Jalanan bagai labirin bukanlah lagi masalah bagi mereka yang sudah hapal oleh rutenya. Melangkah santai, seorang gadis keluar dari pintu rahasia tembok. Celana jeans dongker, baju kaos putih, jaket lepis, serta sepatu. Rambutnya dikuncir, hitam bagai ekor kuda, topi putih terpasang di kepalanya.
"Loila, ayo cepat!"
Ya, gadis itu Loila. Penampilannya berubah drastis, dari tuan putri menjadi gadis bergaya nakal. Mengecat rambut agar ciri khasnya tidak mengganggu pekerjaan yang dia lakoni sekarang. Ia melangkah cepat, menghampiri Gress yang menunggu di belokan.
"Lambat benget," gerutu Gress.
Loila mencubit pinggang Gress, meringis temannya itu. Bagaimana Gress bisa menggerutu? Padahal dia tahu sendiri, jalan setelah masuk ke dalam pintu rahasia bagai lorong tak berujung. Tembok-tembok disekitar lebarnya hampir satu meter, tembok kopong yang sebenarnya adalah jalur jalanan beton di dalamnya. Lampu-lampu menghiasi sepanjang lorong, mengusir gelap dalam pandangan. Ada beberapa titik menuju ruangan bawah tanah, terletak disetiap bawah rumah yang berada di daerah seluas dua hektar itu. Tetapi, di rumah tersebut tidak ada akses menuju ruang bawah tanah. Satu-satunya akses ialah melewati dalam tembok.
"Lampunya bermasalah tadi, aku kesulitan melihat jalan. Kamu enak, keluar pas lampunya belum rusak."
"Oklah. Mana barangnya? Kasih aku separuh."
Loila mengeluarkan plastik dalam tasnya, berisi tepung putih berkilau berharga 700 juta per kg, atau 700 ribu per gram. Tepung putih yang termasuk murah, versi mahal sampai miliaran per kg.
"Kita dapat jatah 2 kg. Yang kamu pegang untuk bandar. Yang ada di dalam tas aku ini sudah dikemas per gram, untuk anak SMA dan mahasiswa."
"Mengerti. Ayo berangkat sekarang."
Beginilah mereka sekarang, menjadi bagian salah satu penyalur terbesar dalam banyak hal penjualan barang ilegal. Pria yang mereka temu sebulan lalu, bukanlah pria tua biasa. Dia pernah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, namun dia berhasil kabur.
Loila dan Gress tidak menggunakan kendaraan umum atau pribadi seperti mobil dan motor. Kendaraan seperti itu sering dicegat oleh polisi untuk melakukan pemeriksaan. Sepada adalah kendaraan mereka, sejauh apa pun mereka akan menggunakan kendaraan sederhana itu.
Cara memberikan barang pun beragam, pun Gress dan Loila tidak boleh menunjukkan wajah mereka untuk memutus rantai jika salah satu dari mereka tertangkap.
"Kali ini kita letakkan di mana?" Gress berhenti, begitu pula dengan Loila.
Di taman bermain ini, tangah ramai pengunjung. Pemesan adalah badut yang tengah dikrubuni anak-anak membawa gula kapas untuk dibagikan gratis.
"Badut itu. Kita menyamar sebagai pembawa gula tambahan. Maskermu sudah terpasang 'kan, Gress?"
"Sejak awal sudah aku pakai."
Berjalan mereka bersama. "Paman, gulanya taruh di mana?" ujar Gress, dialah yang memegang kantung tepung satu kg.
Paman badut mengerti. Dia menoleh, menunjuk mesin permen kapasnya. "Gula putih taruh di bawah, jangan digabungkan."
"Ok, Paman. Kami pergi dulu, ya."
Aman dan lancar. Selanjutnya mereka pergi ke sekolah, pada satpam yang ikut mengambil keuntungan dari penitipan barang.
"Aku kirim daftar nama juga jumlah pesanan di telegram. Seperti biasa, ini tiga juta upah penitipan." Loila memberi uang secara kes.
Kasus jual per gram ini, Loila dan Gress mengambil untung lebih. Mereka punya pelanggan sendiri walau baru satu bulan bekerja. Banyak anggota lain melakukan hal yang sama, resikonya lebih besar dari pada jual ke pengedar dengan harga reseller--bakal mudah menemukan sambugan rantainya. Jika itu terjadi, pihak atas akan memutus rantai dengan anggota yang memilih mengambil keuntungan besar.
"Kita pulang sekarang?" tanya Gress. Dia yang pergi jalan-jalan tadi, tidak mendengar perintah pihak atas.
"Iya, hari ini sudah cukup."
Beginilah mereka sekarang. Untuk bersembunyi dari pengejaran keluarga Loila, pekerjaan biasa untuk bertahan hidup akan mudah ditemukan. Pun sebagai penulis, atau komikus. Keluarga Loila tahu pekerjaan itu, mereka pasti mengawasi penerbitan buku Loila lalu melacak keberadaan penulisnya. Tentu untuk menerbitkan buku kamu membutuhkan kontrak yang akan dikirim ke alamat.
Akan merepotkan jika berpindah-pindah tempat tinggal.
Kembali mereka masuk ke distrik tembok. Pintu rahasia tidak hanya ada satu, tapi 20 pintu. Bisa memilih yang terdekat bagi mereka.
Setelah di dalam tembok, Loila melepas topi. Gress melihatnya, lantas memicingkan mata. "Sepertinya kamu harus mewarnai rambut lagi, Loila. Akarnya tumbuh memperlihatkan warna asli rambutmu."
"Besok, deh."
150 meter berjalan, tangga bawah tanah yang mereka tuju terlihat. Tumpukkan peti emas palsu menjadi tempat duduk pria yang tengah merokok seorang diri.
"Paman Bisma."
"Iya?" Bisma menoleh.
Ingat Bisma? Dia adalah ayahnya Aciel. Tahanan yang kabur dari hukuman mati, tidak melepaskan pekerjaan ilegalnya dan malah bekerja sama dengan organisasi yang lebih besar.
"Kami sudah selesai. Berikan upah kami."
"Aku kirim sekarang."
Pesan masuk ke ponsel dua orang gadis, sejumlah uang telah masuk ke rekening masing-masing. Baru ingin pergi, Loila kembali memutar badan, melirik peti-peti emas.
"Paman, kenapa emas itu belum dipasarkan?"
Bisma tertawa. "Belum saatnya. Tunggu beritanya reda dan polisi sudah merasa emas palsu yang telah beredar telah tertangkap semua. Barulah emas kita meluncur."
"Begitu, ya? Paman memang cerdik. Jika Detektif A bergerak bagaimana? Aku dengar dia yang menemukan tempat berlabuh barang-barang."
"Kalau dia bergerak, aku punya sesuatu untuk dia. Dia pasti akan senang."
Loila harap bukan sesuatu yang mencelakai Detektif A. Entahlah, dia hanya tidak ingin Detektif A mati, tetapi Loila tidak ingin bertemu dengannya lagi. Terlampau sakit hati sebab dia tidak percaya pada Loila.
"Sesuatu yang seperti apa?"
Bisma melirk Loila, dia terkekeh lalu mengibas-ngibas tangan. "Belum saatnya kamu tahu. Aku ingin bermain-main dulu dengan kalian. Lucu sekali." Tawanya semakin keras. Gress dan Loila saling pandang sembari menggidikkan bahu.
"Tenanglah, Nak. Aku akan menjagamu di sini. Tidak akan aku biarkan keluarga angkatmu menikahkanmu dengan orang lain. Kamu berhak menikah dengan orang yang kamu cintai," lanjut Bisma terdengar lebih serius.
"Kamu selalu berbicara seolah mengetahui segalanya, Paman. Aku tidak pernah cerita padamu tentang masalahku."
Bisma diam, mengangguk-anggukan kepala lalu memejamkan mata. "Aku hanya ayah tidak berguna yang tidak bisa lagi memperbaiki kehidupan. Sebelum aku mati, aku ingin sekali bicara dengan putraku."
"Pepatah mengatakan, 'tidak ada kata terlambat' pernah dengar? Aku lupa lanjutannya."
"Omong kosong. Boronan sepertiku ini cuman bisa bertahan hidup dengan cara ini. Itulah kenapa rata-rata narapidana melakukan kejahatan yang sama setelah bebas, karena mereka tidak diterima oleh masyarakat. Sulit mencari pekerjaan, sementara mereka butuh makan. Tobat hanya akan membuat kami mati. Tujuan akhirku agar bisa ngobrol dengan putraku, sampai hari itu tiba aku akan tetap seperti ini."
Menyedihkan. Dulu Loila mengumpat ketika membaca berita tentang tahanan yang baru bebas kembali berbuat ulah. Ternyata mereka tidak punya pilihan, kehidupan normal sudah tidak menrima mereka lagi.
"Aku yakin Paman bisa mengobrol dengan anak paman nanti. Jangan mati setelahnya."
"Aku tidak yakin. Tapi terima kasih, Loila. Aku memiliki kesempatan karenamu."
"Apa maksud, Paman?"
"Kamu akan mengerti nanti."
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...