Anggota lain berlalu lalang muncul dan menghilang dari pintu yang berbeda-beda. Loila hanya diam terduduk di kursi kayu di depan kamarnya dan Gress. Setiap ada Loila mereka hanya melirik, tahu Loila tidak berminat dengan siapa pun di organisasi ini.
Kabar tentang Loila yang barangnya diambil Detektif A sudah menyebar ke seluruh penghuni tembok. Mereka jadi takut pada Loila, menjauhi dan berharap Loila tidak perlu keluar dari tembok selamanya. Bahaya jika sampai gadis itu tertangkap, dia yang tidak tahan rasa sakit pasti dengan mudah membuka mulut membocorkan semua. Tidak terbayang bagaimana repotnya harus membuat dan mencari markas baru lagi.
"Loila, kamu kebanyakan melamun akhir-akhir ini." Gress yang baru selesai mengantar barang duduk. Sudah tiga hari semenjak Loila tidak keluar dari tembok. Dia sendiri yang tidak mau. Sebenarnya masih aman jika berkeliling di luar masih dalam wilayah tersebut.
"Sepertinya identitasku sudah diketahui olehnya. Aku takut, Gress."
"Tidak apa-apa, kamu aman di sini. Tapi keluarlah sebentar untuk menghirup udara segar."
Ingin Loila lakukan, tapi anggota lain semakin sinis pada Loila. Jika Loila sembarangan, mereka bisa memilih membunuh Loila untuk mengurangi resiko terbongkarnya informasi.
"Kamu tidak tahu ternyata." Pandangan Loila tajam, kesal tentu saja.
"Apanya?"
"Aku bisa dibunuh anggota lain jika keluar. Kemarin aku mendengar mereka membicarakan itu."
"Astaga! Ayo kita laporkan ke Paman Bisma."
"Dia entah ke mana beberapa hari ini. Kamu istirahat saja sana, nanti kalau dia pulang aku bisa bicara sendiri sama dia."
Gress menyentuh knop pintu kamar, sebelum masuk dia melirik Loila yang nasibnya semakin runyam saja. "Kalau butuh bantuan panggil aku saja."
Melempar diri di kasurnya yang tidak pernah rapi, Gress memijat pangkal hidung. Menoleh ke ranjang Loila, Gress sontak terduduk kembali. Tempat tidur Loila yang selalu rapi lebih berantakan dari pada kasurnya. Tubuh tegang mulai lemas, mata Gress sayu lalu dia kembali merebahkan diri.
"Dia sangat frustrasi ternyata."
"Jika sudah bertemu Aciel, apa kamu akan mengalami kesulitan seperti ini, Loila?"
Merasa gagal menghibur Loila, padahal Gress sudah rela meninggalkan keluarganya demi mengikuti Loila juga memastikan keadaan gadis itu. Sekarang apa? Tidak di dalam tembok atau di luar, Loila tetap terancam bahaya.
Detik selanjutnya Loila masuk ke dalam kamar, duduk di ranjangnya sembari memungut satu buku yang tergeletak di atas kasur. Loila mulai membaca, tidak mengacuhkan lirikan mata Gress yang memandangnya iba.
"Loila."
"Hmm?"
"Apa kita keluar saja dari kelompok ini?"
"Memangnya mudah? Kita memiliki informasi mereka. Kalau mau keluar, paling nama kita saja. Atau ... nama pun tidak."
"Kita kabur. Aku jadi resah karena mereka berpikir untuk membunuhmu saja dari pada melindungi."
"Mereka tidak akan membunuhku jika aku tidak keluar dari tembok," tutur Loila tampak tenang. Walau kenyataannya dia lebih takut dari siapa pun.
Lantas melempar bantal mengenai kepala Loila. Gadis berambut pendek itu lalu beranjak, meninggalkan Loila dengan perasaan khawatir yang terlihat jelas dari matanya. Sementara Loila diam, lemparan Gress cukup keras hingga dia merasa sedikit pusing.
"Terima kasih, Gress," gumam Loila. Terharu memiliki teman yang mau ikut merasakan susah bersamanya.
Sementara Gress menelusuri lorong, menghentikan siapa pun yang lewat untuk bertanya kapan Paman Bisma kembali. Mereka semua menjawab tidak tahu, Gress semakin panas. Sampai dia bertemu dengan Jino, rekannya yang menggantikan posisi Loila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...