Part 18

217 40 18
                                    

Entah angin dari mana, Dessy mengajak Loila keluar dari mansion. Tidak jauh, masih berada di dalam gerbang. Dia menjamin A tidak akan marah jika hanya bermain di sekitar halaman.

Loila memandang langit berawan kelabu, angin mendayu-dayu menerbangkan daun-daun di tanah. Burung dari utara berterbangan secara berkelompok, menghiasi pemandangan semakin indah. Loila menatap lama, menikmati suasana menyenangkan.

"Sasa, kamu mau coba bermain sepatu roda?" ajak Dessy yang telah memegang sepatu roda untuk Loila.

Loila kagum dengan Dessy yang bergerak lincah dengan sepatu roda hitam, gaya keren wanita modern. Jaket kulit Dessy juga rambut pendeknya yang tersapu angin. Pesona Dessy yang ceria terpapar jelas dan menarik.

"Mau coba?" tawar Dessy lagi memutari Loila.

"Aku tidak bisa."

"Akan aku ajari."

Loila menimbang ragu, membayangkan bagaimana jika dia jatuh? Loila tidak tahan dengan sakit, dia pasti akan menangis. Loila bergidik ngeri, lantas menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.

"Ayolah, aku akan memegangmu." Namun Dessy bersikeras meyakinkan Loila.

Melihat pergerakan Dessy yang semakin lincah, membuat Loila membayangkan dia berada di posisi Dessy. Pasti menyenangkan jika bisa, bergerak cepat seperti itu.

"Baiklah." Pada akhirnya Loila tergiur. "Tapi kamu berani jamin aku enggak bakal jatuh, 'kan?"

"Iya-iya, dasar penakut."

Dessy berhenti bergerak, membantu Loila memasang sepatu roda putih yang baru ia beli tadi malam. Setelah selesai, dia memegang kedua tangan Loila, dengan dia yang berposisi sebagai orang yang mundur, Dessy membantu Loila melangkah.

"Bergeraklah, jangan takut."

Pelan-pelan Loila melangkah, lama kelamaan dia memiliki keseimbangan yang lebih stabil. Tiba-tiba Dessy melepaskan pegangannya, dan lebih parah dia mendorong Loila agar bergerak lebih kencang.

"Dessy!"

"Tidak apa-apa. Lakukan apa yang aku ajarkan." Dessy tertawa melihat Loila yang bergerak panik lenggok kanan lenggok kiri berusaha tidak jatuh.

Namun naas, Loila tidak bisa berhenti melaju menuju susunan tangga batu menurun menuju kolam buaya peliharaan Aciel. Dessy mengejar panik, tetapi Loila sudah meluncur laju menabrak pembatas beton kolam buaya.  Tubuh Loila tersungkur masuk, tiga buaya tiba-tiba bergerak cepat mengejar Loila. Ingin lari, sepatu roda membuat Loila tidak bisa berdiri.

"Aaaa!" Teriak Loila teramat kencang, membubarkan kumpulan burung di pohon.

Tangan, paha, bahu. Loila dikroyok oleh tiga buaya sekaligus. Gigi buaya sudah menancap dalam, sementara Dessy datang melompat masuk ke dalam pembatas beton, berusaha menarik memeluk satu buaya namun tidak dapat melepaskan Loila dari gigitan dua buaya lainnya.

Darah Loila sudah tumpah banyak, ia pikir ia akan merasakan setiap cabikan kejam buaya di detik-detik kematian. Aciel dan Ben berlari kencang, bersama para pelayan yang mengekor di belakang. Aciel dan Ben mendegar suara teriakan, sedari mereka kembali entah dari mana.

Tanpa pikir panjang Aciel menembak semua buaya sampai mati menjelang dia sampai, begitu pula Ben yang mengikuti pergerakan cepat Aciel.

Sebelum Loila pingsan jatuh terkapar, Aciel terlebih dahulu menyambut tubuhnya. Detik itu juga Loila langsung dilarikan ke rumah sakit.

***

Plak.

Suara nyaring menjatuhkan Dessy tanpa perlawanan. Aciel sangat marah, lebih menyeramkan dari apa yang kalian bayangkan. Wajahnya memerah, urat lehernya mengencang, mata tajam menatap bak hendak mencabik. Menjambak Dessy juga menamparnya berkali-kali--akan mati mungkin jika Ben tidak datang menarik Dessy lari dari Aciel.

"Aku a-aku ridak tahu jika akan jadi seperti ini," adu Dessy sembari menangis di dalam mobil Ben. Rasa bersalah lebih dominan dari pada rasa sakit bekas Aciel tadi.

"Untuk sementara, jangan perlihatkan wajahmu di depan Aciel. Jujur, aku tidak pernah melihat Aciel semarah itu, dia adalah pria yang tenang sebelumnya."

"Eng, aku memang salah."

Ben mengantar Dessy pulang, setelah itu dia kembali ke rumah sakit. Tampak Aciel yang tengah bicara dengan dokter, setelah itu dokter kembali lagi masuk ke dalam.

"Ada apa?"

"Paha koyak, tulang lengan retak, bahu patah. Itu yang dokter katakan."

Ben diam, memperhatikan ekspresi suram Aciel. Bagaimana Aciel seperti ini hanya karena gadis asing yang belum lama mereka tangkap?

"Bagaimana dengan Loila?" tutur Ben tiba-tiba.

Aciel mengangkat kepala dari posisi menunduk. "Apa maksudmu?"

"Apa kau sudah bisa mengikhlaskan dia?"

"Diamlah."

"Perhatianmu pada Sasa, apa itu bentuk ketertarikan?"

"Ben, aku suruh kamu diam ... sana pergi ke pelabuhan, ada pekerjaan yang menunggu."

"Mengerti." Berdiri, melangkah santai tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Sudah cukup jauh dia melangkah, ia berhenti lalu menoleh ke kebelakang lantas tersenyum tipis. "Yah, begini lebih baik. Setidaknya dia tidak galau dengan orang yang telah meninggal."

Lebih dari satu jam berlalu, pintu ruangan terbuka. Dokter tersenyum, menjelaskan semua berjalan lancar, Loila akan dipindahkan ke ruang rawat inap.

Tinggal menunggu gadis itu sadar, Aciel duduk di kursi dekat Loila terbaring. Ia pandang lekat wajah pulas itu, cantik dan indah. Sekarang Aciel mengerti di balik dia yang perhatian dengan Loila, karena mengingatkan pada gadis yang membelenggunya.

"Mirip dengan Loila," gumamnya pelan.

Jangan anggap Aciel bodoh sebab tidak mengenali Loila, nyatanya dia hadir di pemakaman Loila bertahun-tahun yang lalu. Sasa memang mirip, tapi itu bukanlah hal yang ganjal karena kemiripan adalah sesuatu yang lumrah di dunia.

Aciel menyandarkan diri, memejam mata erat merasa lelah.

"Tenang, aku tidak berniat mengambil matamu. Percayalah." Dia meyakinkan, mengangkat tangan, memperlihatkan jika dirinya juga banyak luka di tubuh.

"Aciel?" eja sang gadis pada headband yang dipakai anak laki-laki.

"Itu namaku, nenek yang merajutnya." Aciel melepas headband, meletakkannya di atas kepala si gadis kecil--rambut gadis kecil jadi tambah berantakan sebab Aciel memasang asal. "Kamu sudah tahu namaku. Skarang katakan namamu."

Si gadis kecil memegang kepala, memperbaiki rambut jingga kemerahan yang ikal bagai ombak laut. "Loila," cicitnya pelan.

Pertemuan pertama yang sangat berkesan bagi Aciel, pertemuan di pulau terpencil yang habis dijarah kejam.

"Dia takut aku mengambil matanya." Aciel terkekeh masih dengan mata terpejam.

Aciel merogoh saku hoodie, mengambil headband yang bertuliskan namanya. Benda itu sudah tidak muat lagi di kepalanya, wajar itu yang selalu ia pakai tidak pernah terlihat lagi di kepala. Namun benda itu selalu ia bawa di dalam saku ke mana pun.

"Kamu juga takut matamu aku ambil, 'kan?" Aciel bicara pada gadis yang ia kenal sebagai Sasa. Tertawa kecut, ekspresi takut akan mata dicabut sama seperti Loila kecil dulu.

Kalau begini Aciel bisa seenaknya menganggap dia adalah Loila.

Bersambung....













Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang