Bab 11

213 32 4
                                    

Menjelang tahap akhir menuju wisuda, mahasiswa sangat sibuk bahkan hampir gila oleh skripsi. Pun Loila dan Gress, mereka tidak punya waktu membuat komik atau novel. Jerawat Gress memenuhi muka, mungkin sebab stress. Loila tidak punya waktu untuk menghina Gress, penampilan Loila sendiri yang biasa seperti gadis negeri dongeng saja sudah seperti gembel compang-camping. Rambutnya kusut, kebanyakan digaruk, mengembang kering tidak terawat.

Hingga masa itu akhirnya berakhir. Mereka sama-sama merayakan kelulusan--menyaksikan sambutan-sambutan dari beberapa pihak juga hiburan di panggung.

Loila dan Gress duduk di bangku bersebelahan. Gress memperhatikan Loila yang sejak tadi celingak-celinguk berwajah resah.

"Namamu sudah disebut oleh MC. Seharusnya kalau dia datang, dia akan mengenalimu dan menghampiri sekarang. Ah, seharusnya dari rambut dan mata saja dia akan kenal kamu, Loila."

"Mu-mungkin dia belum datang, terhambat sesuatu misalnya. Kamu benar, tidak mungkin dia tidak dapat membedakan aku di antara semua kepala yang hitam dan pirang di sini."

Mencoba berpikir positif thinking. Ya, Aciel pasti datang. Loila sudah meminta Bahri memberitahu Aciel tentang kampus juga wisuda Loila saat ini. Lalu mata Loila melirik ke arah keluarga angkatnya yang duduk di kursi tamu. Darman, Finsa, dan Bahri ada di sana. Bahri mengangkat bahu sekilas paham maksud tatapan Loila.

"Abang Bahri datang, aku pikir dia akan datang bersama Aciel," ucap Loila yang hanya didengar oleh Gress.

"Setelah sekian tahun, abangmu itu baru kau lihat juga, kan?"

"Iya, baru dua hari yang lalu dia bisa dihubungi. Setelah kedatangannya semalam, dia menempel ke Papa terus sehingga aku tidak bisa bertanya tentang Aciel."

Sampai acara berakhir pun tidak ada sosok laki-laki yang mendatangi Loila. Di kamar, Loila menangis menutup mulut menggunakan bantal, melewatkan makan malam dengan mengurung diri dalam kamar.

"Lulus kuliah, lulus kuliah terus!"

"Aku akan datang ke acara wisudamu, membawa seikat bunga lantas melamarmu di hadapan banyak orang."

"Me-melamar?"

"Kamu tidak mau?"

"Aku mau. Habis melamar lalu menikah, setelahnya kita bisa tinggal bersama lagi, iya, kan?"

"Iya, tapi sebenarnya tidak sesederhana itu."

"Aku tidak peduli. Yang penting kita tanggal bersama lagi."

Terbayang ingatan Loila pada salah satu memen pertemuan mingguan, sebelum Bahri menjemput untuk pulang. Satu lagi janji Aciel yang membuat Loila begitu berharap. Apa Aciel sudah melupakannya? Menemukan orang yang lebih menyenangkan, yang lebih pantas untuk hidup bersama?

Kalau tidak, kenapa dia tidak datang?

Suara ketukan pintu kembali terdengar, ini sudah sekian kalinya.

"Aku tidak lapar!" Loila sedikit berteriak.

"Iya, iya. Buka dulu pintunya, ada yang mau Mama kasih tahu," tutur Finsa.

Sebelum membuka pintu, Loila menghadap cermin, menyeka air mata serta menggunakan sedikit bedak untuk menutupi muka sembab.

"Ada apa, Ma?"

Finsa masuk ke kamar Loila, duduk di kursi belajar Loila di dekat jendela. Disusul oleh Loila yang duduk di birai ranjang.

"Abangmu minggu depan mau menikah, di kota kita sebelumnya. Mama mau bantu kamu memilih pakaian, kita berangkat besok."

Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang