Part 29

175 38 11
                                    

Ketika hati gundah, berada di tempat ramai pun terasa sepi. Melamun, memikirkan banyak hal yang tidak bisa ia bagi pada orang lain. Ia sentuh rambut yang telah berubah warna, tersenyum kecut merasakan perasaan tidak terima. Bukan tidak cantik, dia hanya tidak nyaman dengan penampilannya sekarang. Gaya berpakaian yang tidak pernah ia bayangkan akan memakainya.

Perahu-perahu hanyut di danau dengan penumpang yang kebanyakan pasangan. Mereka tertawa, bercanda, dan ada juga yang kaku. Di sini hanya Loila yang datang seorang diri--di danau buatan yang sering ia kunjungi dulu bersama Aciel.

"Sayang kamu lihat apa!"

Loila menoleh ke sebelah, melihat pasangan yang sepertinya akan bertengkar karena ... karena Loila?

"Tidak, aku tidak lihat apa-apa."

"Kamu lihat cewek itu. Dasar genit!" Si cewek beranjak, pergi berlari meninggalkan cowoknya. Sebelum si cowok mengejar, dia senyum kaku pada Loila yang memandanginya.

Mengabaikan masalah mereka, Loila menjulurkan kaki masuk ke dalam danau. Tiba-tiba tersentak menarik kembali kaki naik ke atas. Napas Loila terengah-engah, ia teringat buaya yang menggigitnya. Trauma. Bagaimana jika ada buaya di danau ini? Tidak mungkin, ini danau buatan. Walau begitu dia takut.

Perasaan tidak nyaman datang, menimbulkan panik serta pusing. Tubuh mulai gemetar, mencoba berdiri namun dia kembali terduduk. Orang-orang yang melihat tertawa, mereka tidak tahu rasa panik yang mengganggu Loila.

"Tolong," pinta Loila lirih. Tidak ada yang mendengar suara dia di antara keramaian ini. Siapa yang akan mengerti dan akan membantu dia?

Tapi sepasang mata melihat dia dari belakang, dia duduk di dekat pencuran air seorang diri. Berjalan mendekati Loila, dari balik punggung Loila dia menyentuh meniman kaleng dingin di pipi Loila.

"Minum dan tenanglah. Sepertinya kamu memiliki masalah panic attack."

Detektif A? Loila menilai berdasarkan suara. Ia turunkan topi menutupi wajah, tanpa menoleh Loila menerima kaleng itu. Meminum tanpa mengucapkan terima kasih.

Untunglah, Loila merasa lega sekarang. Tetapi dia tidak berani menunjukkan wajah pada Detektif A. Kenapa? Ingat dia adalah kriminal sekarang, Detektif A adalah orang yang harus dijauhi atau dia akan kembali lagi ke penjara bawah tanah.

"Sudah baikan?"

Loila mengangguk, lantas berdiri. Ia berlari ke lain arah asal tidak membuat tubuhnya berbalik.

"Ada apa dengannya?" Aciel memandangi punggung gadis yang semakin menjauh.

Ups, dompet kecil gadis itu ketinggalan. "Hei, tunggu!" Aciel mengejar.

Sadar Aciel mengejar, Loila semakin takut. Dia menerobos menyebrang jalan raya, menciptakan makian pengendara yang harus ngerem mendadak. Beruntung dia selamat, bebas dari Aciel yang terdiam di seberang sana. Terjadi kekacauan sebab Loila. Mobil saling bertubrukan lalu terjadi kericuhan antar pengendara yang tidak terima kendaraannya lecet serta penyok.

"Gadis itu ...." Aciel yang tahu siapa dalang utamanya menjadi saksi bisu. Pengendara depan yang melihat Loila, sudah lebih dulu pergi melarikan diri takut disalahkan oleh pengendara lain.

Ariel memutuskan untuk tidak mengejar lagi, dia tidak dapat menyeberang saat ini. Berputar badan, Aciel pergi ke parkiran mobil. Masuk, melempar dompet berwarna coklat ke dasboart.

Dia kayaknya takut sama aku. Kenapa, ya? Berpikir sebentar. Dia mengenaliku, berarti dia bermasalah.

Aciel yakin dengan tebakannya. Ya, orang yang menghindari Aciel biasanya tahu siapa Aciel sebagai detektif--mereka merasa terancam, sama dengan gadis barusan. Jika tidak, mereka akan bersikap normal.

Dengan begitu, Aciel berani membuka dompet Loila. Tersenyumlah miring. "Benerkan." Dia menemukan tiga gram tepung putih berkilau yang dibungkus kecil juga beberapa lembar uang.

Siapa gadis itu?

***

"Loila. Dia ada ke sini mencarimu!" seru Bibi Mety. Ia tatap pemuda gagah dengan mata berkaca-kaca. Sudah lama sekali dia tidak melihat sosok Aciel, seseorang yang ia anggap anak. Ia menebak Aciel belum bertemu dengan Loila, langsung berujar ketika Aciel datang turun dari mobil.

Bahu Aciel melemas. "Dia juga mencariku ternyata."

"Ada apa dengan kalian? Kenapa sepertinya susah sekali bertemu?"

Aciel menarik napas panjang. Ia letakkan kedua tangannya di atas pundak Bibi Mety, lalu berkata, "Aku akan kembali lagi ke sini bersama Loila. Kami akan menjalani hidup di sini lagi, rumah penuh kenangan ini dan ... lembaran baru di mana siapa pun tidak bisa merobek halamannya."

Bibi Mety tersenyum, dia paham maksud Aciel. Ah, ternyata dia sudah tua. Dua anak kecil yang dulu bagai adik-kakak, ingin merubah status itu ketika dewasa.

"Aku senang bisa hidup sampai sekarang." Bibi Mety mengusap air matanya.

"Teruslah hidup, Bibi. Kamu harus melihat anak kami."

"Ahaha, kamu ini. Belum juga menikah sudah memikirkan anak."

"Pemikiranku memang selalu jauh ke depan, Bibi. Bahkan sudah memikirkan seperti apa cucuku kelak. Atau rambut jingga Loila yang memutih." Aciel tertawa.

"Dan aku sudah mati saat itu tiba."

Mobil pick up berhenti di depan, beberapa orang turun membawa alat-alat bangunan. Mereka sudah mengecek kondisi bangunan sebelumnya, hari ini mulai proses renovasi.

"Ternyata kamu serius mau tinggal di sini," tutur Bibi Mety dengan mata yang tertuju pada tukang yang berlalu lalang.

"Tentu saja."

***

Tidak hanya dompet yang ditinggalkan oleh Loila, tetapi juga sepeda. Dia menggaruk kepalanya, melempar topi ke aspal. Sekarang dia baru mengerti kenapa A mengejarnya.

Memasuki area labirin tembok, Loila berjalan lemas, berpapasan dengan Gress yang menatap heran.

"Loila, kamu kenapa?"

"Dompet dan sepedaku ketinggalan."

"Tinggal ambil. Bisa-bisanya ketingalan. Jadi kamu pulang jalan kaki?"

"Kalau sepeda aku yakin masih di sana. Tapi dompet ... Detektif A memungutnya."

Gress menganga, dia langsung mengguncang tubuh Loila. "Di sana tidak ada-"

"Ada! Makanya aku pusing banget sekarang."

"Mampuslah kamu, Loila. Sepertinya untuk beberapa hari ini kamu enggak usah keluar, mengurung diri saja dalam tembok."

Loila semakin Lesu, Detektif A pasti akan menemukan identitasnya dengan sidik jari yang tersisa. Selanjutnya tidak hanya jadi buronan keluarga, tetapi juga polisi plus Detektif A--manusia yang paling merepotkan.

"Kamu ambilkan sepedaku, Gress."

"Jalan kaki?"

"Kalau mau membawa dua sepada sekaligus ya terserah kamu."

"Cuih, merepotkan. Aku naik kendaraan umum saja, lagi enggak bawa barang juga. Nih bawa sepedaku kembali."

"Hmm, aku mau mengurung diri dulu."

"Sepedanya di mana?" Gress menghentikan gerakan Loila, bagaimana dia menjemput sepada jika dia tidak tahu tempatnya.

"Danau buatan biasa."

"Jauh juga kamu berjalan kaki. Keren, Loila. Heran, kok kamu bisa selalu terlibat dengan Detektif A, sih?"

"Aku juga enggak tahu."

Bersambung....



Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang