketika ada kedipan cahaya dalam gelap di pohon. Tersenyum tipis, Aciel selalu tidak peduli dengan cuaca, dia akan datang walau badai sekali pun.

Tigaa tahun berlalu, waktu yang sangat lama bagi Loila. Hanya pertemuan dengan Aciel yang terasa sebentar. Kini usia Loila 13 tahun, minggu depan ia akan memulai aktivitas sekolah normal, bertemu dengan siswa lain di sebuah gedung SMP.

Pertemuan Loila dan Aciel minggu ini, Aciel memperlihatkan pialanya sebagai lulusan terbaik. Aciel kembali mendapat tawaran beasiswa dari sekolah terkemuka.

"Kamu akan masuk ke SMP mana, Loila?"

"Aku tidak tahu. Papa belum menyinggung soal tempat sekolahku."

"Pak Darman adalah konglomerat, dia akan memasukkan kamu ke sekolah yang terbaik."

"SMP Aciel adalah yang terbaik di jenjangnya iya, 'kan? Mungkin aku akan masuk ke sana. Aku tidak sabar, kita akan sering bertemu karena jarak sekolahnya sangat dekat."

Sepanjang hari mereka membicarakan keseruan apa yang akan mereka lakukan. Aciel bilang, ketika jam kosong ia akan pergi ke SMP Loila--melihat Loial belajar atau duduk di samping membantu Loila. Tentu itu bisa terjadi, karena Aciel mendapat penghormatan dari sekolah.

Bahri datang menjemput, waktu Loila dan Aciel sudah habis. Mereka pulang sudah gelap, Darman menyambut dengan mata tajam.

"Bahri, kamu membawa Loila. Kenapa sudah gelap beru pulang?"

"Maaf, Pa. Aku lupa waktu."

Habis itu mereka makan malam bersama. Tibalah momen yang Loila tunggu, Darman membahas tentang sekolah Loila.

"Tinggal lima hari lagi Loila akan masuk sekolah. Semua peralatan Loila sudah lengkap, 'kan?"

"Sudah," jawab Finsa. Dia yang bertanggung jawab memastikan persiapan Loila tidak ada yang tertinggal.

"Baiklah. Loila akan masuk SMP, tapi bukan di sini. Selain Bahri yang melanjutkan kuliah, Papa, Mama, dan Loila akan pindah kota."

Bagai disambar petir, makanan di mulut Loila jatuh kembali ke dalam piring. Ini kabar buruk, dia akan jauh dengan Aciel. Loila mematung menunjukkan jelas dia sangat syok.

"Besok kita berangkat," sambung Darman, semakin membenamkan Loila.

Mereka kembali bertentangan, Loila yang tidak ingin pindah juga Darman yang keukeuh tidak bisa dibantah. Semalaman Loila menangis, bagaimana cara dia menghubungi Aciel untuk memberitahu. Dia tidak punya ponsel, pun Aciel.

Satu jam selanjutnya Bahri datang.

"Abang tadi ke rumah Aciel untuk memberitahu, tapi dia tidak ada di rumah. Kata tetangganya, Aciel sering pulang subuh. Tenang saja, abang akan kembali lagi ke rumah Aciel subuh nanti."

Cuman Bahri yang mengerti Loila di rumah ini. Biar tidak bisa menentang Darman, setidaknya biarkan mereka mengucapkan salam perpisahan.

Tapi tidak. Darman kemudian datang, memberitahu mereka akan berangkat detik itu juga. Kenapa? Karena Darman siang tadi tahu jika Bahri bekerja sama dengan Loila. Mendengar pembicaraan mereka barusan, Darman tidak akan membiarkan Aciel dan Loila bertemu lagi, bahkan untuk mengucapkan salam perpisahan.

Mereka harus benar-benar dipisahkan.

***

Napas Aciel terengah-engah, mengayuh sepeda cukup jauh bolos sekolah hari ini. Sampailah dia di rumah besar, di depan ada Bahri yang bersandar di pagar.

"Lo-Loila?"

"Dia sudah pergi tadi malam," jawab Bahri.

Bahu Aciel melemas, tidak bisa digambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Sesak, sakit, marah. Dia mencengkeram setang sepeda erat, menutup mata sejenak merasakan panas serta pedih yang kian meluruh.

"Dia pergi ke mena?" Aciel membuang muka.

"Aku tidak diberitahu. Papa tidak mempercayai aku lagi."

Bahri maju, menepuk pundak Aciel yang tengah rapuh. Jujur dia kagum dengan Aciel, anak yang mandiri tanpa bimbingan orang tua menjadi peringkat terbaik di sekolah setiap tahun. Bahri menatap Aciel, tinggi mereka hampir sama, mungkin satu tahu lagi Aciel akan lebih tinggi dari Bahri yang lebih tua tiga tahun.

"Anak SD saja tahu cinta. Aku tebak kamu yang sudah SMA tidak lagi menganggap Loila sebagai adik, dia lawan jenis yang kau inginkan untuk bersama. Perasaanmu sudah berbeda iya, kan?"

"Kamu benar."

Bahri tersenyum. "Kalau begitu tunggulah dia kembali. Saat itu terjadi, kamu harus sudah menjadi pria yang bisa menentang Darman, tembok pengganggu yang menghalangi kisah kalian."

"Aku tahu, aku tidak akan mencari Loila sampai aku menjadi pria sukses. Itu janjiku."

"Dan ini adalah surat yang Loila tinggalkan."

Bahri menyerahkan sebuah amplop, terdapat lecek jejak air mata yang ia yakini Loila menangis dalam proses pembuatan surat.

[Pertemuan kita yang sebelumnya adalah yang terakhir. Aciel, kamu harus menepati janji untuk menjemputku setelah lulus kuliah. Aku akan menunggu, aku rela menjadi anak kurang ajar pada keluarga yang memberiku makan serta pendidikan demi kamu. Saatnya tiba aku tidak akan berpikir panjang ketika kamu mengajak kabur, membawaku ke bulan atau neraka. Bagaimana ini? Belum apa-apa aku sudah membayangkan bagaimana aku akan menahan rindu padamu, Aciel. Kamu adalah lentera yang menuntun jalanku, menarik aku dari jurang ketakutan dan bingung. Sampai mati posisimu tidak akan pernah tergeset dalam benakku. Sampai jumpa, kamu harus menepati janjimu!]

"Aku akan menepatinya," gumam Aciel setelah membaca pesan Loila.

Bahri yang sudah mengintip isi pesan itu tidak mengerti bagaimana bisa Loila menyusun kata romantis. Atau Bahri saja yang menganggap seperti itu? Menurutnya interaksi merek begitu manis untuk ukuran Loila yang baru ingin menginjak tanah SMP.

"Kalian sudah seperti pasangan kekasih, ya. Aku jadi iri," gumam Bahri. Aciel malah naik sepeda, beranjak meninggalkan Bahri begitu saja.

Bahri menatap kecut punggung Aciel yang kian menjauh, punggung anak remaja yang ia rasa tidak boleh diremehkan seperti apa yang dilakukan oleh papanya, Darman.

"Walau wajahku biasa saja tapi aku punya insting yang bagus. Akan lebih baik membentuk hubungan baik dengan dia mulai dari sekarang. Tapi sebelumnya aku sudah terlihat baik, kan?"

Lalu Bahri tidak langsung masuk, dia menunggu satu temannya. Dava, teman yang dekat dengan Bahri ketika masuk ke jenjang perkuliahan.

"Woi aku di sini," tegur Dava, bersama mobil yang datang serta jendela yang terbuka. Ia di bangku setir, faktanya itu adalah mobil Bahri.

"Kenapa diam di sana tadi?" tunjuk Bahri pada jalanan di depan rumah orang lain.

"Ada Aciel."

"Kamu kenal dia?" Alis Bahri terangkat sebelah.

"Kenapa kamu kaget? Justru aku yang kaget sebab melihat dia berbicara denganmu di sini. Apa yang kalian bicarakan?"

"Bukan hal yang penting. Katakan saja padaku kamu kenal dia dari mana? Apa dia fopuler? Wajar sih, dia-"

"Dia adik tiriku. Mamanya menikah dengan papaku."

Wajah Bahri cengok. Dia sering main ke rumah Dava, memang tidak pernah melihat Aciel di sana, pun Dava tidak pernah cerita. Pantas jika Bahri tidak tahu.

Apa dunia memang sempit?

Bersambung....







Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang